Hidup Sena Aurora biasa saja sebelum bertemu dengan laki-laki misterius penghuni sebuah rumah yang sering orang-orang sebut sebagai rumah hantu, Quinton Wigar Adyaksa. Karena sesuatu yang tidak seharusnya Sena lihat, Quin membuat Sena mendekam dalam salah satu kamar di rumah hantu. Kata damai sudah tak ada lagi dalam kamus Sena. Yang terjadi hanya sebuah kengerian yang perlahan justru menjadi candu, yang membuat Sena berpikir, haruskah dia berusaha kabur atau tetap berada dalam genggaman Quin? Lalu, siapa sebenarnya Quin? Kenapa pria misterius itu hanya menghabiskan waktunya di rumah yang memiliki penjagaan super ketat dan membuat Sena menuruti semua kemauannya? Book cover :: Exclusively designed by Canva Pro and owned by Cassie IG : @cassienara
View MoreSebuah rumah yang sangat berbeda dibanding rumah lainnya itu, terlihat lebih terang dari biasanya. Yang biasanya hanya ada satu dua lampu saja, kini hampir semua lampunya menyala. Membuat rumah yang sering dijuluki sebagai rumah hantu itu, tampak megah.
Sena menyipitkan mata demi melihat seorang laki-laki yang berdiri di balkon lantai paling atas. Rumah itu memiliki empat lantai dan kabarnya di dalam pun ada lift-nya. Jadi, tidak heran jika dari posisi Sena saat ini, dia tidak bisa melihat lebih jelas. Apalagi dengan mata minus Sena.
“Kata Maura rumah ini kosong,” gumam Sena. Dia tidak tinggal di wilayah ini, tapi cerita tentang rumah hantu super megah ini cukup ramai dibicarakan orang-orang. Kabarnya rumah ini sudah lama tidak ditinggali lagi. Walau selalu ada orang-orang yang datang untuk membersihkan rumah ini, tapi karena bentuknya yang lebih mirip istana tak berpenghuni, anak-anak lebih suka menyebutnya sebagai rumah hantu.
Sena mengambil kacamata demi bisa melihat lebih jelas. Hal yang sebenarnya tidak penting karena dia hanya kebetulan saja lewat di sana. Tidak penting juga, siapa laki-laki yang berdiri di sana. Hanya saja, Sena cukup penasaran, siapa sebenarnya pemilik rumah megah ini? Kenapa pula membangun rumah semegah ini di lingkungan yang bisa dibilang mayoritas masyarakatnya menengah ke bawah.
Bisa dibilang, tidak ada yang tahu siapa pemilik rumah itu. Orang-orang yang bekerja di sana seperti sudah mendapat perjanjian agar tidak ada yang berbicara. Semua yang mereka lihat di dalam pun, kabarnya tidak boleh sampai keluar. Jika ada yang berani melanggar, hukumannya tidak akan main-main.
“Hidup orang kaya memang kadang membingungkan dan sok misterius.” Baru saja mulutnya menutup, tubuh Sena tersentak saat menyadari laki-laki yang sedang dia intai, rupanya juga menatap ke arahnya.
“Ketahuan!” seru Sena seraya berjalan dengan cepat. Jangan sampai orang-orang bertubuh besar yang berjaga di depan pintu juga tahu kalau Sena sedang mengintai.
***
Memang dasar Sena. Sudah tahu kemarin ketahuan sedang mengintai, sekarang dia justru kembali berjalan di depan rumah itu. Padahal ada jalan lain menuju rumah Maura. Jalan yang tentunya lebih ramai. Pasalnya rumah megah itu panjangnya sudah seperti panjang lima rumah dan di depannya hanya ada kebun. Katanya kebun itu juga dimiliki oleh orang yang sama.
Sena berdehem saat melewati pintu gerbang. Sama seperti semalam, pintu itu dijaga oleh orang-orang bertubuh besar. Ingin rasanya Sena melirik ke dalam melalui gerbang, tapi melihat tubuh orang-orang itu, Sena tidak berani. Pandangannya tetap lurus ke depan. Baru setelah melewati pintu gerbang, dia menoleh ke kamar di lantai paling atas.
Tidak ada siapapun di sana. Jendelanya pun tampak tertutup rapat. Namun, saat pandangan Sena semakin ke atas, barulah Sena melihat seorang laki-laki yang duduk di atap. Laki-laki itu tersenyum ke arah Sena, sadar jika Sena sedang menatapnya.
Semalam Sena tidak bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki itu, tapi sekarang dengan bantuan kacamata dan cahaya matahari yang mulai bergerak ke barat, Sena bisa melihat wajah rupawan laki-laki itu.
