Sebagai orang yang kalau melakukan sesuatu serba setengah-setengah, kesukaan Sena pun serba setengah-setengah. Dia suka berkumpul dengan teman-temannya, tapi dia juga suka menghabiskan waktu seorang diri selama berjam-jam. Dengan ditemani laptop, kopi, dan beberapa cemilan, Sena mampu berdiam diri di sudut café selama berjam-jam.
Sama seperti hari ini. Akhir pekan selalu menjadi hari yang terbaik. Sejak pukul sepuluh pagi, Sena sudah duduk manis di HOC Café Peleburan. Padahal café ini baru buka pukul sembilan pagi. Bisa dibilang, Sena adalah pengunjung awal sekaligus pelanggan tetap café ini. Beberapa karyawan di sana bahkan mengenal Sena dengan baik. Mungkin karena keberadaan Sena terlalu mencolok. Sendiri dan berjam-jam.
Tempat yang menjadi pilihan Sena kali ini adalah di dekat coffee corner. Di sampingnya ada sebuah televisi jadul dan rak berisi VCD. Bukan salah satu tempat favorit memang. Dia hanya asal duduk saja. Yang penting nyaman dan tetap bisa berkonsentrasi membuat novel sebagai pengalih pikiran.
Sebagai mahasiswi fakultas pendidikan matematika, Sena lebih sering melihat angka ketimbang huruf. Memang dia sudah menggilai matematika sejak di bangku sekolah dasar, tapi kuliah membuat dia sadar bahwa menggilai sesuatu tetap tak akan abadi. Sampai masuk SMA, Sena masih merasa matematika sangat menyenangkan, tapi kuliah membuat semangat Sena hancur berkeping-keping.
Cukup sudah dia berurusan dengan angka selama di kampus. Akhir pekannya harus dia nikmati tanpa memikirkan hal-hal yang berbau matematika. Sena tak akan sudi mengerjakan tugas di akhir peka. Kecuali kalau dipaksa Maura atau karena ada tugas kelompok. Kalau tugas individu, maaf saja, ya. Dia lebih suka jemarinya menari di atas keyboard, membuat sebuah karya yang akan disukai banyak orang.
Sudut bibir Sena terangkat saat satu chapter selesai dia ketik. Dia sedang membuat novel baru. Novel lamanya memang belum selesai dia buat, tapi ide baru kini datang bermunculan. Tepatnya setelah kejadian dia melihat rumah hantu yang kini berpenghuni. Kejadian itu memberi Sena sebuah ide.
“Ada untungnya juga rupanya,” gumam Sena dalam hati. Dia meregangkan tubuhnya dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba tubuhnya terpaku saat tatapannya bertemu dengan tatapan seorang lak-laki yang berdiri di depan counter.
Kelemotan Sena kembali datang. Tahu kalau tatapannya berpapasan, tapi dia tetap menatap laki-laki itu. Pikirannya kini sedang memproses, rasanya dia pernah melihat laki-laki itu? Tapi, di mana?
Normalnya orang, walau merasa pernah melihat seseorang, orang pasti tidak akan menatap orang itu terus-menerus. Namun, Sena justru menajamkan tatapannya sekaligus mengingat siapa laki-laki itu.
Laki-laki itu tiba-tiba mengerling pada Sena. Sena tersentak dan buru-buru berbalik. Dia ingat sekarang. Laki-laki itu penghuni rumah hantu!
“Eh, apa bukan, ya?” tanya Sena dalam hati. Dia ragu. Pasalnya dia melihat laki-laki itu dari kejauhan. Ingatannya juga tidak tajam. Apa yang kemarin dia lakukan, seringnya Sena lupakan begitu saja. Maura sampai sering gemas karena Sena terlalu sering melupakan sesuatu. Tidak masalah jika itu tidak penting. Masalahnya yang sering Sena lupakan justru hal-hal yang penting.
Seorang pelayan datang ke meja Sena, membawakan satu gelas berisi mango juice yang terlihat segar.
“Aku nggak pesan ini,” tolak Sena. Caffe latte miliknya masih setengah penuh dan perut Sena juga sudah kenyang. Dia sudah menghabiskan satu gelas air mineral dingin dan satu piring HOC pasta.
“Itu hadiah dariku.”
Seseorang di belakang Sena menjawab. Laki-laki itu duduk di depan Sena ketika pelayan telah pergi dengan membawa satu gelas Americano, minuman yang seumur-umur belum pernah Sena minum.
