Quin melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul empat sore. Artinya dia sudah ada di atap selama satu jam. Duduk dengan kaki berayun pada dinding pembatas atap. Hal yang sebenarnya berbahaya, tapi tidak ada yang berani melawan Quin. Padahal pengawal yang melihatnya dari bawah, selalu menahan napas setiap kali melihat Quin mengganti posisi duduknya. Takut bos muda mereka jatuh dari atap karena nyawa mereka pun dipastikan akan ikut melayang.
Bukan tanpa alasan Quin duduk di sana. Biasanya memang Quin hanya iseng saja, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Namun, kali ini berbeda. Dia sedang menunggu Sena. Sayang, yang ditunggu sudah dua hari ini tak terlihat batang hidungnya.
“Kalau gadis itu datang, segera hubungi aku!” pesan Quin sehari setelah dia membuat Sena ketakutan. Sayangnya, belum ada kabar dari Sena. Quin hanya sering melihat Maura dan dia tidak tertarik dengan Maura.
“Kenapa nggak datang lagi?” gumam Quin. Dia meregangkan lengannya ke atas, membuat pengawalnya kembali siaga. Padahal pembatas atap itu cukup lebar dan Quin tidak akan jauh hanya karena meregangkan tubuh.
Quin meraih ponselnya. Begitu ponsel itu terbuka, foto Sena langsung terpampang di layar. Iseng sekali dia menjadikan foto Sena sebagai wallpaper. Wajah Sena yang seperti orang kebingungan, tampak lucu di mata Quin. Walau sudah berkali-kali melihatnya, Quin tetap tertawa hanya dengan melihat foto Sena. Receh sekali dia.
“Ah, menyebalkan! Di mana dia sekarang?”
Orang yang Quin tunggu, sekarang sedang bersantai di rumahnya. Merebahkan tubuh di lantai sambil memejamkan mata. Di dekatnya ada meja kecil dengan laptop di atasnya. Tidak jauh dari meja, ada gelas berisi kopi dengan pisang goreng yang tinggal sebiji.
Seharusnya Sena menghabiskan minggu tenang untuk persiapan ujian. Namun, yang dia lakukan justru menulis dan menulis.
“Ini hari tenang, jadi kenapa harus belajar?”
Begitulah cara berpikir Sena. Sangat sederhana, tapi menyebalkan. Libur selama satu minggu sebelum ujian bagi Sena adalah waktu yang tepat untuk mengistirahatkan otak dari segala hal berbau matematika.
Padahal di semester-semester sebelumnya, dia selalu pulang ke kos dengan menangis karena tidak bisa mengerjakan ujian. Namun, bukannya memperbaiki kesalahan, Sena justru tetap menjadi Sena pemalas seperti biasanya. Yang tidak membuat dia malas hanyalah menonton drama dan membuat cerita fiksi saja.
Bunyi klentingan terdengar dari ponsel Sena. Sena menolah dan mengambil ponsel. Ada notofikasi pesan masuk dari nomor asing.
From : 08xxxxxxxxxx
Kamu di mana?
Sena mengernyitkan dahi. Nomor asing, tapi pesannya sudah seperti teman akrab saja.
From : 08xxxxxxxxxx
Kenapa nggak kelihatan lagi?
Belum terjawab, pesan masuk kembali datang. Mau tidak mau, Sena membukanya.
From : 08xxxxxxxxxx
Kalau ada pesan masuk itu dibalas! Jangan cuma dibaca.
Jemari tangan Sena yang hendak mengetikkan sesuatu, memutuskan untuk tetap diam setelah membaca pesan ketiga.
“Siapa, sih? Usil bener.”
Dan jawabannya terjawab ketika pesan masuk dari Maura datang.
From : Mak Maura
Tau nggak, tadi pengawal Quin minta nomor kamu! Buat apa coba?
Membaca pesan Maura, tangan Sena rasanya ingin meremukkan ponsel, tapi sayang. Ponsel itu baru dia dapatkan setelah bersudut dengan penuh air mata di depan kedua orangtuanya.
Sena segera membalas pesan Maura dan tetap mengabaikan pesan Quin.
From : Sena
Kenapa kamu kasih????
Dengan tambahan emotikon berwarna merah berwajah menyebalkan.
From : Maura
Kalau nggak aku kasih, gimana kalau mereka memukuliku, hah?
From : Sena
Sial. Orangnya WA aku tau!
From : Maura
Balas, dong.
Jemari Sena kembali berhenti saat panggilan masuk datang. Dari Quin. Sepertinya dia tidak sabar karena Sena tak kunjung membalas pesannya. Tapi, percuma. Sena juga tidak akan mengangkat telepon dari Quin. Berkali-kali Quin menghubunginya, tetap Sena abaikan. Dari mulai penggilan biasa sampai video call. Sama sekali tidak Sena gubris, sampai akhirnya ….