Laki-laki itu tampak mengambil sesuatu, sedang Sena masih terpaku di tempatnya. Barulah saat dia menyadari apa yang diambil oleh laki-laki itu, semuanya sudah terlambat. Laki-laki itu sudah memotret dirinya. Dengan jarak mereka yang cukup jauh, kemungkinan laki-laki itu tidak bisa memotret wajah Sena dengan jelas. Namun! Teknologi zaman sekarang sudah menggila. Orang yang bisa membangun sebuah istana, tentu bisa memiliki camera super yang bisa menangkap jarak yang cukup jauh.
Sena kelabakan. Tidak tahu apa maksud laki-laki itu memotretnya, yang jelas Sena sudah melakukan kesalahan besar. Terlebih saat melihat laki-laki itu melambai ke arah Sena.
Agaknya sikap laki-laki itu menarik perhatian pengawalnya. Laki-laki berbadan besar yang berjaga di depan gerbang, sempat heran melihat tuannya sebelum akhirnya melihat Sena yang membeku di tempat. Memang bodoh gadis yang satu ini. Bukannya lari, dia justru mematung di tempat. Barulah saat tiga laki-laki berbadan besar berjalan ke arahnya, Sena mulai melangkahkan kakinya menjauh dengan gerakan secepat yang dia bisa.
Sena tidak tahu apakah pria-pria itu mengikutinya. Yang jelas, dia terus berlari dan berlari sampai menemukan orang. Napasnya terengah-engah saat dia tiba di depan rumah Maura. Rumah mungil bercat kuning dengan pagar setinggi satu meter yang terbuat dari kayu.
Sena terbatuk. Dia membuka gerbang rumah Maura sambil menepuk pelan dadanya. Dia tidak perlu repot-repot mengetuk pintu karena si pemilik rumah sudah keluar lebih dulu.
“Habis maraton?” tanya Maura asal. Dahinya mengerut saat melihat sahabatnya duduk berselonjor di lantai. “Atau habis dikejar maling?”
Sena mengibas-ngibaskan tangannya, tanda jika dia belum bisa menjawab. Untung di depan rumah Maura ada pohon mangga, jadi masih ada semilir angin.
“Buat apa maling ngejar aku, heh? Yang ada, aku yang ngejar maling,” kata Sena akhirnya. Dia membiarkan punggunya merasakan sejuknya dinding rumah Maura.
Maura terkikik geli.
“Syukur kalau gitu, berarti masih bisa mikir.” Maura bergabung dengan Sena. Dia mulai membuka laptop yang sejak tadi tergeletak di atas meja. “Habis apa, sih? Kenapa sampe ngos-ngosan gitu?”
“Habis lihat penampakan.”
“Hah?”
“Di rumah hantu.”
“Hah?”
Maura mengerutkan keningnya.
“Badannya besar-besar.”
“Ngomong apa, sih?”
Maura gemas sendiri dengan temannya. Datang dengan napas tersengal-sengal dan sekarang omongannya tidak jelas.
“Di rumah hantu yang pernah kamu ceritain itu.”
Masih tidak paham, dahi Maura mengerut dalam.
“Kesambet, ya?” tanya Maura asal. Dia geleng-geleng melihat teman baiknya. Tidak heran sih, Sena memang kadang tidak jelas seperti itu.
“Belum. Makanya aku lari.”
Maura menepuk dahi. Kenapa obrolannya dengan Sena semakin tidak jelas.
“Nggak tau, ah! Omongan kamu nggak jelas.”
“Bawain aku minum dulu. Nanti aku ceritain.”
“Ambil sendiri.”
Tidak protes, Sena mengangkat tubuhnya dan berjalan memasuki rumah Maura seperti rumahnya sendiri. Bersahabat dengan Maura sejak awal kuliah membuat dia sudah terbiasa menghabiskan waktu di rumah Maura. Kedua orangtua Maura juga sudah hapal kebiasaan-kebiasaan Sena. Salah satunya minum air putih di tengah malam.
Dulu, saat baru awal-awal menginap di rumah Maura, ibu Maura sampai berpikir Sena itu hantu, saat melihat ada yang berjalan di dapur dengan rambut acak-acakkan. Untung saja ibu Maura tipe orang yang lebih suka merapalkan doa daripada berteriak. Dan untung saja, Sena berbalik saat mendengar langkah kaki ibu Maura.
Kembali ke masa sekarang, Sena kembali ke teras dengan satu botol air mineral dingin dengan dua gelas. Salah satu gelas yang baru Sena isi dengan air, langsung dia tandaskan. Dia kembali menuang air dingin, tapi kali ini hanya setengahnya.
“Jadi, habis dikejar setan?”
Sena mengangguk polos.
“Setannya besar?”
Sena kembali mengangguk.
“Tadi pagi sudah minum obat?”
Dan Sena sadar, temannya sedang mencandainya. Padahal Sena menjawab dengan jujur.