Sena melongo. Laki-laki yang sudah dua kali dia intai, kini duduk di depannya. Dan seolah sadar dengan fisiknya yang mampu membuat wanita luluh dalam tiga detik, laki-laki itu menopang wajahnya dengan dua tangan. Seolah berkata, nih, lihat wajah tampanku. Senang bukan, melihatku dari dekat?
“Kamu bukan, yang sudah dua hari ngintai di depan rumahku?”
Sena menelan savilanya demi mendengar pertanyaan laki-laki itu.
“Kalau mau tau, masuk saja. Pintu gerbang rumahku terbuka untukmu.”
Kali ini Sena mengernyit dalam. Tambahan! Walau laki-laki ini mampu membuat wanita tergila-gila hanya dalam waktu tiga detik, tapi tiga detik berikutnya perasaan tergila-gila itu hilang saat melihat laki-laki itu bersikap sok kegantengan. Seperti sekarang. Jadi, catatan untuk laki-laki tampan di mana saja. Kalian tidak perlu tebar pesona seolah berkata, lihat aku sangat tampan. Karena tanpa tebar pesona pun, orang sudah tahu.
“Siapa yang mengintai?”
“Kamu.”
“Nggak!”
“Oh, ya? Aku punya buktinya.”
Laki-laki itu pun mengambil ponsel di sakunya. Mengutak-atik ponsel itu selama beberapa saat sebelum memperlihatkan layarnya pada Sena. Tepat seperti dugaan Sena, camera milik laki-laki itu pasti super canggih. Hasil potretnya sudah seperti diambil dari jarak dekat. Wajah Sena terlihat dengan jelas. Tidak heran kalau laki-laki itu juga mengenali Sena.
“Aku cuma lewat di sana,” balas Sena sambil membuang muka. Tindakan yang jelas menunjukkan bahwa dia sedang berbohong.
Laki-laki itu mengangguk-angguk, tapi raut wajahnya seperti tidak puas.
“Siapa namamu?”
“Aku nggak biasa nyebut nama sama orang asing.”
“Ah, begitu? Emang apa masalahnya? Aku nggak keberatan nyebut namaku sendiri.”
“Aku nggak tertarik buat tau nama kamu.”
“Oh, ya?”
Laki-laki itu tiba-tiba mendekatkan wajahnya hingga berada di atas layar laptop Sena. Dia kembali mengerling nakal pada Sena. Sakit mata atau gimana, sih? Batin Sena.
“Namaku Quin.”
Selama beberapa saat, Sena hanya mengerjapkan mata. Bukan, bukan karena laki-laki di depannya semakin kepedean, tapi karena mendengar nama laki-laki itu.
“Siapa? Queen? Ratu maksudnya?”
Quin berdesis. Dia tidak heran mendengar reaksi Sena, tapi bukan berarti Quin suka dengan reaksi itu.
“Quin! Q-U-I-N!”
Quin sampai mengeja namanya.
“Nama yang unik,” balas Sena dengan nada tidak tertarik. Setampan apapun Quin, Sena tidak tertarik dengan jenis laki-laki seperti Quin.
“Kamu kuliah?”
Sena kembali waspada. Laki-laki di depannya masih belum menyerah untuk mengetahui siapa itu Sena.
“Iya.”
“Di mana?”
Sena memilih tidak menjawab. Jemarinya kembali menarikan jemarinya di atas keyboard.
“Aku datang ke sini bersama pengawalku. Mereka yang kemarin ngejar kamu.”
Ucapan Quin kali ini seperti ada nada-nada ancaman. Mungkin dia kesal karena Sena jarang menjawab ucapannya.
“Di UPGRIS.”
“Di mana itu?” tanya Quin dengan cepat. Detik setelah Sena menjawab, detik itu juga Quin langsung bertanya.
“Dekat rumah kamu.”
“Oh, ya? Asyik kuliah di sana?”
“Biasa saja.”
“Gimana caranya biar bisa kuliah di sana?”
Sena kembali mengerutkan keningnya. Heran saja dengan pertanyaan Quin. Dia memang tidak tahu atau sengaja ingin mengerjain Sena.
“Ya, tes, lah.”
“Susah-susah tesnya?”
“Aku masuk tanpa tes.”
“Tadi katanya pakai tes. Gimana, sih?”