“Sena, teman kamu telfon, nih,” teriak ibu dari ruang tengah.
Tanpa merasa curiga sedikitpun, Sena beranjak dari tempatnya menuju ruang tengah. Di sana ada sofa dengan meja di bagian sudutnya. Di meja itu, telepon rumah Sena berada. Ibu Sena sudah menghilang saat Sena tiba.
“Halo?” sapa Sena santai.
“Kenapa pesanku nggak dibalas dan telfonku nggak diangkat?”
Seketika Sena menjauhkan gagang telponnya dari telinga dan menutup telepon itu dengan sedikit hentakkan. Quin! Walau suaranya sedikit berbeda dengan suara asli Quin, tapi Sena yakin itu suara Quin. Mendadak Sena menyesal, kenapa dia harus mengintai rumah Quin? Kenapa Quin harus melihatnya? Dan kenapa rumah semewah itu ternyata dihuni orang gila??
Telpon rumah Sena kembali berdering, tapi Sena abaikan. Tidak peduli siapa yang menelpon, Sena tidak akan mau mengangkatnya.
“Sena, itu loh, ada telfon. Kenapa diabaikan gitu?” protes ibu yang sepertinya terganggu dengan sering telpon yang tanpa henti. Kalau bukan telepon yang berbunyi, berarti ponsel Sena. Quin sepertinya tipe orang yang gigih atau orang yang harus mendapatkan apa yang dia inginkan.
“Orang gila yang telpon, Bu.”
“Orang gila gimana maksudmu?”
“Pokoknya orang gila.”
“Masa, sih? Yang sebelumnya ibu dengar, suaranya kayak orang ganteng gitu. Siapa emangnya? Cowok yang ngejar-ngejar kamu, ya?” tebak ibu asal. “Jangan begitu. Siapa tau jodoh.”
“Ih, amit-amit. Mau sekaya apapun, kalau orangnya kayak dia, aku nggak akan mau!” Sena sampai bergidik ngeri.
“Loh, dapet orang kayak kok nggak mau. Kan enak, mau beli apa aja bisa. Beliin ibu sama bapak apa aja.”
“Ih, apaan sih, Bu. Kenapa Ibu jadi matre?”
Ibu Sena terkikik geli sebelum kembali ke dapur untuk lanjut memasak. Mumpung ada anak gadisnya, jadi dia masak. Biasanya ya, ibu Sena lebih suka beli makan setelah pulang mengajar di sekolah. Toh, suaminya juga pulang kerjanya sore. Anak laki-lakinya pun lebih suka makan siang di luar sebelum ikut bimbingan belajar.
Muak dengan bunyi telepon dan ponsel yang tiada henti, Sena akhirnya mencabut kabel telepon dan menonaktifkan ponselnya. Tidak masalah jika dia hanya menonaktifkan ponsel. Akan jadi masalah jika ayahnya tahu, kabel telepon dia cabut. Tapi, biar saja.
Sena kembali berjalan ke ruang tamu tanpa merasa bersalah. Yang penting sekarang Sena sudah bisa berbaring tanpa gangguan sebelum melanjutkan kembali pekerjaan sambilannya, menulis. Kegiatan yang selama satu minggu kedepan, mengisi waktu Sena. Hingga tanpa Sena sadari, ujian akhirnya datang.
Memang hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Masalahnya, bagaimana dengan orang yang tidak berusaha? Ya, jangan berharap hasil yang maksimal. Seperti yang Sena rasakan. Kejadian semester lalu kembali terulang.
Malam sebelum ujian, Sena memutuskan untuk tidak belajar dan asyik berkirim pesan pada gebetannya. Baru ketika subuh datang, dia mulai belajar. Katanya, waktu subuh memang waktu yang tepat untuk belajar. Namun, kalau belajarnya hanya waktu subuh saat hari ujian, ya sama saja. Setelah ujian, Sena hanya bisa menangis.
“Ya Tuhan, itu soal kenapa ngajak berantem, sih?” tangis Sena. Maura yang di sampingnya hanya geleng-geleng saja. Sudah biasa. Lagu lama. Begitu terus ceritanya. Monoton dan membosankan.
“Makanya belajar yang bener!”
“Aku belajar.”
“Belajar itu harus konsisten. Jangan cuma belajar sebelum ujian aja!”
“Pusing aku!”
“Yang lain juga pusing, tapi yang lain tetep usaha belajar.”
Sena mengerucutkan bibirnya. Dia melihat layar ponselnya yang baru mendapat pesan ke seratus satu dari Quin. Hari sebelumnya, dia sudah membuka dua ratus pesan tidak penting dari Quin. Isinya kalau bukan memanggil Sena, berarti bertabur emoticon dan stiker yang sama sekali tidak penting.
