MasukLi Yuxian terlempar ke udara, tubuhnya berputar beberapa kali sebelum mendarat di tanah yang retak. Debu dan serpihan pohon beterbangan di sekelilingnya. Pedang biru keperakan masih tergenggam erat di tangannya, bersinar terang menahan sebagian gelombang energi yang menelan hutan purba.
Xu Liang dan Gadis Tombak berlari ke arahnya, langkah mereka berat karena tanah retak dan serpihan pohon yang berserakan. Wajah mereka dipenuhi kecemasan.
“Yuxian, kau baik-baik saja!” teriak Xu Liang.
“Aku masih hidup,” jawab Yuxian sambil menggelengkan kepala. “Tapi energi itu… lebih dahsyat dari yang kukira. Aku harus cepat menemukan ritmenya.”
Gadis Tombak menatap sahabatnya dengan mata cemas. “Kalau kau gagal memahami energi itu sekarang, tidak ada yang bisa menolong kita.”
“Aku tahu,” gumam Yuxian. “Aku harus menyesuaikan diri. Pedang ini dan energi itu harus sinkron, atau kita semua akan hancur.”
Yuxian menutup mata sebentar, merasakan denyut energi yang tersisa di tanah, udara, dan inti retakan. Pedang di tangannya bergetar mengikuti denyut itu. Cahaya biru keperakan memancar lebih kuat, membentuk lingkaran pelindung di sekelilingnya.
“Aku harus menyatu dengan energi ini, bukan melawannya,” pikir Yuxian.
Ia membuka mata, menatap inti energi yang berdenyut merah dan biru. Setiap denyut menciptakan gelombang baru yang siap menghancurkan apapun di jalurnya. Yuxian mengayunkan pedang dengan ritme yang sinkron dengan denyut energi. Gelombang yang sebelumnya liar kini sedikit tertahan, mengikuti gerakan pedang biru keperakan.
Xu Liang menatap kagum. “Dia… benar-benar menyatu dengan pedangnya. Ini baru permulaan pertarungan yang sesungguhnya.”
Gadis Tombak menekuk lutut, tombak di tangannya membentuk medan pelindung tipis untuk menahan serpihan pohon dan debu yang beterbangan.
“Tapi energi itu masih terlalu kuat. Jika dia gagal menahan satu serangan, kita semua bisa hancur.”
Bayangan gelap di inti retakan bergerak cepat, menyerang Yuxian dari sisi yang tidak terduga. Gelombang energi menyebar liar, menimbulkan tekanan yang membuat tanah retak semakin lebar. Pedang biru keperakan Yuxian bergetar, menahan sebagian serangan, tetapi beberapa gelombang masih menyambar sekitarnya.
“Ini lebih cepat dari sebelumnya,” desis Yuxian. “Aku harus mengimbangi kecepatan serangannya dengan ritme pedang.”
Ia menebas ke udara, cahaya biru memotong gelombang energi, menciptakan ledakan kecil yang menerangi sekeliling hutan. Pohon-pohon berguncang keras. Debu dan serpihan beterbangan. Xu Liang dan Gadis Tombak menahan tubuh mereka agar tidak terseret oleh energi liar.
“Aku tidak bisa terus bertahan,” gumam Yuxian. “Aku harus menyerang balik sekarang, meski risikonya tinggi.”
Dengan napas panjang, ia melompat ke udara, pedang diarahkan ke inti energi yang berdenyut merah menyala dengan lapisan biru di sekelilingnya. Setiap ayunan pedang menimbulkan percikan cahaya biru yang menerangi debu dan serpihan di sekelilingnya.
Saat pedang Yuxian menyentuh inti energi, gelombang ledakan terjadi. Cahaya biru dan merah bercampur menjadi pusaran cahaya yang menyilaukan. Angin berputar liar, memutar tanah, debu, dan serpihan pohon. Xu Liang dan Gadis Tombak menahan tubuh mereka, hampir terseret ke pusaran energi.
“Kau berhasil menyentuh inti energi,” kata Xu Liang sambil menahan napas. “Tetapi energi itu terlalu besar. Kau tidak boleh lengah.”
“Aku tahu,” jawab Yuxian. Pedangnya bergetar, menyerap sebagian energi inti dan menyalurkannya ke ritme gerakan. “Aku harus lebih cepat lagi. Aku harus mengimbangi kekuatan ini atau semuanya akan hancur.”
Bayangan gelap itu menatap Yuxian dengan mata merah membara. Tubuhnya bergerak liar, mengeluarkan gelombang energi yang semakin cepat dan dahsyat. Udara di sekeliling mereka bergetar hebat, menciptakan tekanan yang hampir membuat mereka terlempar.
“Jika aku salah langkah, ini akan menjadi akhir kita,” bisik Yuxian. “Tapi aku tidak boleh mundur.”
