“Lumayan juga..” pemuda itu berkata lagi, kali ini sambil menyulut rokok.
Pemuda yang diajaknya berbicara tak menyahut.
“Sudah makan kau?”
Pemuda yang menghitung uang itu menatap temannya sambil tersenyum, “Kau mau makan?”
“Hahahaha! Kau pikir rokok ini bisa membuatku kenyang..”
“Berhentilah merokok. Aku tak tega melihat paru-parumu terpilin-pilin asap rokokmu itu”
Pemuda yang merokok itu, menghembuskan asap rokok dari mulutnya dengan tenang, “Kau yang harusnya ikut merokok. Bukan pria sejati kau”
“Hei, aku hanya kasihan dengan paru-paruku. Jaga kesehatanmu, Sutha.”
“Bayu, Bayu… Aku ini pencopet, kau juga begitu. Kita ini ada di dunia kriminalitas. Masa’ para pelaku kriminalitas tidak merokok.”
“Tapi para pelaku kriminalitas kan juga perlu merawat kesehatannya. Kau pikir kita mencopet untuk apa? Untuk makan, kan? Makan untuk apa? Untuk hidup dan sehat kan? Tapi kau malah menyia-nyiakannya.”
“Pencopet kok ngomongin kesehatan. Apa kau berencana, setelah kaya dengan hasil mencopet, kau akan mendaftar menjadi salah satu mahasiswa kedokteran? Hahahaha! Sudahlah, Bayu. Tidak ada sejarahnya seorang pencopet memperingatkan pencopet lainnya untuk menjaga kesehatan dari rokok.”
“Kalau begitu, sejarahnya di mulai dari sekarang.”
Sutha menatap Bayu dengan cemberut, “Sudahlah. Tadi aku bertemu Rukmana. Katanya ia ingin bertemu kamu, mungkin ada yang ingin dikatakannya padamu. Aku mau mandi dulu. Dan ingat, kulihat hasil tangkapanmu banyak hari ini. Aku sudah kangen mau makan mie ayam.”
Sutha berlalu begitu saja meninggalkan Bayu.
Bayu merebahkan tubuhnya di atas kasur yang dari tadi menjadi alas duduknya. Memandangi langit-langit kamar di barak yang dikontraknya dari empat bulan lalu itu. Di dinding kamarnya, terpampang fotonya dan beberapa foto teman-temannya. Juga ada beberapa poster yang didapatkannya dari teman-temannya. Sebuah pesawat televisi berukuran 16 inci. Lemari pakaian, beberapa buku-buku semasa ia masih sekolah. Dan barang tak berharga lainnya yang mengisi sisi-sisi sempit kamar baraknya itu.
Ia hanya sendiri menempati barak kontrakan ini. Tidak bersama siapa-siapa, Sutha, teman seprofesinya itu hanya sesekali mengunjunginya. Memang ironis sebenarnya, ia masih tujuh belas tahun, tapi telah harus hidup sendiri. Putus sekolah dua tahun lalu, orang tua yang hilang secara misterius, ia hidup tanpa arah selama beberapa minggu, sebelum akhirnya bertemu beberapa orang pencopet yang akhirnya menjadi temannya dan mengajarinya cara bertahan hidup.
Dalam hati ia memaki kedua orang tuanya, hal yang dilakukannya setiap saat ketika mengingat dua orang dewasa yang tak bertanggung jawab itu. Ia dulu punya rumah, tapi rumah itu telah disita Bank, karena ayahnya memiliki hutang yang tak dapat dibayarnya dalam tenggat waktu yang telah ditetapkan.
Telah dua tahun ia menjadi pencopet, ia bahkan telah dianggap sebagai pencopet paling handal diantara teman-temannya. Selama dua tahun mencopet tanpa pernah sekalipun ditangkap polisi adalah suatu hal yang sangat hebat, dan usianya yang baru 17 tahun merupakan nilai plus yang tak dapat disepelekan.
Ia pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ketika salah seorang temannya berhasil dibekuk polisi ketika sedang menjalankan pekerjaannya. Temannya itu nyaris tanpa bentuk lagi akibat dihajar massa. Ia sangat takut ketika itu, ia langsung pulang ke kosnya mengemasi barangnya dan pindah saat itu juga, dengan alasan tanah warisan di kampungnya telah diberikan kepadanya, dan ia akan mencoba agrobisnis dan memulai penghidupan baru di sana, itulah yang diutarakannya kepada Ibu kos yang menepuk bahunya dengan haru, dan mengatakan kalau ia berharap putranya yang hobi main billiard itu akan mengikuti jejaknya.
Ia sempat syok dengan kejadian itu dan ingin berhenti mencopet. Tapi ia terlanjur menyukai pekerjaannya ini. Dan akhirnya ia memutuskan untuk tetap menjadi pencopet yang ia sendiri tidak tahu sampai kapan.
