Sepanjang perjalanan menuju pondok tempat pengabdian Rania, Nenek Ainun tidak mau berbicara. Ia hanya diam dan menekuk wajahnya. Ia semakin tidak ingin Rania meneruskan hubungannya dengan Ahda.
“Nenekku tersayang, kenapa sih diam terus dari tadi?” Rania mencoba untuk mengajak bicara sang nenek. Namun, wanita 66 tahun itu tidak menanggapi ucapan Rania.
“Nenek marah dengan Rania? Rania punya salah pada nenek? Jangan diam terus dong nek, Rania kan jadi bingung. Maaf ya nek, jika Rania mempunyai kesalahan pada nenek. Nenek boleh menghukum Rania tapi jangan mendiamkan cucu nenek seperti ini,” bujuk Rania kembali.
“Rania, cucuk nenek yang paling baik, kamu tidak memiliki kesalahan pada nenek,” ucap Nenek Ainun sambil tersenyum ke cucu kesayangannya.
“Terus kenapa nenek terus diam?”
“Ran, embem ku tercinta, kamu yakin akan melanjutkan hubunganmu dengan ustaz itu?”
Rania terkejut mendengar
Rania memang gadis yang mudah bergaul, hal tersebut terbukti dalam waktu beberap hari saja ia dapat dengan mudah akrab dengan teman-teman barunya. Ia senang bertemu dengan orang-orang baru. Bukan hanya dengan ustazah baru saja ia akrab, namun juga dengan para seniornya. Gadis itu sangat bersyukur karena di tempat pengabdiannya itu, dia mendapatkan kenalan baru dan teman-teman yang baik sehingga membuatnya betah.Meskipun hampir akrab dengan semua teman-teman barunya, namun Syifa dan Marwah lah teman paling akrab Rania. Selain mereka satu kamar, kebetulan mereka sama-sama asisten wali kelas di kelas satu meski berbeda-beda kelas, namun lokasi belajar santriwati kelas satu berada pada satu wilayah sehingga mereka pun selalu berangkat bersama setiap mengawasi kegiatan belajar malam untuk santri. Sebagian ustazah tahun pertama memang kebanyakan menjadi asisten wali kelas kelas satu, dua, dan tiga.“Eh Ran, Wa, anak bungsu Ustaz Fahmi baru datang dari Kairo loh,
Dengan membaca basmalah Rania mengambil isi amplop berwarna cokelat itu, keadaan kamarnya sudah sepi. Marwah dan Syifa telah terlelap dalam mimpi mereka usai mengawasi belajar malam, dua ustazah senior lainnya sedang mengerjakan tugas kuliah. Pondok Al-Hikmah memang membolehkan ustazah tahun ke dua untuk kuliah di perguruan tinggi terdekat, meskipun memang berat karena harus bolak-balik pondok pesantren dan kampus, selain itu juga tugas yang diemban tentu saja lebih berat lagi, karena di samping harus mengajar juga harus mengerjakan tugas perkuliahan, namun mereka menjalani semuanya dengan ikhlas.Assalammualaikum warrahmatullahi wabarakatuBagaimana keadaanmu di sana calon pendamping masa depanku?Baru membaca baris pertama isi surat itu sudah membuat pipi Rania memanas, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya, kata-kata ‘calon pendamping masa depan’ pada pembuka surat itulah penyebabnya. Setelah berhasil mengkondisikan dir
Sorot kekaguman terpancar pada setiap wanita yang bertemu dengan pria bernama Arfan Ilham Awwab, putra bungsu dari pemilik Pondok Pesantren Al-Hikmah. Kerupawanan pria yang akrab dipanggil Ilham itu memang tidak perlu diragukan lagi. Selama ini, banyak yang mengidolakan dirinya, teman-teman kampusnya, teman-teman organisasinya, bahkan para wanita yang baru melihatnya. Namun, pria itu tidak pernah menanggapi serius, ia menganggap teman pada semuanya. Belum ada satu wanita pun yang mampu mencuri hatinya.Jatuh cinta, tentu saja pria itu pernah merasakannya. Cinta pertamanya yang sekaligus kegagalan pertamanya. Saat lulus dari PM, dia dan teman-teman satu konsulat[1]nya mengadakan syukuran kelulusan, tidak hanya dari santri putra tapi juga putri. Mereka mengadakan syukuran itu di salah satu restoran di Bogor. Pada acara itulah Ilham bertemu dengan pujaan hatinya.Wanita itu memang tidak terlalu cantik, wajahnya sedikit bulat, bermata kecil, hidungnya mancung, dan warna ku