“Pusing aku jelasinnya dan nggak penting juga.”
“Kalau gitu jawab saja, nama kamu siapa? Pertanyaan yang mudah buat dijawab.”
Namun, Quin tetap tidak bisa mendengar nama Sena karena salah satu pengawalnya masuk untuk memeriksa keberadaan bosnya sekaligus menyuruh bosnya untuk pergi. Sena akhirnya bisa bernapas lega setelah kepergian Quin.
Memang benar Sena sudah lega, tapi idenya juga ikutan kabur. Dia memutuskan untuk menghentikan kegiatannya setelah mengedit satu bab yang akan dia publish hari ini.
“Berapa, Mbak?” tanya Sena pada pihak kasir.
“Pesanan Mbak Sena sudah dibayar semua.”
“Hah?”
“Iya, sudah dibayar.”
“Siapa?”
“Yang tadi duduk di depan Mbak Sena. Pacarnya, ya?”
“Pacar? Kenal aja nggak!” kesal Sena. Dia menghentakkan kaki sambil mengerucutkan bibirnya.
“Tapi, kok dibayarin. Padahal Mbak Sena makannya banyak.”
“Nggak tau, deh.”
Sena buru-buru pergi mencari keberadaan Quin. Namun, sepertinya laki-laki itu sudah pergi. Sayang sekali karena Sena paling tidak suka berhutang. Walau mungkin uang yang Quin miliki sudah cukup banyak, tapi bagi Sena, hutang tetap saja hutang.
“Nanti aku balikin pas lewat.”
Sena meremuk kertas pesanannya dengan kesal. Namun, buru-buru merapikan kembali kertas itu. Kertas itu akan dia jadikan sebagai bukti untuk mengganti uangnya pada Quin.
***
“Coklat panas adalah teman yang baik buat kerja. Sebenernya kopi lebih cocok, sih, tapi … ah, biarin, deh. Coklat panas aja,” gumam Sena sambil mengaduk gelas berisi cokelat panas. Dia dan Quin belum lama berpisah sejak mereka selesai makan malam di kamar Sena, tapi Sena berpikir untuk membuatkan minuman untuk Quin. “Tuan Quin memangnya mau minuman kayak gitu?” tanya salah satu asisten rumah tangga yang dulu sering mengabaikan Sena. Kini keduanya sudah mulai akur walau tetap sering sinis-sinisan. Belakangan Sena juga baru tahu kalau asisten rumah tangga itu bernama Mirna, yang tidak lain adalah tetangga Maura. “Jelas mau. Aku bawain air cucian beras juga Quin pasti mau. Itu yang dinamakan cinta. Kamu pernah nggak, jatuh cinta? Jatuh cinta itu, berjuta rasanya,” canda Sena. Dia cekikikan sendiri dengan candaannya. “Mau aku bawain?” tawar Mirna. “Nggak usah. Pacarku emang tuan muda, tapi aku bukan tuan putri,” tolak Sena sambil mengibaskan rambutnya. Wa
Sena menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Dia membaca dengan seksama kata demi kata pada sebuah artikel lama. Jika hanya membaca artikel yang tersebar di dunia maya, maka terlihat jelas betapa sempurnanya keluarga calon Presiden Wigar.Dimulai dari istri Wigar, Rania Mozah. Sama seperti namanya, Rania adalah wanita yang cantik dan anggun. Di usianya yang sudah tak muda lagi, Rania selalu tampil menawan. Begitu cocok jika disandingkan dengan Wigar yang tampak gagah dengan setelan mahalnya.Tidak hanya terkenal akan parasnya, jiwa sosial Rania juga selalu dielu-elukan. Rania yang sering berkunjung ke tempat bencana. Rania yang selalu ramah pada setiap orang. Rania yang bla bla bla hingga berita kebaikannya tak pernah habis.Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Setali tiga uang dengan sang ibu, baik Annisa Wigar Adyaksa maupun Aneska Wigar Adyaksa terkenal sebagai anak-anak yang penurut. Mudah bergaul dengan semua orang dan bukan tipe anak yang pemilik meski