Yuxian mulai mengatur ritme serangan dan pertahanan. Pedangnya berputar mengikuti aliran energi, menciptakan medan pelindung tipis sekaligus menyerang inti energi. Setiap kali ia menebas atau menangkis, cahaya biru keperakan memancar lebih terang, membelah gelombang energi yang mencoba menghancurkan tubuhnya.
Xu Liang menatap kagum. “Dia benar-benar memanfaatkan energi itu, bukan melawannya. Tapi bayangan itu… masih sangat kuat.”
Gadis Tombak menekuk lutut, tombak di tangannya membentuk medan pelindung tambahan. “Kau tidak boleh lengah. Bahkan sedikit kesalahan bisa menghancurkan semuanya.”
Yuxian menelan ludah dan mencondongkan tubuh ke depan. Pedangnya berdenyut mengikuti denyut inti energi. Ia merasakan ritme energi itu, meresap ke dalam tubuhnya, membuat setiap gerakan terasa ringan tetapi penuh kekuatan.
“Sekarang saatnya menyerang balik dengan penuh kekuatan,” gumamnya dalam hati.
Yuxian mengayunkan pedangnya dengan seluruh kekuatan yang ada. Cahaya biru keperakan membelah udara, menabrak gelombang energi inti yang berdenyut merah dan biru. Ledakan cahaya yang dihasilkan menerangi seluruh hutan purba.
Debu dan serpihan beterbangan liar. Pohon-pohon tumbang dan tanah retak semakin lebar. Xu Liang dan Gadis Tombak berteriak sambil menahan tubuh mereka agar tidak terseret ke pusaran energi.
Saat pedang Yuxian menembus inti energi, bayangan gelap itu tiba-tiba menghilang dari pandangan, meninggalkan ruang kosong di pusaran cahaya. Angin berhenti sekejap. Debu menggantung di udara. Hanya pedang biru keperakan Yuxian yang tetap bersinar terang.
Namun detik berikutnya, dari inti retakan terdengar suara bergemuruh lebih berat dan lebih dalam. Tanah di sekeliling mereka bergetar hebat, dan cahaya merah serta biru menyatu menjadi pusaran baru yang lebih besar dan lebih berbahaya.
Xu Liang menatap Yuxian dengan mata melebar. “Apa itu…?”
Gadis Tombak menahan napas. “Ini… energi itu bereaksi terhadap pedangmu.”
Yuxian menatap inti pusaran baru itu dengan mata membara. Pedangnya berdenyut lebih cepat, cahaya biru semakin terang, siap menghadapi gelombang energi yang bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya.
Angin gurun berhembus pelan, membawa butiran pasir halus yang berputar di udara. Lembah yang dulu menjadi tempat pertarungan Li Yuxian kini menjadi hamparan sunyi tanpa kehidupan. Tak ada tanda-tanda kehancuran, tak ada darah atau sisa pertempuran, hanya ketenangan aneh yang terasa terlalu sempurna untuk dunia yang baru saja nyaris runtuh.Di tengah lembah itu, pedang biru keperakan masih menancap tegak. Permukaannya memantulkan cahaya lembut, seolah masih bernapas. Dari dalam bilahnya terdengar gema samar, seperti detak jantung yang menolak berhenti.Tiba-tiba, angin berhenti berhembus. Pasir-pasir di sekitarnya melayang pelan ke udara, tertarik pada pedang itu. Cahaya putih keluar dari dalam bilahnya, semakin lama semakin terang hingga membentuk siluet samar seorang pria muda.Siluet itu berdiri tegak. Tubuhnya perlahan mendapatkan bentuk, wajahnya mulai tampak jelas. Mata tajam itu, rambut hitam yang berkibar ringan, dan aura yang menggetarkan ruang tidak lain adalah Li Yuxian.Nam
Cahaya putih yang menelan lembah itu menghilang perlahan, meninggalkan keheningan panjang yang menyesakkan dada. Awan-awan terpecah di langit, dan dari sela-sela cahaya muncul sosok Li Yuxian yang berdiri di tengah kawah besar. Tubuhnya berlumuran luka, namun dari dalam luka-lukanya terpancar cahaya halus berwarna biru, merah, dan hijau yang berputar menyatu di sekujur tubuhnya.Udara di sekitarnya terasa berbeda. Dunia seperti bernafas bersamanya, setiap detak jantung Yuxian memunculkan riak energi yang mengguncang tanah. Ia mengangkat kepalanya dan melihat langit yang kini dihiasi celah besar, tempat mata raksasa itu mengintip dari balik kehampaan. Cahaya keemasan dari celah itu memancar kuat, seolah ingin menembus seluruh dimensi yang ada.“Gerbang Tanpa Nama,” bisik Yuxian dengan suara serak. “Tempat di mana jalan takdir dimulai dan berakhir.”Namun sebelum ia sempat melangkah, tanah di bawahnya berguncang lagi. Batu-batu melayang ke udara, dan dari setiap retakan muncul bayangan-
