Sena menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Dia membaca dengan seksama kata demi kata pada sebuah artikel lama. Jika hanya membaca artikel yang tersebar di dunia maya, maka terlihat jelas betapa sempurnanya keluarga calon Presiden Wigar.
Dimulai dari istri Wigar, Rania Mozah. Sama seperti namanya, Rania adalah wanita yang cantik dan anggun. Di usianya yang sudah tak muda lagi, Rania selalu tampil menawan. Begitu cocok jika disandingkan dengan Wigar yang tampak gagah dengan setelan mahalnya.
Tidak hanya terkenal akan parasnya, jiwa sosial Rania juga selalu dielu-elukan. Rania yang sering berkunjung ke tempat bencana. Rania yang selalu ramah pada setiap orang. Rania yang bla bla bla hingga berita kebaikannya tak pernah habis.
Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Setali tiga uang dengan sang ibu, baik Annisa Wigar Adyaksa maupun Aneska Wigar Adyaksa terkenal sebagai anak-anak yang penurut. Mudah bergaul dengan semua orang dan bukan tipe anak yang pemilik meski
“Coklat panas adalah teman yang baik buat kerja. Sebenernya kopi lebih cocok, sih, tapi … ah, biarin, deh. Coklat panas aja,” gumam Sena sambil mengaduk gelas berisi cokelat panas. Dia dan Quin belum lama berpisah sejak mereka selesai makan malam di kamar Sena, tapi Sena berpikir untuk membuatkan minuman untuk Quin. “Tuan Quin memangnya mau minuman kayak gitu?” tanya salah satu asisten rumah tangga yang dulu sering mengabaikan Sena. Kini keduanya sudah mulai akur walau tetap sering sinis-sinisan. Belakangan Sena juga baru tahu kalau asisten rumah tangga itu bernama Mirna, yang tidak lain adalah tetangga Maura. “Jelas mau. Aku bawain air cucian beras juga Quin pasti mau. Itu yang dinamakan cinta. Kamu pernah nggak, jatuh cinta? Jatuh cinta itu, berjuta rasanya,” canda Sena. Dia cekikikan sendiri dengan candaannya. “Mau aku bawain?” tawar Mirna. “Nggak usah. Pacarku emang tuan muda, tapi aku bukan tuan putri,” tolak Sena sambil mengibaskan rambutnya. Wa
Sebuah rumah yang sangat berbeda dibanding rumah lainnya itu, terlihat lebih terang dari biasanya. Yang biasanya hanya ada satu dua lampu saja, kini hampir semua lampunya menyala. Membuat rumah yang sering dijuluki sebagai rumah hantu itu, tampak megah.Sena menyipitkan mata demi melihat seorang laki-laki yang berdiri di balkon lantai paling atas. Rumah itu memiliki empat lantai dan kabarnya di dalam pun ada lift-nya. Jadi, tidak heran jika dari posisi Sena saat ini, dia tidak bisa melihat lebih jelas. Apalagi dengan mata minus Sena.“Kata Maura rumah ini kosong,” gumam Sena. Dia tidak tinggal di wilayah ini, tapi cerita tentang rumah hantu super megah ini cukup ramai dibicarakan orang-orang. Kabarnya rumah ini sudah lama tidak ditinggali lagi. Walau selalu ada orang-orang yang datang untuk membersihkan rumah ini, tapi karena bentuknya yang lebih mirip istana tak berpenghuni, anak-anak lebih suka menyebutnya sebagai rumah hantu.Sena mengambil kacama
Sebagai orang yang kalau melakukan sesuatu serba setengah-setengah, kesukaan Sena pun serba setengah-setengah. Dia suka berkumpul dengan teman-temannya, tapi dia juga suka menghabiskan waktu seorang diri selama berjam-jam. Dengan ditemani laptop, kopi, dan beberapa cemilan, Sena mampu berdiam diri di sudut café selama berjam-jam.Sama seperti hari ini. Akhir pekan selalu menjadi hari yang terbaik. Sejak pukul sepuluh pagi, Sena sudah duduk manis di HOC Café Peleburan. Padahal café ini baru buka pukul sembilan pagi. Bisa dibilang, Sena adalah pengunjung awal sekaligus pelanggan tetap café ini. Beberapa karyawan di sana bahkan mengenal Sena dengan baik. Mungkin karena keberadaan Sena terlalu mencolok. Sendiri dan berjam-jam.Tempat yang menjadi pilihan Sena kali ini adalah di dekat coffee corner. Di sampingnya ada sebuah televisi jadul dan rak berisi VCD. Bukan salah satu tempat favorit memang. Dia hanya asal duduk saja. Yang penting nyaman da
“Nggak usah dibayar. Anggep aja kamu habis dapat rejeki. Nggak bersyukur namanya kalau nolak rejeki.” Maura kembali sok bijak. Memang menolak rejeki bukan tindakan yang baik. Masalahnya kasus Sena tidak seperti itu. Dia ditraktir orang tidak kenal. Bagaimana mungkin Sena bisa tenang.“Rejeki sih, rejeki. Masalahnya kamu nggak tau orangnya kayak gimana.”“Emang orangnya kayak gimana? Eh, kita lewat depan rumahnya aja, ya? Siapa tau orangnya ada di luar. Penasaran aku, pengin tau orangnya kayak gimana.”Sena tidak langsung menjawab. Dia sedang menimbang, haruskan dia masuk ke rumah itu dan mencari Quin untuk mengembalikan uang laki-laki itu atau dia titipkan saja pada pengawal di gerbang rumah Quin?“Ayo,” ajak Maura setelah memasukan semua bukunya. Untuk Maura yang otaknya lebih encer dibanding Sena, kuliah kali ini cukup menguras energi. Apalagi untuk Sena? Otaknya sudah panas dingin. Geometri transformasi s
