Share

4. Menanti Kedatangan Sena

Quin melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul empat sore. Artinya dia sudah ada di atap selama satu jam. Duduk dengan kaki berayun pada dinding pembatas atap. Hal yang sebenarnya berbahaya, tapi tidak ada yang berani melawan Quin. Padahal pengawal yang melihatnya dari bawah, selalu menahan napas setiap kali melihat Quin mengganti posisi duduknya. Takut bos muda mereka jatuh dari atap karena nyawa mereka pun dipastikan akan ikut melayang.

Bukan tanpa alasan Quin duduk di sana. Biasanya memang Quin hanya iseng saja, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Namun, kali ini berbeda. Dia sedang menunggu Sena. Sayang, yang ditunggu sudah dua hari ini tak terlihat batang hidungnya.

“Kalau gadis itu datang, segera hubungi aku!” pesan Quin sehari setelah dia membuat Sena ketakutan. Sayangnya, belum ada kabar dari Sena. Quin hanya sering melihat Maura dan dia tidak tertarik dengan Maura.

“Kenapa nggak datang lagi?” gumam Quin. Dia meregangkan lengannya ke atas, membuat pengawalnya kembali siaga. Padahal pembatas atap itu cukup lebar dan Quin tidak akan jauh hanya karena meregangkan tubuh.

Quin meraih ponselnya. Begitu ponsel itu terbuka, foto Sena langsung terpampang di layar. Iseng sekali dia menjadikan foto Sena sebagai wallpaper. Wajah Sena yang seperti orang kebingungan, tampak lucu di mata Quin. Walau sudah berkali-kali melihatnya, Quin tetap tertawa hanya dengan melihat foto Sena. Receh sekali dia.

“Ah, menyebalkan! Di mana dia sekarang?”

Orang yang Quin tunggu, sekarang sedang bersantai di rumahnya. Merebahkan tubuh di lantai sambil memejamkan mata. Di dekatnya ada meja kecil dengan laptop di atasnya. Tidak jauh dari meja, ada gelas berisi kopi dengan pisang goreng yang tinggal sebiji.

Seharusnya Sena menghabiskan minggu tenang untuk persiapan ujian. Namun, yang dia lakukan justru menulis dan menulis.

“Ini hari tenang, jadi kenapa harus belajar?”

Begitulah cara berpikir Sena. Sangat sederhana, tapi menyebalkan. Libur selama satu minggu sebelum ujian bagi Sena adalah waktu yang tepat untuk mengistirahatkan otak dari segala hal berbau matematika.

Padahal di semester-semester sebelumnya, dia selalu pulang ke kos dengan menangis karena tidak bisa mengerjakan ujian. Namun, bukannya memperbaiki kesalahan, Sena justru tetap menjadi Sena pemalas seperti biasanya. Yang tidak membuat dia malas hanyalah menonton drama dan membuat cerita fiksi saja.

Bunyi klentingan terdengar dari ponsel Sena. Sena menolah dan mengambil ponsel. Ada notofikasi pesan masuk dari nomor asing.

From : 08xxxxxxxxxx

Kamu di mana?

Sena mengernyitkan dahi. Nomor asing, tapi pesannya sudah seperti teman akrab saja.

From : 08xxxxxxxxxx

Kenapa nggak kelihatan lagi?

Belum terjawab, pesan masuk kembali datang. Mau tidak mau, Sena membukanya.

From : 08xxxxxxxxxx

Kalau ada pesan masuk itu dibalas! Jangan cuma dibaca.

Jemari tangan Sena yang hendak mengetikkan sesuatu, memutuskan untuk tetap diam setelah membaca pesan ketiga.

“Siapa, sih? Usil bener.”

Dan jawabannya terjawab ketika pesan masuk dari Maura datang.

From : Mak Maura

Tau nggak, tadi pengawal Quin minta nomor kamu! Buat apa coba?

Membaca pesan Maura, tangan Sena rasanya ingin meremukkan ponsel, tapi sayang. Ponsel itu baru dia dapatkan setelah bersudut dengan penuh air mata di depan kedua orangtuanya.

Sena segera membalas pesan Maura dan tetap mengabaikan pesan Quin.

From : Sena

Kenapa kamu kasih????

Dengan tambahan emotikon berwarna merah berwajah menyebalkan.

From : Maura

Kalau nggak aku kasih, gimana kalau mereka memukuliku, hah?

From : Sena

Sial. Orangnya WA aku tau!

From : Maura

Balas, dong.

Jemari Sena kembali berhenti saat panggilan masuk datang. Dari Quin. Sepertinya dia tidak sabar karena Sena tak kunjung membalas pesannya. Tapi, percuma. Sena juga tidak akan mengangkat telepon dari Quin. Berkali-kali Quin menghubunginya, tetap Sena abaikan. Dari mulai penggilan biasa sampai video call. Sama sekali tidak Sena gubris, sampai akhirnya ….