Cahaya putih yang melingkupi tubuh Li Yuxian akhirnya meredup perlahan. Lembah yang sebelumnya bergetar kini hening, namun hawa yang tersisa di udara jauh lebih berat dari sebelumnya. Air danau di belakangnya telah membeku menjadi kristal biru, dan di dalamnya masih terkurung dua sosok yang berarti banyak baginya, Xu Liang dan Gadis Tombak. Mereka tampak seperti tertidur, tenang namun tanpa napas kehidupan.Yuxian berdiri di tengah lapisan es itu, menatap langit yang masih dipenuhi cahaya roda tujuh lingkaran. Energi yang memancar dari simbol tersebut menekan ruang dan waktu, seolah dunia menolak keberadaannya. Ia merasakan tekanan itu di tulangnya, menembus jantungnya, tapi sorot matanya tetap teguh.“Aku tidak akan mengikuti aturan siapa pun,” bisiknya pelan. “Bahkan aturan para dewa.”Udara di sekitar berubah menjadi rapuh. Retakan-retakan tipis muncul di langit, seperti kaca yang hendak pecah. Setiap retakan memancarkan cahaya berwarna berbeda, membentuk jalur-jalur energi yang sa
Cahaya biru keperakan melesat menembus kabut merah di langit, jatuh ke arah timur melewati lapisan-lapisan awan yang membara. Bintang jatuh itu bergetar pelan, hingga akhirnya menghantam permukaan danau kristal di lembah terpencil. Air danau berguncang hebat, namun tak satu tetes pun terciprat keluar. Dari pusaran air yang berkilau itu, perlahan muncul sosok Li Yuxian.Tubuhnya berlutut, pakaian robek dan kulitnya penuh luka bakar qi. Namun matanya masih menyala, biru dan ungu berputar di irisnya, memancarkan keteguhan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia masih hidup.Yuxian menatap sekeliling. Lembah ini terasa asing, sepi, dan jernih. Tak ada suara burung, tak ada angin, hanya gema air danau yang menenangkan. Aroma lembut seperti dupa kuno memenuhi udara. Ia bangkit perlahan, lalu menyentuh air danau di depannya.Begitu ujung jarinya menyentuh permukaan air, pantulan wajahnya berubah. Bukan dirinya yang terlihat, melainkan sosok lain dengan mata yang sama namun penuh kebenc
Langit berwarna merah tua, seolah darah yang mengalir di antara retakan awan. Enam pilar cahaya yang muncul dari berbagai penjuru dunia perlahan berdenyut, memancarkan gelombang energi yang saling bersahutan. Udara menjadi berat, seperti ada sesuatu yang hendak turun dari langit itu sendiri.Li Yuxian berdiri di tengah dataran hitam, tubuhnya masih dikelilingi cahaya putih keperakan yang bergetar pelan. Pedang biru di tangannya kini bersinar lembut, seperti menenangkan badai di sekelilingnya. Namun di balik ketenangan itu, matanya memantulkan perubahan besar. Satu berwarna biru jernih, satu lagi ungu gelap seperti jurang tak berdasar.Xu Liang dan Gadis Tombak terbangun di tepi dataran, terengah-engah. Keduanya menatap Yuxian dengan campuran kagum dan ngeri.“Dia... berubah,” ucap Xu Liang pelan. “Energinya bukan lagi milik manusia.”Gadis Tombak menatap lekat. “Tapi itu tetap Yuxian. Aku bisa merasakannya.”Yuxian memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. Di dalam dirinya, dua
Suara tawa itu menggema panjang di udara, menembus celah-celah langit yang retak. Dari pusaran merah tua yang berputar di atas lembah, sosok berjubah panjang turun perlahan, melangkah di atas udara seperti berjalan di permukaan air. Setiap langkahnya meninggalkan bekas api di udara yang perlahan memudar menjadi abu.Li Yuxian menatap ke arah sosok itu dengan napas berat. Energi di tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi insting bertarungnya langsung menegang. Ia tahu, makhluk yang datang kali ini bukan sekadar penjaga gerbang. Aura yang memancar dari tubuh sosok itu jauh melampaui apa pun yang pernah ia rasakan.Xu Liang berbisik lirih di belakangnya. “Itu... bukan roh biasa. Energinya bercampur antara Qi kosmik dan kekosongan murni. Tidak mungkin seseorang bisa menahan dua energi itu sekaligus tanpa hancur.”Gadis Tombak menatap tajam. “Dia bukan seseorang. Lihat matanya.”Mata sosok itu menyala merah keemasan, berputar seperti dua bintang yang terbakar di langit malam. Dari dekat, waj