Quin melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul empat sore. Artinya dia sudah ada di atap selama satu jam. Duduk dengan kaki berayun pada dinding pembatas atap. Hal yang sebenarnya berbahaya, tapi tidak ada yang berani melawan Quin. Padahal pengawal yang melihatnya dari bawah, selalu menahan napas setiap kali melihat Quin mengganti posisi duduknya. Takut bos muda mereka jatuh dari atap karena nyawa mereka pun dipastikan akan ikut melayang. Bukan tanpa alasan Quin duduk di sana. Biasanya memang Quin hanya iseng saja, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Namun, kali ini berbeda. Dia sedang menunggu Sena. Sayang, yang ditunggu sudah dua hari ini tak terlihat batang hidungnya. “Kalau gadis itu datang, segera hubungi aku!” pesan Quin sehari setelah dia membuat Sena ketakutan. Sayangnya, belum ada kabar dari Sena. Quin hanya sering melihat Maura dan dia tidak tertarik dengan Maura. “Kenapa nggak datang lagi?” gumam Quin. Dia meregangkan lengannya ke atas,
Menghirup udara pagi ketika segala beban telah berlalu ternyata menyegarkan. Tidak ada tugas. Tidak ada ujian. Yang menantinya hanya liburan! Oh, indahnya menjadi mahasiswi. Setelah disibukan dengan tugas dan ujian, satu bulan lebih ujian telah menanti. Pulang kampung rasanya terdengar begitu merdu di telinga Sena. “Packing, ke rumah Maura ambil oleh-oleh, dan ke stasiun! Oh, indahnya,” gumam Sena yang masih bergulat di balik selimut. Tetangga sebelah kamarnya sudah pulang sejak kemarin. Sena sengaja menunda kepulangannya satu hari karena ibu Maura yang minta. Katanya ibu Maura hendak menyiapkan sesuatu untuk orangtua Maura. Seperti kata Maura, rejeki tidak boleh ditolak. Tidak masalah kalau harus menunda pulang satu hari. Yang penting tidak menyakiti hati ibu Maura. Sena menutup mulutnya yang sedang menguap. Di raihnya ponsel yang sejak tadi tidak ada bunyinya. Entah sejak kapan, tapi Quin sudah tidak menerornya dengan pesan dan panggilan telepon lagi. “Kaya
Andai ada alat yang bisa memutar waktu. Andai Sena memiliki teman seperti Doraemon, yang bisa memunculkan barang apa saja dari kantong ajaibnya. Andai Sena tidak gegabah, dengan masuk ke rumah Quin tanpa izin. Andai … andai … dan andai. Segala pengandaian kini berputar di pikiran Sena, dengan tubuh yang lemas dan tak mampu berlari. Sena tahu, dia pasti akan mendapat masalah. Yang dia lihat saat ini jelas bukan sesuatu yang sepatutnya dia lihat. Di depannya, ada puluhan laki-laki berjas hitam dengan otot yang rasanya ingin meledak keluar dari lengan jas. Lalu, ada pula Quin yang tampak seperti orang kesetanan dan seorang laki-laki tak berdaya yang kini tubuhnya dipenuhi darah segar. Apa yang Quin lakukan? Bagaimana mungkin orang-orang membiarkan Quin memukuli orang hingga sekarat seperti itu? Wajah orang itu bahkan sudah tak terlihat bentuknya karena tertutup dengan darah dan bekas pukulan. Sena yang pada dasarnya tidak bisa melihat darah, seketika merasa mual dan lem
Dengan lembut Quin membersihkan darah di pipi Sena dengan tisu basah. Itu bukan darah Sena. Itu adalah darah dari pria yang Quin pukuli. Darah itu ikut menempel saat Quin menampar Sena. Sebuah tamparan hasil dari luapan emosi Quin karena Sena yang dia pikir terlalu usil. “Pasti sakit,” gumam Quin. Dia membelai puncak kepala Sena. “Ini akibat karena kamu terlalu usil. Kamu harus diberi hukuman berat, Sena. Aku sebenarnya nggak mau nampar kamu, tapi kamu sudah melewati batas.” Quin masih tidak habis pikir, gadis yang ada di hadapannya, berani masuk ke rumahnya tanpa izin. Terutama saat Quin tahu alasan kedatangan Sena. Memang terkadang datang di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat, bisa berakibat fatal. Seperti yang akan Sena terima. Anak buah Quin bukannya tidak tahu jika ada layang-layang yang bertamu di rumah itu. Mereka hanya mengabaikannya. Hal seperti itu sudah sering terjadi, mengingat rumah Quin yang sangat besar. Hanya saja, ada hal penting yan