Sampai di sekolah, Mutiara dan Ivan berpisah di parkiran. Kelas Ivan ada di belakang maka ia pergi dulu karena takut terlambat masuk.
"Kak, aku duluan, ya. Ada tugas yang harus aku selesaikan pagi ini soalnya," pamit Ivan dengan senyuman manisnya.
"Belajar yang giat, Van!" teriak Mutiara.
Sebelum ke kelas, Mutiara memastikan semuanya sudah terbawa. Meski dingin dan tak berperasaan di sekolah, Mutiara tergolong siswi yang cerdas, yang selalu bisa mengharumkan nama sekolah juga.
Ia memiliki satu sahabat bernama Jesica. Jesica ini termasuk satu-satunya orang yang sabar dengan kedinginan hati Mutiara.
Ada seorang teman lelakinya yang menyukai Mutiara. Murid lelaki itu juga idaman bagi para siswi di sekolah. Meski idaman semua siswi, namun tidak masuk kriteria Mutiara. Itu sebabnya, ia tidak pernah menanggapinya.
Tujuan mutiara hanyalah belajar,
Ini bukan pertama kalinya bagi Mutiara dibawa keruang bimbingan. Sering kali ia keluar masuk di ruang bimbingan. Entah bagaikan dengan kepribadian Mutiara ini. Di sisi nakalnya Mutiara, ia selalu mengharumkan nama sekolah di tingkat nasional maupun kotanya saja."Muti, keluarga Reinhard tidak dapat menerima anaknya kamu pukul sampai pingsan. Sekarang, bagaimana kamu mau menjelaskan kepada kami semua?" tanya pembimbing."Jika anda ingin menghukum saya, silahkan saja, saya akan Terima konsekuensinya, kok," ujar Mutiara penuh percaya diri."Tapi jangan sampai mereka bertiga ini ... membully adik saya lagi. Ivan Ananta, murid kelas sepuluh itu juga selalu mengharumkan nama sekolah ini bersama saya, bukan? Dimana keadilan baginya?" sambungnya."Dan Ibu tau hal ini dengan jelas. Bahwa ini bukan pertama kali bagi mereka membully adik saya!" tegas Mutiara dengan mengetuk meja pembimbing.
Pulang sekolah, Mutiara memarkirkan motornya di abang-abang yang jualan siomay di pinggir jalan. Ia tak ingin langsung pulang, sebab ia tahu jika nanti Mamanya akan memarahinya.Di samping itu, ia juga ingin sekali ngadem pikiran dibawah rindangnya pohon di pinggir jalan itu."Sebaiknya aku isi amunisi dulu. Supaya aku kuat menghadapi badai, ketika negara Api menyerang," gumamnya."Bang, siomay dan batagornya masing-masing satu porsi ya. Makan di sini!""Siap. Duduk dulu, Neng." ucap Abang-abang siomay memberikan bangku kepada Mutiara.Menunggu sesaat sampai makanan yang ia pesan jadi. Dengan lahapnya, Mutiara memakan siomay dengan cepat. Terlintas si pikirannya tentang murid baru di sekolah yang bernama Rico itu.
"Jadi, Mutiara itu anaknya, Tuan Ale? Pantas saja, mirip sekali wajah dan perilakunya," gumam Aldi dalam hati."Lalu, Vella …?" tanya Aldi kepada Gea.Tuan Nathan pamit. Beliau hendak masuk ke ruangan Ivan dan memberi waktu untuk istrinya berbicara berdua dengan Aldi. Tuan Nathan sadar diri, jika hubungan mereka sudah terbentuk sebelum hadirnya dirinya. Jadi, ia memilih untuk pergi.Setelah Tuan Nathan pergi, Gea bercerita pada kenyataan yang ada. Dimana ia menjelaskan tentang siapa Mutiara sebenarnya, dan juga keberadaan akan Bella. Aldi terkejut, ia merasa tidak percaya jika dirinya memiliki seorang putri dengan mantan kekasihnya terdahulu."Tunggu, aku … memiliki seorang putri? Bagaimana bisa, Ge? Waktu itu, Nenek mengatakan bahwa anakku meninggal karena sakit,"
"Jujur, aku sayang banget sama Papa," celetuk Mutiara. "Papa ini, Papa idaman bagi semua putri di dunia ini. Aku"Dulu, saat Papa pertama kali melihatmu menangis … Papa gedong kamu seperti ini, dengan tubuh yang masih licin seperti belut," ucap Tuan Nathan memperagakan ketika dirinya me menggendong Mutiara."Papa peluk kamu, cium kamu. Oh iya, waktu kamu masih kecil, pernah sakit parah, 'kan? Dan itu hanya Papa yang bisa membuat kamu sembuh, ingat nggak?" sambung Tuan Nathan mengusap kepala putrinya."Ingat banget, Pa. Pokoknya, Papa ini … Papa paling best sedunia,I Love You, Papaku." ucap Mutiara memeluk Tuan Nathan.Bagaimana tidak bahagia? Mutiara tergolong beruntung memiliki Ayah sambung seperti Tuan Nathan. Mungkin, Tuan Nathan bukanlah Papa Kandungnya, tapi
