Siapakah gerangan pemilik nama tersebut?
Menilik dari namanya, ia adalah seorang laki-laki. Apakah ia seorang yang berbadan tegap layaknya para pahlawan pada umumnya? Bermata tajam bagai elang yang tak gentar menghadapi siapapun musuhnya? Berwajah rupawan yang menggetarkan hati para wanita? Menggunakan senjata kokoh dan tajam sebagai perisai ketangguhannya?
Kalaupun Ampu Estungkara serius, entah kekuatan hebat yang seperti apakah yang dimiliki oleh Ganendra Aryasathya itu. Dan kenapa harus orang dari dunia awam? Dunia-nya sendiri sepertinya belum kekurangan para pahlawan dan ksatria tangguh untuk diberikan takdir sebagai pemilik sesuatu yang berharga itu.
Pusaka itu sendiri sudah lama menjadi sengketa dan objek rebutan para penguasa lainnya. Ia adalah seuntai kalung permata yang konon dikabarkan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat walaupun hingga saat ini belum pernah ada yang bisa membuktikan hal itu. Kalung Gajahsora namanya. Kalung Gajahsora merupakan pusaka purbakala peninggalan Maharaja Gajahsora, raja kelima dari kerajaan Martadipura, kerajaan pertama dunia di balik kabut yang telah lama hancur akibat perang saudara yang berkepanjangan dan menimbulkan munculnya kerajaan-kerajaan baru seperti Danta dan kerajaan lainnya. Konon kalung Gajahsora didapatkan kembali oleh Maharaja Ibhakara, raja kedua Danta, di laut Madya. Dan sejak saat itu, kalung Gajahsora ditetapkan sebagai pusaka resmi kerajaan Danta.
Telah banyak kerajaan yang bermaksud merebut pusaka yang sampai saat ini masih disengketakan itu. Namun semuanya gagal, kerajaan Danta selalu berhasil mengamankan kalung Gajahsora baik lewat jalur diplomasi, maupun lewat perang, karena mereka sempat memiliki seorang pahlawan yang luar biasa tangguh bernama Ampu Braja yang ditugaskan menjaga pusaka itu, namun, entah bagaimana ceritanya sejak beberapa waktu yang lalu Ampu Braja menghilang tanpa jejak, dan tak pernah mampu ditemukan.
Dan sekarang muncul nama Ganendra Aryasathya yang disebut Ampu Estungkara sebagai orang yang ditakdirkan untuk memiliki kalung tersebut. Hati kecil Ayunda bertanya, jika memang seperti itu, mengapa tidak sejak dulu kalung itu dimiliki atau didapatkan oleh Ganendra, bukan Maharaja Ibhakara, kakek buyutnya.
Ia merasa gila kalau terus memikirkan si Ganendra Aryasathya yang belum terlalu jelas berada di mana. Ia telah memerintahkan empat belas orang pilihannya, yang terdiri dari Patihnya yang cukup sepuh di pemerintahannya, ahli pembaca peta, penjelajah, panglima perang tangguh, peramal, beberapa orang berkekuatan khusus (kalau tak ingin disebut penyihir), dan beberapa prajurit terbaik yang dapat dipercaya dan diandalkan. Ia berharap orang-orang pilihannya itu dapat menemukan sang Ganendra Aryasathya.
Ayunda tahu pasti, jika pertempuran dengan pasukan Adighana yang sedang mengintai mereka dari perbatasan sana dan ditengarai mengincar pusaka tersebut bukanlah sebuah kabar baik bagi kerajaannya, Adighana adalah salah satu kerajaan terkuat yang ada di dunia di balik kabut, ia tak bisa membayangkan jika negaranya harus menghadapi bala tentara sekuat dan setangguh tentara kerajaan Adighana. Namun menyerahkan kalung Gajahsora juga bukan pilihan yang bijak, kalung tersebut telah menjadi pusaka kebanggaan kerajaannya dalam beberapa periode, dan ia takut membayangkan jika pusaka tersebut sampai jatuh ke tangan kerajaan Adighana, pasti negeri itu akan semakin bernafsu untuk menaklukkan seluruh kerajaan di dunia di balik kabut.
Karena itu ia lebih memilih menyelamatkan pusaka ke tempat yang mungkin tak akan diketahui oleh pihak musuh. Ia tahu, hanya itu yang menjadi hal yang sangat ingin dimiliki oleh negeri lain. Dulu mendiang kakaknya juga melakukan pemberontakan selain untuk merebut kekuasaan tapi kabarnya juga untuk merebut kalung itu itu.