“Sena, teman kamu telfon, nih,” teriak ibu dari ruang tengah.

Tanpa merasa curiga sedikitpun, Sena beranjak dari tempatnya menuju ruang tengah. Di sana ada sofa dengan meja di bagian sudutnya. Di meja itu, telepon rumah Sena berada. Ibu Sena sudah menghilang saat Sena tiba.

“Halo?” sapa Sena santai.

“Kenapa pesanku nggak dibalas dan telfonku nggak diangkat?”

Seketika Sena menjauhkan gagang telponnya dari telinga dan menutup telepon itu dengan sedikit hentakkan. Quin! Walau suaranya sedikit berbeda dengan suara asli Quin, tapi Sena yakin itu suara Quin. Mendadak Sena menyesal, kenapa dia harus mengintai rumah Quin? Kenapa Quin harus melihatnya? Dan kenapa rumah semewah itu ternyata dihuni orang gila??

Telpon rumah Sena kembali berdering, tapi Sena abaikan. Tidak peduli siapa yang menelpon, Sena tidak akan mau mengangkatnya.

“Sena, itu loh, ada telfon. Kenapa diabaikan gitu?” protes ibu yang sepertinya terganggu dengan sering telpon yang tanpa henti. Kalau bukan telepon yang berbunyi, berarti ponsel Sena. Quin sepertinya tipe orang yang gigih atau orang yang harus mendapatkan apa yang dia inginkan.

“Orang gila yang telpon, Bu.”

“Orang gila gimana maksudmu?”

“Pokoknya orang gila.”

“Masa, sih? Yang sebelumnya ibu dengar, suaranya kayak orang ganteng gitu. Siapa emangnya? Cowok yang ngejar-ngejar kamu, ya?” tebak ibu asal. “Jangan begitu. Siapa tau jodoh.”

“Ih, amit-amit. Mau sekaya apapun, kalau orangnya kayak dia, aku nggak akan mau!” Sena sampai bergidik ngeri.

“Loh, dapet orang kayak kok nggak mau. Kan enak, mau beli apa aja bisa. Beliin ibu sama bapak apa aja.”

“Ih, apaan sih, Bu. Kenapa Ibu jadi matre?”

Ibu Sena terkikik geli sebelum kembali ke dapur untuk lanjut memasak. Mumpung ada anak gadisnya, jadi dia masak. Biasanya ya, ibu Sena lebih suka beli makan setelah pulang mengajar di sekolah. Toh, suaminya juga pulang kerjanya sore. Anak laki-lakinya pun lebih suka makan siang di luar sebelum ikut bimbingan belajar.

Muak dengan bunyi telepon dan ponsel yang tiada henti, Sena akhirnya mencabut kabel telepon dan menonaktifkan ponselnya. Tidak masalah jika dia hanya menonaktifkan ponsel. Akan jadi masalah jika ayahnya tahu, kabel telepon dia cabut. Tapi, biar saja.

Sena kembali berjalan ke ruang tamu tanpa merasa bersalah. Yang penting sekarang Sena sudah bisa berbaring tanpa gangguan sebelum melanjutkan kembali pekerjaan sambilannya, menulis. Kegiatan yang selama satu minggu kedepan, mengisi waktu Sena. Hingga tanpa Sena sadari, ujian akhirnya datang.

Memang hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Masalahnya, bagaimana dengan orang yang tidak berusaha? Ya, jangan berharap hasil yang maksimal. Seperti yang Sena rasakan. Kejadian semester lalu kembali terulang.

Malam sebelum ujian, Sena memutuskan untuk tidak belajar dan asyik berkirim pesan pada gebetannya. Baru ketika subuh datang, dia mulai belajar. Katanya, waktu subuh memang waktu yang tepat untuk belajar. Namun, kalau belajarnya hanya waktu subuh saat hari ujian, ya sama saja. Setelah ujian, Sena hanya bisa menangis.

“Ya Tuhan, itu soal kenapa ngajak berantem, sih?” tangis Sena. Maura yang di sampingnya hanya geleng-geleng saja. Sudah biasa. Lagu lama. Begitu terus ceritanya. Monoton dan membosankan.

“Makanya belajar yang bener!”

“Aku belajar.”

“Belajar itu harus konsisten. Jangan cuma belajar sebelum ujian aja!”

“Pusing aku!”

“Yang lain juga pusing, tapi yang lain tetep usaha belajar.”

Sena mengerucutkan bibirnya. Dia melihat layar ponselnya yang baru mendapat pesan ke seratus satu dari Quin. Hari sebelumnya, dia sudah membuka dua ratus pesan tidak penting dari Quin. Isinya kalau bukan memanggil Sena, berarti bertabur emoticon dan stiker yang sama sekali tidak penting.

“Ini juga! Mengganggu saja!” kesal Sena. Padahal kalau ketemu orangnya, pasti ketakutan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status