"Sialan, mau kemana gue malam-malam gini. Mana gue laper pula!" gumam Mutiara dalam hati."Huft, tau gini gue nggak pergi dari rumah. Emang yang namanya penyesalan itu datang belakangan. Iya lah, kalau datang awal namanya pendaftaran dong." keluhnya.Kemudian, ia memberhentikan motornya di pinggir jalan, mengamati sekitar tempat tersebut dan berharap segera mendapatkan kosan di tempat itu."Mana ada kosan di daerah seperti ini. Apa mungkin, gue numpang tidur di rumah orang aja kali, ya?" gumamnya kebingungan.Masih kebingungan, Mutiara pun duduk di pinggir jalan sambil memegangi perutnya. Rupanya, ia kelaparan karena makanan yang dibungkus tidak sempat ia bawa.Dari kejauhan, Mutiara melihat ada seorang dua wanita yang hendak menjadi korban penjambretan, dugaannya. Sebab, Ibunya dari salah satu wanita itu terus saja berteriak meminta tolong, namun tidak ada yang
Sesampainya di rumah, Ibu itu membalut luka Mutiata menggunakan kain basah dan alkohol supaya darahnya tidak terus mengalir. Sementara sang putri, ia sedang menyiapkan makan malam untuk Mutiara yang kelaparan."Setelah ini kita makan malam bersama, ya. Aku sudah menyiapkan semuanya," ujar putrinya."Iya tante, terima kasih. Sudah di kasih tempat tinggal malam ini saja aku sudah sangat berterima kasih, kok, tante," jawab Mutiara dengan sopan.Meski selalu membuat masalah dan terkesan dingin, Mutiara juga bisa bersikap baik kepada orang lain."Tante? Berapa usiamu saat ini?" tanya sang putri."19, tante," jawab Mutiara mengarang."Kalau begitu panggil aku kakak. Usiaku masih 23ntahun. Memang sih penampilanku seperti ini," ucap putri dari Ibu itu. "Namaku Zea, tapi Mama dan adikku selalu manggil aku dengan sebutan Zi, kamu panggil aku ...
"Bu, Kak Zi. Sebenarnya, Mama dan Papaku selalu mencariku di sekolah, tapi aku yang males bertemu dengan mereka," ungkap Mutiara. "Lah, kenapa, Mutia?" tanya Ibu Rico. "Aku belum siap melihat Mamaku. Aku sudah memaafkannya, tapi--" Zea meminta Mutiara istirahat dan merenungkan semuanya sendiri. Bagi Zea, kebahagian Mutiara adalah kebahagiaan dirinya juga. Mereka sudah menganggap Mutiara seperti anak dana adiknya sendiri. Jika Mutiara memang masih betah tinggal, hal itu sangat membahagiakan bagi Ibu dan Zea. Tapi, Ibu dan Zea hanya ingin masalah Mutiara dengan orang tuanya juga selesai. Ketika Mutiara berjalan menuju kamarnya, ia melihat kamar Rico yang terbuka dan penasaran dengan isi kamar itu. Sebab, sejak kedatangannya ke ru
"Sial! Apa yang sudah aku lakukan?" umpat Rico menyalahkan dirinya sendir. "Sekarang, apa yang akan Mutia pikirkan tentangku? Kenapa aku sangat gegabah?"Rico terus menyalahkan dirinya sendiri. Sementara itu, Mutiara tengah kesulitan mengatur debaran jantung yang tak seperti biasanya. Jantungnya berdebar hebat, apalagi ketika Rico menyentuh kulit dada miliknya."Kenapa jantungku berdegup cepat begini?" gumamnya. "Sebenarnya … rasa apa yang kurasakan saat ini. Lalu, kenapa ketika Rico menciumku, aku hanya bisa diam dan tidak menolak?" ujarnya menyentuh tanda merah yang diukir oleh Rico."Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Apa aku jatuh cinta kepadanya? Tapi apa yang membuatku jatuh cinta dengannya?"Pertanyaan-pertanyaan kecil selalu muncul dalam pikirannya. Mutiara tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini, yang ia rasakan hanyalah debaran jantung yang cepat dan juga rasa kegelisah