“Ini juga! Mengganggu saja!” kesal Sena. Padahal kalau ketemu orangnya, pasti ketakutan.
***
Menghirup udara pagi ketika segala beban telah berlalu ternyata menyegarkan. Tidak ada tugas. Tidak ada ujian. Yang menantinya hanya liburan! Oh, indahnya menjadi mahasiswi. Setelah disibukan dengan tugas dan ujian, satu bulan lebih ujian telah menanti. Pulang kampung rasanya terdengar begitu merdu di telinga Sena. “Packing, ke rumah Maura ambil oleh-oleh, dan ke stasiun! Oh, indahnya,” gumam Sena yang masih bergulat di balik selimut. Tetangga sebelah kamarnya sudah pulang sejak kemarin. Sena sengaja menunda kepulangannya satu hari karena ibu Maura yang minta. Katanya ibu Maura hendak menyiapkan sesuatu untuk orangtua Maura. Seperti kata Maura, rejeki tidak boleh ditolak. Tidak masalah kalau harus menunda pulang satu hari. Yang penting tidak menyakiti hati ibu Maura. Sena menutup mulutnya yang sedang menguap. Di raihnya ponsel yang sejak tadi tidak ada bunyinya. Entah sejak kapan, tapi Quin sudah tidak menerornya dengan pesan dan panggilan telepon lagi. “Kaya
Andai ada alat yang bisa memutar waktu. Andai Sena memiliki teman seperti Doraemon, yang bisa memunculkan barang apa saja dari kantong ajaibnya. Andai Sena tidak gegabah, dengan masuk ke rumah Quin tanpa izin. Andai … andai … dan andai. Segala pengandaian kini berputar di pikiran Sena, dengan tubuh yang lemas dan tak mampu berlari. Sena tahu, dia pasti akan mendapat masalah. Yang dia lihat saat ini jelas bukan sesuatu yang sepatutnya dia lihat. Di depannya, ada puluhan laki-laki berjas hitam dengan otot yang rasanya ingin meledak keluar dari lengan jas. Lalu, ada pula Quin yang tampak seperti orang kesetanan dan seorang laki-laki tak berdaya yang kini tubuhnya dipenuhi darah segar. Apa yang Quin lakukan? Bagaimana mungkin orang-orang membiarkan Quin memukuli orang hingga sekarat seperti itu? Wajah orang itu bahkan sudah tak terlihat bentuknya karena tertutup dengan darah dan bekas pukulan. Sena yang pada dasarnya tidak bisa melihat darah, seketika merasa mual dan lem
Dengan lembut Quin membersihkan darah di pipi Sena dengan tisu basah. Itu bukan darah Sena. Itu adalah darah dari pria yang Quin pukuli. Darah itu ikut menempel saat Quin menampar Sena. Sebuah tamparan hasil dari luapan emosi Quin karena Sena yang dia pikir terlalu usil. “Pasti sakit,” gumam Quin. Dia membelai puncak kepala Sena. “Ini akibat karena kamu terlalu usil. Kamu harus diberi hukuman berat, Sena. Aku sebenarnya nggak mau nampar kamu, tapi kamu sudah melewati batas.” Quin masih tidak habis pikir, gadis yang ada di hadapannya, berani masuk ke rumahnya tanpa izin. Terutama saat Quin tahu alasan kedatangan Sena. Memang terkadang datang di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat, bisa berakibat fatal. Seperti yang akan Sena terima. Anak buah Quin bukannya tidak tahu jika ada layang-layang yang bertamu di rumah itu. Mereka hanya mengabaikannya. Hal seperti itu sudah sering terjadi, mengingat rumah Quin yang sangat besar. Hanya saja, ada hal penting yan
Sena menjerit sejadi-jadinya hingga membuat Quin menjauh sambil menutup telinga. Sungguh, teriakan Sena sangat memekakkan telingat. Umumnya Quin akan marah karena ada orang yang berani meneriakinya, tapi dia justru tertawa. Tawa yang terlihat menakutkan bagi Sena. Sena beringsut menjauh hingga berada di ujung kasur. Tubuhnya bersandar pada dinding dengan lengan memeluk kakinya yang terlipat. Sorot matanya tak pernah lepas dari Quin, berjaga-jaga agar laki-laki itu tidak melakukan hal yang membahayakan hidup Sena. Masih ingat dengan jelas di otak Sena, bagaimana menakutkannya Quin saat memukuli orang yang bahkan sudah tak berdaya. Lalu, Quin juga tanpa ragu menamparnya. Sebuah tamparan yang baru pertama kali Sena rasakan. Tamparan yang juga menghapus semua harapannya pada Quin, harapan bahwa Quin tidak mungkin memukul wanita. Memang benar apa kata ibu, bahwa tidak seharusnya kita berharap pada seseorang. Berharap pada seseorang hanya akan memberi kita kekecewa
Sena mendudukkan dirinya di lantai. Tubuhnya kembali terasa lemah. Pikirannya kosong, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia sekarang benar-benar tidak bisa keluar dari rumah ini? Kenapa? Kenapa dia harus tidak bisa keluar dari rumah ini? Memang apa yang terjadi dan apa kesalahannya terlalu fatal hingga Quin mengurungnya? Ah, apa karena Quin takut Sena akan lapor pada orang-orang bahwa Quin adalah anak Calon Presiden Wigar? Atau karena Sena melihat Quin memukuli orang hingga hampir meninggal? Entah sekarang orang itu sudah benar-benar meninggal atau justru mendapat pertolongan segera? Tidak peduli! Sena tidak mau peduli pada orang itu karena nasibnya sendiri saja masih tidak jelas. Sena menatap handle pintu. Selama beberapa saat dia cuma menatap handle itu sebelum akhirnya dia berdiri dan berusaha membuka pintu. Digedornya pintu itu dengan keras sambil berteriak minta pertolongan. Namun, sekeras apapun Sena berusaha, tidak ada tanda-tanda kalau akan
Sena meringis saat kapas yang sudah diberi alkohol menyentuh permukaan telapak kakinya yang terluka. Siapa yang sangka, Quin yang sebelumnya menampar dan membentak Sena, justru kini berjongkok untuk membersihkan luka Sena.“Bandel sekali kamu,” gumam Quin.Sebelum Quin bertindak bak pangeran yang menyelamatkan putri idamannya, Sena kembali merasakan panasnya tamparan di pipinya. Quin sepertinya gemas karena Sena tak mau mendengarkan perintahnya dan tetap membersihkan pecahan kaca tanpa peduli kakinya menginjak pecahan kaca juga.Dengan gerakan cepat, Quin menarik tangan Sena agar menjauh dari lantai yang terkena pecahan kaca. Perih. Sungguh perih kaki Sena, tapi dia sengaja membiarkan kakinya perih. Dia sengaja ingin memindahkan rasa perih di hatinya pada telapak kakinya. Setidaknya luka di telapak kaki lebih mudah diobati dibanding luka di hati. Ah, sudah seperti gadis yang baru patah hati saja dia.“Bodoh ya, Kamu? Lihat darah di kamu. Bodoh!”Sena ta
Sena tertidur! Tepat pukul enam pagi gadis itu baru membuka matanya. Padahal semalam dia hanya pura-pura tidur saja. Hanya agar Quin meninggalkan kamar ini. Namun, dia justru tertidur. Dia bahkan tidak tahu kapan Quin meninggalkannya. Semoga saja Quin tidak melakukan apapun saat Sena tertidur. Sena sedikit merintih saat merasakan sakit di perutnya. Bukan sakit yang berbahaya. Dia hanya lapar. Tidak! Sangat lapar! Seingat Sena, makanan terakhir yang masuk ke perutnya hanya roti dengan cream keju yang dia beli di indomart dan susu coklat yang sengaja dia habiskan karena akan pulang kampung. Setelahnya, tidak ada lagi makanan yang masuk sampai saat ini. Jadi, tidak heran jika kini perut Sena keroncongan. Sena mengelus perutnya. Bodoh! Dia memang bodoh! Di mana-mana orang yang berjuang juga butuh makan! Harusnya dia tidak sok memberontak dengan membuang makanan. Dia melupakan perkataan Maura, bahwa rejeki tidak boleh ditolak. “Terlanjur. Semua sudah terlanjur. Ak
Kamar Sena atau yang lebih tepat disebut sebagai rumah tahanan Sena, kini terasa lebih sesak dengan adanya dua kursi serta satu meja ukuran sedang. Pelayan Quin menyulap sisa ruang kosong di kamar menjadi meja makan untuk Sena dan Quin.Quin duduk dengan menyilangkan kaki. Tak lupa kedua tangannya saling melipat dengan punggung bersandar pada kursi. Cara duduk yang menunjukkan seolah dialah pemimpin di sana. Tidak ada yang boleh melawan perintahnya.Tatapan Sena jatuh pada makanan di atas meja. Perutnya yang sudah keroncongan, memaksanya untuk segera menandaskan semua yang bisa dia makan. Namun, harga diri Sena menuntut untuk tidak gegabah. Terlebih karena saat ini Quin sedang mengamatinya.“Nggak mau makan lagi?” tanya Quin. Dia sendiri hanya menyeruput kopi padahal sebelumnya pria itu mengajaknya untuk sarapan bersama. Apa dia pikir, minum kopi disebut sebagai sarapan?Quin mengambil cangkir berisi café au lait yang artinya kopi susu pahit, jenis minuman tr