Ayunda bangkit dari tempat tidurnya yang nyaman, menuju ke arah jendela kamarnya. Di bukanya perlahan jendela kamarnya. Dari situ ia bisa melihat kegiatan penduduknya di jalan utama. Namun yang dilihatnya adalah kecemasan, kepanikan, dan ketegangan para penduduknya. Mereka mulai tak nyaman diawasi oleh pasukan dari negeri adidaya itu yang entah bagaimana bisa mereka ketahui adanya.
Batin Ayunda bergejolak. Ia adalah penguasa tertinggi negeri Danta. Ia tak akan mungkin terus-menerus membiarkan rakyatnya hidup dalam ketakutan.
Ia keluar dari kamarnya, bergegas menuju beranda utama istana.
“Paduka Ratu mau ke mana?”
Ia tak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan yang menyapanya dari para pembesar istana yang keheranan menyaksikan sang Ratu berjalan terburu-buru melewati mereka.
Ketika Ayunda tiba di beranda utama, penjaga yang keheranan sontak berlutut dan bertanya.
“Mohon maaf, Paduka. Apa yang akan Paduka Ratu lakukan?”
“Panggil semua rakyatku di kota ini, dan bawakan mimbar istana yang paling tinggi untukku”
Sang penjaga langsung melakukan perintah Ratu Ayunda dengan wajah yang masih diliputi keheranan. Barangkali ia berpikir bahwa Ratunya itu telah stress karena banyaknya masalah yang sempat menimpa kerajaan Danta belakangan ini.
Salah seorang penjaga memukul gong besar yang berbunyi cukup untuk membuat yang mendengarnya menggosok telinga beberapa kali, kemudian penjaga lain meniupkan terompet yang tidak terlalu besar dalam nada khusus. Rupanya itulah cara mereka mengumpulkan masyarakat.
Para penduduk langsung menuju halaman beranda istana yang sering pula digunakan sebagai tempat pertemuan terbuka antara pemerintah dengan rakyat. Selain rakyat biasa, para pejabat istana yang sempat keheranan dengan sikap Ayunda juga turut hadir untuk mengetahui apa gerangan yang akan dilakukan oleh Ratu mereka itu, termasuk yang hadir ada pula ayah dan ibu dari Ayunda sendiri yang tak kalah bingungnya.
Setelah rakyatnya berkumpul, Ayunda naik ke atas mimbar yang cukup tinggi yang telah dipersiapkan oleh penjaganya tadi. Mimbar yang cukup untuk membuat Ayunda dapat dilihat oleh rakyatnya.
Ia sejenak memandang seluruh hadirin yang tampak masih bingung akan pemanggilan mendadak ini. Mereka tampak berbisik-bisik cukup keras dengan sesamanya. Termasuk para pejabat istana, mereka betul-betul heran dengan langkah Ayunda yang tak biasanya. Biasanya ia selalu berunding kepada seluruh menterinya sebelum melakukan pemanggilan kepada rakyatnya.
“Rakyatku... ” buka Ayunda dari atas mimbar lantang. Suaranya terdengar wibawa dan anggun.
“Kalian pasti heran dengan pemanggilan mendadak ini,” sejenak Ayunda memandangi rakyatnya bergantian. Para hadirin masih tampak menunggu alasan pemanggilan mendadak dari sang Ratu. “Seperti yang kita ketahui, ibu kota kita ini telah diawasi oleh Pasukan dari kerajaan Adighana sejak sepekan yang lalu. ”.
Ayunda terdiam beberapa saat ketika rakyatnya mulai berbisik khawatir.
“Namun, Rakyatku. Kalian tidak perlu gelisah, pemerintah telah melakukan langkah cepat untuk menjaga kota dan negeri kita. Jadi lakukanlah kegiatan kalian seperti biasa, tetap jalankan aktivitas ekonomi, pekerjaan kalian. Tetaplah jalankan rutinitas kalian. Mereka tak akan pernah mampu mengancam kedaulatan kita. Dan mereka juga tak akan pernah bisa mengalahkan pasukan kita. Keamanan negeri ini akan tetap terjaga!”
Wajah rakyatnya mulai tampak tenang. Ayunda telah menjamin keselamatan dan kedaulatan negerinya. Walaupun ia tak begitu yakin dengan janjinya itu.
“Baiklah. Kalian bisa kembali ke rumah atau tempat kerja kalian. Sampaikan kepada keluarga kalian dan kerabat kalian ke seluruh tempat dan Lalawangan di wilayah negeri Danta ini bahwa negeri kita adalah negeri yang aman bagi rakyatnya!”