“Aku nggak bohong. Rumah hantu itu sekarang ada penghuninya. Yang jaga di depan gerbang, tubuhnya besar-besar. Ada kali lima orang. Trus ada cowok. Pas malem-malem aku lihat, dia di balkon kamar paling atas, tapi tadi dia duduk di atap. Trus, dia malah moto aku!”
“Ah, setannya punya kamera?”
“Iya!” jawab Sena menggebu, tapi kemudian dia kembali menyadari kebodohannya. “Sial! Nggak percaya, ya?”
“Percaya.” Tapi, wajah Maura menunjukkan sebaliknya. Dia menanggapi ucapan Sena saja seperti formalitas saja. Sama sekali tidak ada minat.
“Aku nggak bohong, Ma. Rumah itu sekarang ada penghuninya.”
“Iya, setan, kan?”
Sena menepuk dahinya. Dia menyadari kebodohannya.
“Maksudku bukan setan.”
“Terus, iblis?” tanya Maura lagi.
“Manusia!”
“Makanya kalau cerita yang jelas, dong. Tadi katanya ada penampakan. Gimana, sih?”
Sena tersenyum lebar. Dia kembali meneguk sisa air di gelasnya.
“Iya, orang. Rumah itu sekarang ada orangnya. Di gerbang, ada pengawal. Terus di depan pintu juga ada pengawalnya. Aku curiga, jangan-jangan di dalem juga masih banyak pengawalnya.”
“Itu rumah atau sarang pengawal.”
“Mana kutahu. Yang jelas, aku takut lewat sana.”
“Kenapa? Sama orang masa takut.” Maura kembali geleng-geleng. Tatapannya lebih sering fokus pada layar laptop ketimbang Sena yang sedang bercerita. Habis, cerita Sena tidak mutu. Tidak jelas juga.
“Cowok yang tadi aku bilang. Dia moto aku. Buat apa coba?”
“Kenapa kamu bisa tau kalo dia moto kamu? Katanya dia di atap?”
“Kan aku lihat.”
“Kamu nglihatin rumah itu?”
“Iya.”
“Ngapain?” Kali ini Maura menoleh ke arah Sena. Dahinya mengerut dalam.
“Heran aja, tiba-tiba rumah itu ada orangnya.”
“Yaelah Sena! Orang-orang nyebut rumah hantu juga bukan karena ada hantunya. Cuma asal sebut saja. Malah ada yang bilang istana hantu.”
Sena hanya mengedikkan bahu, tidak peduli. Yang jelas, dia tidak akan lewat ke sana lagi. Walau jalan lain akan memakan waktu lebih lama.
***
“Coklat panas adalah teman yang baik buat kerja. Sebenernya kopi lebih cocok, sih, tapi … ah, biarin, deh. Coklat panas aja,” gumam Sena sambil mengaduk gelas berisi cokelat panas. Dia dan Quin belum lama berpisah sejak mereka selesai makan malam di kamar Sena, tapi Sena berpikir untuk membuatkan minuman untuk Quin. “Tuan Quin memangnya mau minuman kayak gitu?” tanya salah satu asisten rumah tangga yang dulu sering mengabaikan Sena. Kini keduanya sudah mulai akur walau tetap sering sinis-sinisan. Belakangan Sena juga baru tahu kalau asisten rumah tangga itu bernama Mirna, yang tidak lain adalah tetangga Maura. “Jelas mau. Aku bawain air cucian beras juga Quin pasti mau. Itu yang dinamakan cinta. Kamu pernah nggak, jatuh cinta? Jatuh cinta itu, berjuta rasanya,” canda Sena. Dia cekikikan sendiri dengan candaannya. “Mau aku bawain?” tawar Mirna. “Nggak usah. Pacarku emang tuan muda, tapi aku bukan tuan putri,” tolak Sena sambil mengibaskan rambutnya. Wa
Sena menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Dia membaca dengan seksama kata demi kata pada sebuah artikel lama. Jika hanya membaca artikel yang tersebar di dunia maya, maka terlihat jelas betapa sempurnanya keluarga calon Presiden Wigar.Dimulai dari istri Wigar, Rania Mozah. Sama seperti namanya, Rania adalah wanita yang cantik dan anggun. Di usianya yang sudah tak muda lagi, Rania selalu tampil menawan. Begitu cocok jika disandingkan dengan Wigar yang tampak gagah dengan setelan mahalnya.Tidak hanya terkenal akan parasnya, jiwa sosial Rania juga selalu dielu-elukan. Rania yang sering berkunjung ke tempat bencana. Rania yang selalu ramah pada setiap orang. Rania yang bla bla bla hingga berita kebaikannya tak pernah habis.Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Setali tiga uang dengan sang ibu, baik Annisa Wigar Adyaksa maupun Aneska Wigar Adyaksa terkenal sebagai anak-anak yang penurut. Mudah bergaul dengan semua orang dan bukan tipe anak yang pemilik meski
