Share

3. REMAJA PENCOPET

last update Last Updated: 2022-02-07 09:33:07

Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010

Siang hari yang begitu terik. Kendaraan bermotor berseliweran bergantian di lintasan jalanan yang begitu panas. Puluhan petugas parkir dengan segala kesusah payahannya terus mengatur sistem keluar masuk kendaraan. Sesekali mereka melap keringat yang mengucur dari mukanya dengan topi atau rompi orange-nya. Peluit-peluit saling susul menyusul memberikan suara cemprengnya, berharap mendapatkan lembaran-lembaran rupiah dari itu,

Saat itu padahal telah hampir sore, sekitar pukul tiga lewat. Suasana di kawasan itu memang sangat ramai di jam-jam seperti ini hingga malam hari. Tak salah jika warga Palangka Raya menyebutnya pasar besar, karena semua yang diperlukan tersedia di pasar ini. Dan di jam-jam seperti itu, biasanya para pedagang mulai sibuk menggelar dagangannya.

Puluhan bahkan ratusan gerobak besar beraneka muatan memenuhi sepanjang rute pasar. Para pedagang memang menyimpan barang dagangannya di dalam sebuah atau bahkan beberapa buah gerobak besar yang setiap kali mereka ingin membuka dagangan, gerobak tersebut di dorong dari tempat penyimpanannya ke tempat atau lokasi tempat berdagang mereka. Tidak luas, bahkan cukup kecil. Karena itu pula biasanya para pengunjung pasar harus berdesak-desakkan untuk mencari barang yang mereka inginkan. Selain itu, jalan umum yang ada di situ juga sangat sempit, jika kita berjalan sambil meregangkan kedua tangan, kita tentu tahu bagaimana sempitnya.

Namun, meski begitu, pasar ini tetap menjadi tempat favorit sebagian besar warga Palangka Raya saat mencari barang, terutama pakaian. Karena kita tak bisa melakukan tawar menawar harga serendah mungkin seperti di pasar ini apabila di mall atau di pusat perbelanjaan modern lain.

Uniknya, pasar ini juga memiliki tiga nama yang berbeda. Pasar besar mungkin menjadi nama yang sesuai dengan statusnya sebagai pasar terbesar di provinsi Kalimantan Tengah, selain itu ada nama pasar bawah untuk menyebut tempat ini, entah mungkin karena pasar ini sering tergenang air apabila ada hujan lebat yang berlangsung cukup lama. Namun di antara semua itu, Pasar Blauran adalah nama yang paling familiar bagi warga, entah apa yang melatar belakangi pemberian nama seperti itu, yang jelas, nama Pasar Blauran lebih sering digunakan menyebut pasar ini

Meskipun saat ini masih menjelang sore, sudah ada juga pedagang yang telah menyelesaikan membuka tempat dagangannya. Dan juga telah banyak pula para pengunjung yang mulai berjalan pelan dan agak berdesakan melewati lapak demi lapak para pedagang di pasar tersebut.

Dalam sebuah desak-desakkan tersebut, sebelah tangan dengan hati-hati dan waspada  meraba saku celana seorang pengunjung pasar yang sedang ikut berjejal melewati beberapa pedagang. Tangan tersebut perlahan-lahan masuk ke dalam saku yang tadi dirabanya. Dan dengan gesit mengeluarkan sebuah dompet tebal berwarna cokelat tua, secepat kilat tangan tersebut mengamankan dompet tersebut. Beberapa detik kemudian, tangan tersebut sudah tak kelihatan lagi, betul-betul pergerakan yang sangat cepat dan terencana dengan baik. Seseorang yang sakunya diraba tadi agak curiga, ia menoleh dengan cepat ke belakangnya, ia seorang laki-laki dengan kumis tipis dan kacamata tebal. Bodohnya lagi, ia sama sekali tak mencoba untuk memeriksa saku celananya, setelah ia merasa tak ada yang mencurigakan, ia kembali ikut berjalan perlahan. Laki-laki yang malang.

Tak lama kemudian, tidak cukup jauh dari tempat itu, seorang remaja laki-laki duduk dengan muka sumringah di sebuah pelataran toko yang tak terpakai dan juga tak terawat. Tak ada yang ingin melewati toko yang menyedihkan itu, setidaknya ketika remaja itu berada di situ. Dan hal itu tentu saja membuat sang remaja merasa lebih baik.

Ia kemudian mengeluarkan sebuah dompet tebal berwarna cokelat tua yang baru ia dapatkan dari saku celana seorang pria yang baik hati – kalau tak ingin dikatakan bodoh – buah tangannya yang pertama di hari ini. Dikeluarkannya seluruh isi dari dompet itu satu persatu. Ada beberapa kartu nama sang pemilik dompet, ATM, KTP, SIM, STNK Mobil dan Sepeda motor, dan dua lembar foto. Foto pertama adalah foto seorang wanita cantik, berambut hitam kemilau, tingginya sedang, berkulit putih dan bermata hitam kelabu. Foto selanjutnya adalah foto dua orang bocah kembar lucu, ia menaksir umur keduanya adalah tak kurang dari 5 tahun. Dua-duanya laki-laki. Memperlihatkan keduanya sedang tersenyum memperlihatkan gigi-gigi mereka yang masih kecil, dan masing-masing memegang senjata mainan, yang satu memegang pedang plastik berkilau, sedangkan yang satunya lagi memegang panah-panahan. Ia tahu pasti kedua mainan tersebut adalah buatan cina.

Beberapa detik kemudian, ia langsung melupakan foto-foto dalam dompet itu ketika yang ia cari telah ditemukannya, ada beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah, dua lembar uang lima puluh ribu rupiah, tiga lembar uang sepuluh ribu rupiah, dan beberapa lembar uang lima ribuan dan seribu rupiah. Ia mengambil sebagian dari seluruh uang tersebut yang ia masukkan ke dalam sakunya. Foto-foto, kartu-kartu, surat berharga, dan sebagian uang, ia masukkan kembali ke tempat asalnya di dalam dompet itu.

Ia dengan langkah yakin mulai mencari mushalla terdekat, dan ketika tak ada yang mengawasinya, ia akan menaroh, atau lebih tepat menggeletakkannya di dekat pintu mushalla. Berharap para jamaah mengira bahwa ada suatu kecelakaan menyebalkan yang menyebabkan seseorang kehilangan dompetnya secara tak sengaja di depan mushalla.

Pekerjaan menyenangkan yang ditekuninya bertahun-tahun. Ia cukup bangga dengan kelihaiannya itu, toh ia masih menyisakan ‘hasil kerja kerasnya’ itu untuk pria tadi – kalau pria tadi beruntung mendapatkan dompetnya kembali. Ia masih lebih baik daripada yang mengambil semuanya. Langkah yakinnya kali ini berlanjut, ke arah yang ia pun belum tahu pasti. Yang pasti ia yakin dengan langkahnya.

Dan itu awal yang bagus.

.........................................................................................................................................................................................

“Menghitung penghasilanmu?” seorang pemuda tanggung duduk di samping pemuda yang sedang menghitung sejumlah uang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   113. ESTUNGKARA

    Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   112. TRISULA DI BIBIR PANTAI

    Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   111. MIMPI DARI TAHTA YANG DIRAMPAS

    Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   110. DERMAGA PERJALANAN

    Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   109. JALAN PARA PEJUANG

    Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   108. HUTAN PADANG SEBAT

    Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status