Ayunda turun mimbar dan disambut dengan sorakan riuh serta tepuk tangan yang gemuruh dari rakyatnya. Ayunda membalas dengan senyum hangat dan lambaian tangan kepada rakyatnya. Kemudian ia segera kembali ke dalam istananya. Sementara rakyatnya dengan tertib meninggalkan halaman beranda istana. Mereka telah cukup tenang dengan pernyataan sang Ratu.
Namun hal itu tak berlaku untuk Ayunda. Pernyataannya tadi justru semakin membuatnya serasa terbebani. Tapi itu demi rakyat yang dicintainya.
Ia tak menuju kamar pribadinya, melainkan menuju ruang pertemuan utama istana. Ia telah memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mengumpulkan seluruh pejabat penting istana. Rapat penting untuk menjaga keamanan rakyatnya, sekaligus menyiapkan hal terburuk seandainya pasukan itu akan menyerang mereka.
Hari akan berjalan semakin lambat bagi Ayunda. Ia hanya berucap dalam batinnya dengan penuh harap, “Ganendra Aryasathya…”
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010Siang hari yang begitu terik. Kendaraan bermotor berseliweran bergantian di lintasan jalanan yang begitu panas. Puluhan petugas parkir dengan segala kesusah payahannya terus mengatur sistem keluar masuk kendaraan. Sesekali mereka melap keringat yang mengucur dari mukanya dengan topi atau rompi orange-nya. Peluit-peluit saling susul menyusul memberikan suara cemprengnya, berharap mendapatkan lembaran-lembaran rupiah dari itu,Saat itu padahal telah hampir sore, sekitar pukul tiga lewat. Suasana di kawasan itu memang sangat ramai di jam-jam seperti ini hingga malam hari. Tak salah jika warga Palangka Raya menyebutnya pasar besar, karena semua yang diperlukan tersedia di pasar ini. Dan di jam-jam seperti itu, biasanya para pedagang mulai sibuk menggelar dagangannya.Puluhan bahkan ratusan gerobak besar beraneka muatan memenuhi sepanjang rute pasar. Para pedagang memang menyimpan barang dagangann
“Lumayan juga..” pemuda itu berkata lagi, kali ini sambil menyulut rokok.Pemuda yang diajaknya berbicara tak menyahut.“Sudah makan kau?”Pemuda yang menghitung uang itu menatap temannya sambil tersenyum, “Kau mau makan?”“Hahahaha! Kau pikir rokok ini bisa membuatku kenyang..”“Berhentilah merokok. Aku tak tega melihat paru-parumu terpilin-pilin asap rokokmu itu”Pemuda yang merokok itu, menghembuskan asap rokok dari mulutnya dengan tenang, “Kau yang harusnya ikut merokok. Bukan pria sejati kau”“Hei, aku hanya kasihan dengan paru-paruku. Jaga kesehatanmu, Sutha.”“Bayu, Bayu… Aku ini pencopet, kau juga begitu. Kita ini ada di dunia kriminalitas. Masa’ para pelaku kriminalitas tidak merokok.”“Tapi para pelaku kriminalitas kan juga perlu merawat kesehatannya. Kau pikir kita mencopet untuk apa? Untuk makan,
Untuk pertama kalinya sejak memasuki tempat itu, Rukmana tersenyum. Senyum yang sama sekali tak tampak kalau ia sedang senang. Tapi lebih kepada pernyataan akhirnya kau menanyakan ini.“Bayu, Pria tua itu mengatakan kalau temanku yang bernama Bayu Aditya tidak boleh keluar rumah dalam dua hari ini atau dia akan mendapatkan kesulitan yang besar.”“Menarik sekali. Rupanya aku telah menjatuhkan KTP-ku tepat di depannya hingga ia bahkan dapat menyebutkan nama lengkapku dengan lancar.”Rukmana menggengam tangan Bayu, “Dengarkan aku, bodoh! Kau tentu tak ingin mendapatkan kesulitan, bukan? Dan aku percaya kalau ia bukan pria sembarangan, belum sempat aku mencerna kata-katanya, ia telah menghilang entah ke mana. Kau tahu ‘menghilang’ maksudku, kan?”“Rukmana. Aku tidak akan kenapa-kenapa. Dan percayalah, ia hanyalah pria bodoh dengan kumis dan jenggot palsu yang akan mengagetkanmu saat kau pulang nan
