Share

4. TIGA SAHABAT

“Lumayan juga..” pemuda itu berkata lagi, kali ini sambil menyulut rokok.

Pemuda yang diajaknya berbicara tak menyahut.

“Sudah makan kau?”

Pemuda yang menghitung uang itu menatap temannya sambil tersenyum, “Kau mau makan?”

“Hahahaha! Kau pikir rokok ini bisa membuatku kenyang..”

“Berhentilah merokok. Aku tak tega melihat paru-parumu terpilin-pilin asap rokokmu itu”

Pemuda yang merokok itu, menghembuskan asap rokok dari mulutnya dengan tenang, “Kau yang harusnya ikut merokok. Bukan pria sejati kau”

“Hei, aku hanya kasihan dengan paru-paruku. Jaga kesehatanmu, Sutha.”

“Bayu, Bayu… Aku ini pencopet, kau juga begitu. Kita ini ada di dunia kriminalitas. Masa’ para pelaku kriminalitas tidak merokok.”

“Tapi para pelaku kriminalitas kan juga perlu merawat kesehatannya. Kau pikir kita mencopet untuk apa? Untuk makan, kan? Makan untuk apa? Untuk hidup dan sehat kan? Tapi kau malah menyia-nyiakannya.”

“Pencopet kok ngomongin kesehatan. Apa kau berencana, setelah kaya dengan hasil mencopet, kau akan mendaftar menjadi salah satu mahasiswa kedokteran? Hahahaha! Sudahlah, Bayu. Tidak ada sejarahnya seorang pencopet memperingatkan pencopet lainnya untuk menjaga kesehatan dari rokok.”

“Kalau begitu, sejarahnya di mulai dari sekarang.”

Sutha menatap Bayu dengan cemberut, “Sudahlah. Tadi aku bertemu Rukmana. Katanya ia ingin bertemu kamu, mungkin ada yang ingin dikatakannya padamu. Aku mau mandi dulu. Dan ingat, kulihat hasil tangkapanmu banyak hari ini. Aku sudah kangen mau makan mie ayam.”

Sutha berlalu begitu saja meninggalkan Bayu.

Bayu merebahkan tubuhnya di atas kasur yang dari tadi menjadi alas duduknya. Memandangi langit-langit kamar di barak yang dikontraknya dari empat bulan lalu itu. Di dinding kamarnya, terpampang fotonya dan beberapa foto teman-temannya. Juga ada beberapa poster yang didapatkannya dari teman-temannya. Sebuah pesawat televisi berukuran 16 inci. Lemari pakaian, beberapa buku-buku semasa ia masih sekolah. Dan barang tak berharga lainnya yang mengisi sisi-sisi sempit kamar baraknya itu.

Ia hanya sendiri menempati barak kontrakan ini. Tidak bersama siapa-siapa, Sutha, teman seprofesinya itu hanya sesekali mengunjunginya. Memang ironis sebenarnya, ia masih tujuh belas tahun, tapi telah harus hidup sendiri. Putus sekolah dua tahun lalu, orang tua yang hilang secara misterius, ia hidup tanpa arah selama beberapa minggu, sebelum akhirnya bertemu beberapa orang pencopet yang akhirnya menjadi temannya dan mengajarinya cara bertahan hidup.

Dalam hati ia memaki kedua orang tuanya, hal yang dilakukannya setiap saat ketika mengingat dua orang dewasa yang tak bertanggung jawab itu. Ia dulu punya rumah, tapi rumah itu telah disita Bank, karena ayahnya memiliki hutang yang tak dapat dibayarnya dalam tenggat waktu yang telah ditetapkan.

Telah dua tahun ia menjadi pencopet, ia bahkan telah dianggap sebagai pencopet paling handal diantara teman-temannya. Selama dua tahun mencopet tanpa pernah sekalipun ditangkap polisi adalah suatu hal yang sangat hebat, dan usianya yang baru 17 tahun merupakan nilai plus yang tak dapat disepelekan.

Ia pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ketika salah seorang temannya berhasil dibekuk polisi ketika sedang menjalankan pekerjaannya. Temannya itu nyaris tanpa bentuk lagi akibat dihajar massa. Ia sangat takut ketika itu, ia langsung pulang ke kosnya mengemasi barangnya dan pindah saat itu juga, dengan alasan tanah warisan di kampungnya telah diberikan kepadanya, dan ia akan mencoba agrobisnis dan memulai penghidupan baru di sana, itulah yang diutarakannya kepada Ibu kos yang menepuk bahunya dengan haru, dan mengatakan kalau ia berharap putranya yang hobi main billiard itu akan mengikuti jejaknya.

Ia sempat syok dengan kejadian itu dan ingin berhenti mencopet. Tapi ia terlanjur menyukai pekerjaannya ini. Dan akhirnya ia memutuskan untuk tetap menjadi pencopet yang ia sendiri tidak tahu sampai kapan.

Lamunannya buyar ketika didengarnya pintu baraknya diketuk. Ia lebih memilih untuk mengintip dari jendela dulu sebelum menerima kejutan yang mungkin akan dia sesali sepanjang umurnya. Seorang gadis berambut panjang hitam berdiri di depan pintunya. Ia tentu cukup mengenal gadis itu. Dan itu pula yang membuatnya membukakan pintu untuk gadis itu.

Seperti yang telah dijelaskan tadi, gadis itu berambut hitam yang panjang. Dan ketika ia masuk ke barak kontrakan itu penjelasannya jadi lebih detail. Ia cukup manis dengan bando berwarna biru gelap menyangkut di rambutnya. Kulitnya agak sawo matang yang cerah, mengenakan kaos berwarna hijau lengan panjang dan celana jeans panjang. Di pergelangan tangan kanannya bergantung sebuah gelang karet cerah berwarna kunig dan orange.

Tanpa dipersilakan Bayu ia telah duduk dengan santai di lantai.

“Habis dari mana, Rukmana?” Bayu ikut duduk di depan Rukmana.

“Kau takkan percaya jika aku ceritakan,” jawab Rukmana serius.

“Bagus. Kalau begitu tidak usah cerita,” Bayu merengut.

“Kau harus mendengarkan aku baik-baik,” Rukmana masih tak kehilangan tampang seriusnya.

“Sepertinya penting sekali. Apa ini yang membuat kau kemari seperti kata Sutha?”

“Oh, iya. Tadi aku ketemu dia tak sengaja saat aku membelikan ibuku obat batuk.”

“Kupikir dia harus segera ke rumah sakit, Rukmana,” kata Bayu simpatik.

“Ya. Aku telah menyuruhnya beberapa kali. Tapi bukan itu yang ingin aku katakan padamu, Bayu.”

“Oh, syukurlah.”

“Aku tadi pagi bertemu seorang pria tua yang janggutnya cukup lebat, Bayu.”

“ Oh. Betapa pentingnya, sampai aku merasa sangat ketakutan,” Bayu mendengus agak malas

“Bayu, aku belum selesai. Pria tua itu mengatakan sesuatu kepadaku, sesuatu yang membuatku takut.”

“Memang apa yang dikatakannya padamu? Apakah seperti ini ‘Rukmana aku akan memperingatkamu kalau kau harus berhati-hati, karena aku bisa melihat kalau di kolong tempat tidurmu ada makhluk halus yang dengan akan dengan senang hati mencekimu.

“Bayu, ini bukan seperti yang kau bayangkan. Pria tua itu memberitahuku sesuatu yang mirip dengan sebuah peringatan, peringatan tentang dirimu!”

“Peringatan? Tentang diriku?”

Bayu tercekat. Ia memang tak terlalu mempercayai hal itu, namun ia telah beberapa kali menonton film Harry Potter. Dan dari film itu ia bisa membayangkan kalau sebagian dari peringatan misterius itu adalah sesuatu yang sama sekali tak membuat lebih baik.

“Ya. Sebuah peringatan, atau apalah namanya,” wajah Rukmana tampak semakin serius.

Bayu terdiam sejenak. Ia cukup bimbang menentukan apakah harus percaya atau tidak. Selama ini ia hidup dalam kenyataan, kenyataan bahwa ia harus menghadapi hidup ini sendirian. Kenyataan bahwa orang tuanya sama sekali tak pernah berusaha mencari keberadaannya. Sekarang Rukmana muncul membawa kabar tentang sebuah peringatan. Ia sepertinya tak punya alasan untuk mempercayai itu.

“Menurutmu peringatan apa? Apakah pria tua itu bilang aku akan tertangkap ketika melakukan aksiku? Oh, menyenangkan sekali, tampaknya,” Bayu memalingkan wajahnya.

“Berhentilah menyepelekan. Peringatan ini tampaknya jauh lebih menakutkan daripada kau harus ditangkap!”

Kali ini Bayu menatap Rukmana, dan Rukmana juga menatap wajahnya. Mereka bertemu pandang. Namun keduanya tampak tak terlalu siap dengan hal itu. Bayu menunduk sedikit, sementara Rukmana memilih memperbaiki bandonya yang sebenarnya tak punya alasan apa-apa untuk diperbaiki.

“Baiklah,” kata Bayu, “Ceritakan padaku apa kata pria tua itu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status