Berat rasanya ketika Sena harus kembali ke Semarang, terkurung di rumah Quin demi membuat keluarganya aman. Ini bukan lagi karena Quin yang mengurungnya, tapi karena Sena menyadari semua itu demi dirinya dan keluarganya.“Sudah, jangan nangis terus,” bujuk Quin sambil mengelus kepala Sena. Dia tidak tahu caranya menghibur orang, jadi hanya bisa mengelus kepala Sena. Sudah sejak mobil Quin meninggalkan kediaman Sena, gadis itu menangis tanpa henti. Padahal sebentar lagi mobil sudah memasuki kawasan Pekalongan.“Ngomong-ngomong, adek kamu itu agak kurang, ya?”Sena menoleh ke arah Quin, tangisnya berhenti demi mendengar pertanyaan Quin. Kelopak matanya mengedip beberapa kali, seperti orang bingung.“Maksud kamu?”“Masa dia bilang, untung tangannya sakit jadi dia nggak usah ikut ujian renang. Ujian praktik olahraga lain juga katanya nggak perlu adek kamu ikuti dan otomatis dapat nilai bagus. Baru kali ini aku
“Hah?” Quin menatap ke arah kunci yang Sena sodorkan, kemudian ke arah Sena. Tidak paham maksud Sena menyerahkan kunci itu padanya. Bukan sedang menyuruh Quin untuk mengendarai sepeda motor, bukan? “Ini,” ulang Sena, masih menyodorkan kunci motornya. Sebuah motor skuter matik berwarna cokelat baru saja Sena keluarkan dari garasi rumahnya. Dalam garasi itu, ada sebuah mobil antik tua dan dua buah motor. Salah satunya motor yang baru saja Sena keluarkan. “Itu … kenapa?” Sena menghela napas. Sena menyerahkan kunci, bukankah sudah jelas maksudnya. Pegal terus-terusan menyodorkan tangannya, Sena meletakkan kunci itu di genggaman Quin. “Ayo, cepat. Nanti kesiangan. Nggak asyik kalau main di pantai pas panas.” Sena langsung menempatkan dirinya di bagian dudukan belakang motor. Dia menoleh ke arah Quin yang masih melongo di tempatnya, menatap kunci di tangannya dengan tatapan bingung. Tentu ada masalah penting yang belum Sena ketahui.
Jika di sebuah drama ada scene di mana pemeran utama pria merasa hangat berada di tengah-tengah keluarga pemeran utama wanita, mungkin Quin akan mencelanya. Tapi, itu dulu. Dulu sebelum Quin melihat sendiri bagaimana interaksi keluarga Sena. Jika dibilang hangat, mungkin tidak terlalu. Tapi, jelas sekali terlihat bagaimana keluarga ini saling berbagi kasih sayang mereka. Siang tadi, Quin memang sudah makan di rumah Sena, tapi dia hanya berdua dengan Sena. Baru sekarang saat makan malam, semua keluarga Sena berkumpul di meja makan, tak terkecuali Seno yang tangannya masih di gips. Entah orangtua Sena yang terlalu memanjakan anak-anak mereka atau apa, tapi ibu Sena dengan telaten menyuapi Seno. Padahal hanya satu tangan Seno yang terluka. Tangan lainnya baik-baik saja bahkan dia tetap asyik bermain game dengan satu tangan. Sudut bibir Quin tanpa sadar sedikit terangkat. Sorot matanya berpindah-pindah, mengikuti siapa saja yang sedang berbicara. Walau dia jarang
Sena membuka ruang tamu tanpa permisi. Dia mendengar suara bersin Quin, jadi dia pikir Quin mungkin sedang istirahat. Tidak tahunya, Quin sedang melepaskan celananya. Tubuh bagian atasnya sudah polos. Quin yang memang dasarnya senang mengerjai Sena, cuek saja saat melihat Sena tiba-tiba membuka kamar. Berbeda dengan Quin, Sena mendelik melihat pemandangan di depannya. Dia pernah berenang dengan Quin, tapi situasi sekarang jelas berbeda. Mereka sedang ada di kamar Sena dan kalau Sena tidak salah, ibunya juga akan turun setelah menemui Seno. Aturan Sena akan segera menutup pintu kamar itu. Ya, memang Sena langsung menutupnya. Masalahnya, Sena menutup dari dalam, bukan dari luar kamar. Tahu kan, maksudnya seperti apa? “Kamu! Kenapa buka baju sembarangan!” protes Sena dengan suara sekecil yang dia bisa. Mengingat kamar ini dan kamar sebelah hanya dibatasi tembok yang tak seberapa, yang jelas tak sekokoh rumah Quin, ada kemungkinan suara di kamar ini juga bisa didengar ol