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010“Apa nama kota ini?” tanya seorang pria jangkung yang mengenakan pakaian berwarna ungu.“Palangka Raya,” jawab seorang pria lain yang memegang gulungan mirip peta.“Seumur hidupku, aku belum pernah menjelajahi kota ini. Dan segera setelah tugas ini selesai, aku akan menjelajahi kota ini sampai tak menyisakan sudut kecilnya,” kata pria lain begitu bernafsu.“Kalau kau ingin segera menyelesaikan tugas ini, ayo kita segera menemukan Ganendra Aryasathya.” pria yang membawa peta itu menyahut sambil memandang ke sekitarnya.Empat belas pria itu langsung berjalan beriringan menyebrangi jalan raya. Dengan pria yang menggunakan peta memimpin di depan.“Kau yakin kita akan menemukannya di sini, Gama?” tanya salah seorang rombongan itu.“Kata Ampu Estungkara, kita memang seharusnya menemukannya di
Pencarian itu tampaknya adalah salah satu hari-hari terburuk dan paling menyebabkan dalam hidup mereka. Setelah seharian menyusuri jalan-jalan kota Palangka Raya, dengan harapan yang memenuhi ubun-ubun mereka. Namun, mereka akhirnya kembali berkumpul di tempat yang telah ditentukan sebelumnya, malam harinya.“Aneh sekali. Aku tak mengerti mengapa pandangan batin yang membuatku yakin lenyap begitu saja,” ungkap Arni penuh kekesalan,”Kau juga merasakannya, kan, Tatra?”Tatra mengangguk yang gerakannya lebih mirip menahan kantuk.“Apa yang kita lakukan selanjutnya ini?” Dirga tampak mulai tak bersemangat.Patih Tarkas mengusir nyamuk yang mencoba hinggap di hidungnya, “Sebaiknya kita istirahat dulu. Banyak perbedaan yang terjadi apabila kita memutuskan suatu hal yang cukup penting ketika memikirkannya dalam keadaan yang letih dengan keadaan yang lebih segar.”“Jujur. Aku sebenarnya masih bers
Palangka Raya, Maret 2010 Dua orang pemuda harus menerima kenyataan bahwa mereka telah menghabiskan terlalu banyak waktu di warung mie ayam sambil ngobrol serius dengan pemilik warung. Dan alhasil mereka akhirnya mesti pulang berjalan kaki di malam yang cukup larut ini, karena memang tak ada angkutan kota yang berminat mencari penumpang di jam malam seperti ini. Sutha berjalan bagaikan orang ngantuk, “Sudah kubilang, jangan di warung itu. Kau bersama amang pemilik warung itu punya minat terhadap tema obrolan yang sama dan tak pernah menyadari betapa inginnya temanmu ini untuk pulang.” Bayu tak menjawab gerutuan dari temannya itu. Ia menendang-nendang batu jalanan dengan kedua tangannya diselipkan di saku celananya. “Aku boleh nginap di tempatmu, kan?” Sutha memegang pundak Bayu. Bayu menggumam. Sutha tersenyum, “Baguslah kalau begitu.” Mereka berjalan tanpa berkata-kata, hanya Sutha yang asyik
“Luar biasa. Terawat sekali rumah ini,” komentar Samira. Arni menatap Samira dengan wajah yang mengejek, “Kalau begitu rumahmu juga luar biasa, Kawan.” “Jangan menghina rumahku!” Dahup, Gama, serta beberapa prajurit tertawa. Mereka tiba di depan pintu rumah itu. Dirga mengetuk pintu beberapa kali. Namun tak ada yang menjawab. “Perlu kubantu?” tawar Samira antusias. “Sihir dilarang kalau tidak terdesak, Samira. Apa harus kutato peringatan itu di jidatmu?” larang Tadana, pejabat muda, yang cukup disegani di rombongan itu. Samira bersungut-sungut. Dirga kembali mengetuk pintu. Tapi tetap tak ada jawaban. Susena menghela nafas putus asa, “Kupikir Sang Gahyaka itu salah rumah.” “Ssst, dengarkan.” Dirga memicingkan matanya. Ada suara derap kaki di dalam rumah yang sepertinya mengarah ke pintu. Benar saja, beberapa saat kemudian, terdengar daun pegangan pintu di putar dari dalam. Seorang perempu
Perempuan itu tidak menjawab. Ia menyingkap kain hijau yang menutup nisan ketiga makam itu. Hingga tulisan di nisan itu kini dapat terlihat dengan jelas. Makam pertama bertuliskan : Terbaring dengan mesra dan damai Aswathama Arya Lahir 03-01-1963 Wafat 29-03-1995 Makam kedua yang berukuran sama bertuliskan : Terbaring dengan mesra dan damai Aruna Prahesti Lahir 16-07-1966 Wafat 29-03-1995 Dan di makam terakhir yang ukurannya paling kecil tertulis : Terbaring dengan mesra dan damai Ganendra Aryasathya Lahir 25-09-1986 Wafat 29-03-1995 Mereka membaca tulisan di ketiga makam itu berulang-ulang kali berharap ada kesalahan saat mereka membaca n