Berat rasanya ketika Sena harus kembali ke Semarang, terkurung di rumah Quin demi membuat keluarganya aman. Ini bukan lagi karena Quin yang mengurungnya, tapi karena Sena menyadari semua itu demi dirinya dan keluarganya.“Sudah, jangan nangis terus,” bujuk Quin sambil mengelus kepala Sena. Dia tidak tahu caranya menghibur orang, jadi hanya bisa mengelus kepala Sena. Sudah sejak mobil Quin meninggalkan kediaman Sena, gadis itu menangis tanpa henti. Padahal sebentar lagi mobil sudah memasuki kawasan Pekalongan.“Ngomong-ngomong, adek kamu itu agak kurang, ya?”Sena menoleh ke arah Quin, tangisnya berhenti demi mendengar pertanyaan Quin. Kelopak matanya mengedip beberapa kali, seperti orang bingung.“Maksud kamu?”“Masa dia bilang, untung tangannya sakit jadi dia nggak usah ikut ujian renang. Ujian praktik olahraga lain juga katanya nggak perlu adek kamu ikuti dan otomatis dapat nilai bagus. Baru kali ini aku
“Hah?” Quin menatap ke arah kunci yang Sena sodorkan, kemudian ke arah Sena. Tidak paham maksud Sena menyerahkan kunci itu padanya. Bukan sedang menyuruh Quin untuk mengendarai sepeda motor, bukan? “Ini,” ulang Sena, masih menyodorkan kunci motornya. Sebuah motor skuter matik berwarna cokelat baru saja Sena keluarkan dari garasi rumahnya. Dalam garasi itu, ada sebuah mobil antik tua dan dua buah motor. Salah satunya motor yang baru saja Sena keluarkan. “Itu … kenapa?” Sena menghela napas. Sena menyerahkan kunci, bukankah sudah jelas maksudnya. Pegal terus-terusan menyodorkan tangannya, Sena meletakkan kunci itu di genggaman Quin. “Ayo, cepat. Nanti kesiangan. Nggak asyik kalau main di pantai pas panas.” Sena langsung menempatkan dirinya di bagian dudukan belakang motor. Dia menoleh ke arah Quin yang masih melongo di tempatnya, menatap kunci di tangannya dengan tatapan bingung. Tentu ada masalah penting yang belum Sena ketahui.
Jika di sebuah drama ada scene di mana pemeran utama pria merasa hangat berada di tengah-tengah keluarga pemeran utama wanita, mungkin Quin akan mencelanya. Tapi, itu dulu. Dulu sebelum Quin melihat sendiri bagaimana interaksi keluarga Sena. Jika dibilang hangat, mungkin tidak terlalu. Tapi, jelas sekali terlihat bagaimana keluarga ini saling berbagi kasih sayang mereka. Siang tadi, Quin memang sudah makan di rumah Sena, tapi dia hanya berdua dengan Sena. Baru sekarang saat makan malam, semua keluarga Sena berkumpul di meja makan, tak terkecuali Seno yang tangannya masih di gips. Entah orangtua Sena yang terlalu memanjakan anak-anak mereka atau apa, tapi ibu Sena dengan telaten menyuapi Seno. Padahal hanya satu tangan Seno yang terluka. Tangan lainnya baik-baik saja bahkan dia tetap asyik bermain game dengan satu tangan. Sudut bibir Quin tanpa sadar sedikit terangkat. Sorot matanya berpindah-pindah, mengikuti siapa saja yang sedang berbicara. Walau dia jarang
Sena membuka ruang tamu tanpa permisi. Dia mendengar suara bersin Quin, jadi dia pikir Quin mungkin sedang istirahat. Tidak tahunya, Quin sedang melepaskan celananya. Tubuh bagian atasnya sudah polos. Quin yang memang dasarnya senang mengerjai Sena, cuek saja saat melihat Sena tiba-tiba membuka kamar. Berbeda dengan Quin, Sena mendelik melihat pemandangan di depannya. Dia pernah berenang dengan Quin, tapi situasi sekarang jelas berbeda. Mereka sedang ada di kamar Sena dan kalau Sena tidak salah, ibunya juga akan turun setelah menemui Seno. Aturan Sena akan segera menutup pintu kamar itu. Ya, memang Sena langsung menutupnya. Masalahnya, Sena menutup dari dalam, bukan dari luar kamar. Tahu kan, maksudnya seperti apa? “Kamu! Kenapa buka baju sembarangan!” protes Sena dengan suara sekecil yang dia bisa. Mengingat kamar ini dan kamar sebelah hanya dibatasi tembok yang tak seberapa, yang jelas tak sekokoh rumah Quin, ada kemungkinan suara di kamar ini juga bisa didengar ol
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments