Panah-panah tersebut dengan cepat menghujani Bayu. Bayu dengan segala sisa kemampuannya mencoba menghindar sambil sesekali memekik antara ketakutan, panik, mengumpulkan keberanian, dan meminta pertolongan. Ada beberapa yang sempat menyerempet bagian tubuhnya, namun tak sampai membunuhnya.
Bayu dengan penuh kesakitan berlari sambil terus memegangi panah yang menancap tubuhnya ke arah pintu. Ia berlari dengan gontai sambil memanggil Sandanu, Jumara, Rukmana, Sutha, bahkan siapa saja yang diharapnya mampu mendengarnya. Di tengah derita itu, ia sempat mendengar derap kaki panik mendekatinya. Sandanu memeluk tubuhnya dengan kepanikan. Di belakangnya ada Jumara, Sutha dan Rukmana dengan raut wajah tak kalah cemas.
“Panggil pengawal segera!!!” pekik Sandanu dengan cemas. Ia memeluk tubuh Bayu yang basah kuyup dengan darah.
Sutha segera berlari ke luar menemui pengawal yang nampaknya tak menyadari ada kejadian ini di kamar Bayu.
“Jumara, bawa Rukmana ke tempa
Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan dunia kepenulisan lokal. Terima kasih
Bayu terbangun dengan keringat mengucur deras dari dahinya. Ia seperti baru saja melakukan pertarungan yang begitu keras. Untuk beberapa saat ia merasa panadangannya nanar, semua yang ditangkap oleh kornea matanya hanya berupa visualisasi buram. Ia seperti melihat bayangan banyak benda pada air yang sedang bergejolak, perlahan dan perlahan sehingga kembali normal. Hal pertama yang ia sadari adalah ia merasakan nyeri yang begitu dalam pada sisi di bawah tulang iganya. Ia mengeluh tertahan. Kemudian ia menoleh ke sisi kananya, seorang perempuan tua sedang mengupas apel di situ. “Jangan terlalu banyak bergerak, Nak. Akan membuat lukamu semakin membesar...” ucap perempuan itu sambil terus mengupas apelnya. “Apa yang terjadi sebenarnya...?” Bayu berusaha mengumpulkan memorinya. “Kau terluka parah, hampir mati, dan sejak tadi malam kau terus-terusan mengerang kesakitan sambil memejamkan mata. Kau membuat murid-muridku, para perawat pemula itu menjadi panik.
“Kita akan aman di sini, Nak...” kata Ibunda Ratu itu menenangkan Bayu yang tampak pucat semenjak perjalanan tadi. “Belum pernah ada pasukan yang bisa menembus ruang bawah tanah kerajaan Danta.” sambungnya lagi sambil memanggil seorang pelayan. “Kau ingin anggur?” tawar perempuan simpatik itu kepada Bayu. Bayu menggeleng cepat. “Permentasi anggur ini akan menghangatkan tubuhmu dan tidak akan membahayakan lukamu...” Bayu sejenak memandang luka di bawah tulang iganya yang kini dibalut perban tebal. “Maaf, Paduka, bukan bermaksud lancang, tapi saya tak biasa minum anggur.” “Pelayan...” ibunda Ratu itu tersenyum mengerti, “Bawakan Bayu minuman hangat, selain anggur” “Terima kasih, Paduka..” Bayu menunduk hormat. Bayu lalu memandang ke sekeliling ruangan itu, mencoba mencari sesuatu. “Mencari siapa?” tanya ibunda sang Ratu. “Paman Sandanu, Bibi Jumara, dan teman-teman saya, Paduka...” “Mereka ak
Bayu perlahan berlari menuju area pertempuran, ia mencoba mengingat tiap jalan yang sempat dilaluinya menuju ruang bawah tanah tadi. Sayup sayup di dengarnya suara pedang beradu, teriakan, dan asap mengepul. Ia menyadari ia semakin dekat dengan tujuannya. Meski rasa gugup berpacu cepat dalam dadanya. Ia terus menyusuri jalan itu, berlindung di setiap tumbuhan, pohon, dinding yang ia temui. Tangannya memegang pedang yang berhasil ia curi dari salah satu pengawal di ruang bawah tanah, meski tidak begitu ringan, namun ia berusaha senyaman mungkin untuk membawanya. Ia tahu suatu saat dalam kondisi seperti ini pedang ini harus dapat ia gunakan. Bayu merasa beruntung pernah menjadi pencopet selama beberapa tahun. Ternyata pengalamannya itu berguna untuk mencuri sebilah pedang prajurit dan menyusup dalam diam meninggalkan ruang persembunyian itu. Tak ada satupun yang memperhatikannya saat itu. Namun kali ini ia harus lebih hati-hati. Apa yang akan dihadapinya mungkin akan l
“Paman Sandanu?” Bayu terpekik kaget “Mengapa kau di sini, Bayu? Tempat ini berbahaya!” Sandanu mencoba membantu Bayu berdiri. “Di mana yang lain?” Bayu tak menghirauan pertanyaan cemas dari Sandanu. “Mereka aman! Mereka dilindungi oleh Patih Tarkas! Kau sendiri sedang apa di sini?” “Mencari kalian! Aku ingin tahu keadaan kalian!” Bayu memegangi luka yang masih mengucurkan darah di bahunya. “Kau sudah menemukan jawabannya!” sahut Sandanu cepat, “Sekarang ikut aku, kau harus menyelamatkan diri!” Sandanu lalu berusaha membantu Bayu berjalan. Di tengah perjalanan mereka masih sempat dihadang oleh beberapa prajurit musuh yang tampaknya tidak akan dengan sukarela memberikan mereka jalan. Mau tak mau Bayu kembali dengan sisa-sisa tenaganya mengayunkan pedang memberikan serangan pada prajurit-prajurit haus darah itu. Namun kondisinya yang terluka parah dan kemampuan terbatasnya dalam menggunakan pedang membuat serangan Bayu tak berarti apa-ap
Di lain sisi, Bayu masih meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari cekikkan panglima itu. Nafasnya sudah hampir habis, matanya nanar. Sementara panglima itu menyeringai penuh kesenangan menikmati kematian Bayu yang tampaknya sebentar lagi akan datang. Namun Bayu masih belum menyerah, perlahan tangannya yang masih menggenggam pedang panglima itu bergerak, dan dengan spontan menghunjam di mata orang kejam itu. Orang besar itu menjerit, merasakan sakit, ia terhuyung-huyung ke belakang. Dan melepaskan bayu dari cekikkannya. Bayu terjatuh ke tanah. Sejenak ia terduduk lesu sambil terbatuk-batuk. Ia melirik panglima itu yang masih meronta kesakitan sambil menutup sebelah matanya yang masih tertancap pedang. Bayu sadar, bahwa pertarungan ini harus diselesaikan. Ia mencari-cari senjata untuk menghabisi panglima itu. Matanya tertuju pada tombak berapi yang tergeletak di tanah. Apinya masih belum padam, masih sebesar ketika pertama kali menusuk lengan Sandanu. Dengan terseok-
Negeri Danta, dua hari setelah perang.... Ayunda melihat kembali dengan samar adegan ketika perlahan pasukan Adighana bergerak mundur ketika Dirga dengan gagah mengangkat sebuah benda mirip kepala yang tertancap di ujung pedangnya. Penglihatan itu berulang-ulang datang dalam pandangannya, juga teriakan-teriakan prajuritnya. “Ayunda, anakku....” Ia kini mendengar suara ibunya berbisik pelan di antara suara teriakan para prajuritnya di medan perang. Ia melihat kembali adegan kemunduran pasukan Adighana, ia merasakan kembali ketika darah yang mengucur dari bibirnya terasa hangat. Ia terpejam. “Ayunda, Nak...” Kembali bisikkan ibunya mampu ditangkapnya dari teriakan pasukannya. “Paduka akan baik-baik saja...” Ayunda menangkap suara lain di antara adegan yang terhampar di pandangannya dan dentingan pedang yang beradu. Ia merasa pandangannya kini lebih jelas melihat kemunduran pasukan Ad
Bayu lalu kembali masuk ke dalam rumah. Ia berkeliling rumah tersebut. Ada beberapa ruangan besar, dapur, tiga pendopo, dan lima kamar di dalam rumah tersebut, hanya satu yang terbuka, yaitu kamar yang ia tempati, sedangkan sisanya terkunci rapat. Lantai rumah tersebut tampaknya terbuat dari bahan yang sama dengan dinding dan langi-langitnya, dari kayu yang kuat dan mahal. Cukup menjelaskan bahwa rumah itu dimiliki oleh seorang bangsawan, Mahapatih tepatnya seperti yang dijelaskan oleh pengawal tadi. Bayu berjalan ke pekarangan belakang rumah itu. Ada beberapa kandang burung yang tampaknya menjadi hewan peliharaan sang Mahapatih, Bayu sendiri tak tahu jenis burung apa yang terdapat di sana, yang jelas ia berpikir bahwa mereka merupakan hewan yang mahal. Selain itu di samping rumah juga ada 3 ekor kuda yang masing-masing berwarna cokelat, kuda-kuda tersebut tampak sehat dengan setumpuk rumput yang ditaroh di kandang mereka sebagai santapan segar. Tak jauh dari situ ad
Bayu menunduk, ia mengakui dalam hati bahwa apa yang dikatakan oleh Cadudasa itu benar adanya. “Maafkan saya, Gusti..” lagi-lagi hanya itu yang keluar dari mulut remaja itu. “Simpan kata maafmu itu untuk hal-hal yang lebih mendesakmu suatu hari nanti. Tapi tidak saat ini. Karena tak perlu jawaban. Kau punya sesuatu yang lebih layak dari kata maaf. Kau hanya perlu memastikan bahwa tanah itu cukup kuat untuk menahan pijakanmu, dan langkah kakimu mengarah pada jalan yang tepat. Hanya itu” Bayu mencengkeram jari-jari tangannya sendiri. Kalimat yang diucapkan Cadudasa seperti butiran salju yang turun dengan lantang tepat di sanubarinya. Ia terlalu takut dengan apa yang belum pasti dihadapinya, Cadudasa benar. Ia hanya perlu memastikan bahwa ia berada di posisi yang tepat untuk berpijak. “Jangan jadi orang yang suka cemas, Bayu. Itu akan melemahkan pijakanmu. Jangan mencari kekhawatiran. Sikapmu sejauh ini, adalah sikap seorang yang tak memiliki dua tangan,