Keputusan Ustaz Fahmi telah bulat untuk menjodohkan Ilham dengan salah satu anak teman dekatnya. Ia tidak ingin anak bungsunya itu benar-benar patah hati untuk kedua kalinya. Ustaz Thorik, kakak Ustaz Ilham berusaha menghentikan niat ayahnya, ia tidak ingin sang ayah memaksakan kehendaknya pada adik bungsunya itu. Namun, Ustaz Fahmi tidak goyah dengan pendiriannya, ia tetap ingin menjodohkan Ilham dengan anak temannya.Ustaz Thorik meminta agar sag ayah berbicara terlebih dahulu pada Ilham, namun ditolaknya. Ustaz Fahmi memutuskan melakukan perjodohan ini tanpa melibatkan Ilham, sontak saja hal tersebut membuat Ustaz Thorik ikut naik darah. Ia tidak ingin adiknya dipaksa menikah, ia ingin agar adiknya dapat menemukan tambata hatinya sendiri.Sebenarnya Ustaz Fahmi bukanlah orangtua yang suka membatasi pergaulan anaknya, selama ini ia selalu membebaskan anak-anaknya untuk memilih pasangan sendiri. Ustaz Thorik juga tahu itu, hal tersebut terbukti dari persetujuan Ustaz
Usai menunaikan ibadah Salat Subuh berjamaah di dalam mushala rumah, Ilham, Ustaz Thorik, dan Ustaz Fahmi lari pagi di sekitar jalan raya. Ilham dan kakaknya berniat untuk mengatakan semuanya pada sang ayah.“Abi Ilham tidak bersedia untuk dijodohkan,” suara Ilham membelah keheningan di antara mereka, menghentikan langkah kaki Ustaz Fahmi seketika.Ustaz Fahmi berdehem beberapa kali, “Thorik kamu memberi tahu adikmu?” nada suaranya tidak menggambarkan kemarahan, namun sorot matanyalah yang memancarkan amarah.“Abi maafkan Thorik tapi abi harus mendengarkan Ilham terlebih dahulu,” Ustaz Thorik berusaha menjelaskan pada ayahnya.“Sudahlah abi tidak perlu mendengar penjelasan apa pun, keputusan abi sudah bulat kamu akan abi jodohkan dengan anak teman abi.”Ustaz Fahmi melanjutkan lari paginya dan meninggalkan dua putra kesayangannya.“Abi, Ilham sudah memiliki pilihan hati sendiri,” Il
Suasana siang musim panas tidak menghalangi mahasiswa untuk belajar di luar ruangan universitas. Hal tersebut terbukti dengan masih banyaknya mahasiswa yang belajar di taman-taman depan kampus. Tak terkecuali pelajar asal Indonesia yang memiliki rambut sedikit ikal itu juga lebih memilih untuk mengerjakan tugasnya di salah satu bangku taman. Ia terlihat sibuk membolak-balik halaman buku yang dipegangnya, kemudian mencatatnya di dalam buku catatan yang ia letakkan di samping tempat duduknya.Tiba-tiba di tengah keseriusannya itu, seorang wanita berparas cantik dengan tinggi badan sekitar 170 cm yang sedang menggenakan setelan jilbab berwarna hijau muda dengan gamis berwarna senada datang menghampirinya.“Assalammualaikum,” ucap gadis berlesung pipi itu dengan ramah.“Waalaikum salam,” pandangan pria itu masih terpaku pada halaman buku di tangannya.“Kaifa khalukum[1] ya Ustaz?”
Kini Ahda mulai dapat menebak kisah hidup wanita yang pernah dikaguminya itu atau bahkan masih dikaguminya. Namun, Ahda tetap diam, dia ingin mendengarkan cerita Faza hingga tuntas.“Aku tetap berusaha berpikir positif dan terus berdoa agar hasil dari pemeriksaan itu positif, namun takdir berkata lain, melalui pemeriksaan lanjutan itu, dokter menyatakan bahwa di rahimku memang terjadi peradangan. Hal itu benar-benar memukulku. Dokter memang tidak mengatakan bahwa aku tidak bisa memiki anak, tapi bagiku kenyataan itu sama beratnya,”Faza menghapus air matanya yang kembali luruh dengan tisu yang ia pegang, kemudia ia memandang Ahda yang masih duduk di sampingnya dan dengan khusyuk mendengarkan kisah hidupnya.“Kisah selanjutnya, pasti kamu bisa menebaknya,” Faza tersenyum, namun wajahnya masih diliputi kesedihan, matanya memancarkan luka.Ahda nampak berpikir beberapa saat kemudian dengan hati-hati mulai berbicara, “Kamu mengat
Faza tertawa kecil sebelum menyetujui permintaan Ahda karena melihat tingkah sahabatnya yang tidak berubah, “Baiklah aku akan mentraktirmu, mau pergi sekarang?”“Tentu saja, ayo aku sudah sangat lapar karena mendengar semua kisah hidupmu itu,” Ahda berusaha menggoda sahabatnya agar Faza kembali tersenyum.“Baiklah, baiklah ayo pergi!”Faza berjalan kembali ke tempat duduk untuk mengambil tasnya, begitu pula dengan Ahda, ia membereskan buku-buku dan peralatan tulisnya yang berada di atas kursi.“Tolong jangan pernah merahasiakan apa pun dariku lagi, jika kau memang masih menganggapku sahabat baikmu, bagilah duka dan kesedihanmu padaku,” di sela-sela Ahda membereskan bukunya ia kembali berbicara.“Maafkan aku Ahda, aku hanya tidak ingin membuatmu atau keluargamu ikut merasa sedih dengan masalah yang menimpa kelurgaku,” gadis itu kembali terisak.Ahda kembali menatap gadis di sampingny