Lamunannya buyar ketika didengarnya pintu baraknya diketuk. Ia lebih memilih untuk mengintip dari jendela dulu sebelum menerima kejutan yang mungkin akan dia sesali sepanjang umurnya. Seorang gadis berambut panjang hitam berdiri di depan pintunya. Ia tentu cukup mengenal gadis itu. Dan itu pula yang membuatnya membukakan pintu untuk gadis itu.
Seperti yang telah dijelaskan tadi, gadis itu berambut hitam yang panjang. Dan ketika ia masuk ke barak kontrakan itu penjelasannya jadi lebih detail. Ia cukup manis dengan bando berwarna biru gelap menyangkut di rambutnya. Kulitnya agak sawo matang yang cerah, mengenakan kaos berwarna hijau lengan panjang dan celana jeans panjang. Di pergelangan tangan kanannya bergantung sebuah gelang karet cerah berwarna kunig dan orange.
Tanpa dipersilakan Bayu ia telah duduk dengan santai di lantai.
“Habis dari mana, Rukmana?” Bayu ikut duduk di depan Rukmana.
“Kau takkan percaya jika aku ceritakan,” jawab Rukmana serius.
“Bagus. Kalau begitu tidak usah cerita,” Bayu merengut.
“Kau harus mendengarkan aku baik-baik,” Rukmana masih tak kehilangan tampang seriusnya.
“Sepertinya penting sekali. Apa ini yang membuat kau kemari seperti kata Sutha?”
“Oh, iya. Tadi aku ketemu dia tak sengaja saat aku membelikan ibuku obat batuk.”
“Kupikir dia harus segera ke rumah sakit, Rukmana,” kata Bayu simpatik.
“Ya. Aku telah menyuruhnya beberapa kali. Tapi bukan itu yang ingin aku katakan padamu, Bayu.”
“Oh, syukurlah.”
“Aku tadi pagi bertemu seorang pria tua yang janggutnya cukup lebat, Bayu.”
“ Oh. Betapa pentingnya, sampai aku merasa sangat ketakutan,” Bayu mendengus agak malas
“Bayu, aku belum selesai. Pria tua itu mengatakan sesuatu kepadaku, sesuatu yang membuatku takut.”
“Memang apa yang dikatakannya padamu? Apakah seperti ini ‘Rukmana aku akan memperingatkamu kalau kau harus berhati-hati, karena aku bisa melihat kalau di kolong tempat tidurmu ada makhluk halus yang dengan akan dengan senang hati mencekimu.”
“Bayu, ini bukan seperti yang kau bayangkan. Pria tua itu memberitahuku sesuatu yang mirip dengan sebuah peringatan, peringatan tentang dirimu!”
“Peringatan? Tentang diriku?”
Bayu tercekat. Ia memang tak terlalu mempercayai hal itu, namun ia telah beberapa kali menonton film Harry Potter. Dan dari film itu ia bisa membayangkan kalau sebagian dari peringatan misterius itu adalah sesuatu yang sama sekali tak membuat lebih baik.
“Ya. Sebuah peringatan, atau apalah namanya,” wajah Rukmana tampak semakin serius.
Bayu terdiam sejenak. Ia cukup bimbang menentukan apakah harus percaya atau tidak. Selama ini ia hidup dalam kenyataan, kenyataan bahwa ia harus menghadapi hidup ini sendirian. Kenyataan bahwa orang tuanya sama sekali tak pernah berusaha mencari keberadaannya. Sekarang Rukmana muncul membawa kabar tentang sebuah peringatan. Ia sepertinya tak punya alasan untuk mempercayai itu.
“Menurutmu peringatan apa? Apakah pria tua itu bilang aku akan tertangkap ketika melakukan aksiku? Oh, menyenangkan sekali, tampaknya,” Bayu memalingkan wajahnya.
“Berhentilah menyepelekan. Peringatan ini tampaknya jauh lebih menakutkan daripada kau harus ditangkap!”
Kali ini Bayu menatap Rukmana, dan Rukmana juga menatap wajahnya. Mereka bertemu pandang. Namun keduanya tampak tak terlalu siap dengan hal itu. Bayu menunduk sedikit, sementara Rukmana memilih memperbaiki bandonya yang sebenarnya tak punya alasan apa-apa untuk diperbaiki.
“Baiklah,” kata Bayu, “Ceritakan padaku apa kata pria tua itu.”
Untuk pertama kalinya sejak memasuki tempat itu, Rukmana tersenyum. Senyum yang sama sekali tak tampak kalau ia sedang senang. Tapi lebih kepada pernyataan akhirnya kau menanyakan ini.“Bayu, Pria tua itu mengatakan kalau temanku yang bernama Bayu Aditya tidak boleh keluar rumah dalam dua hari ini atau dia akan mendapatkan kesulitan yang besar.”“Menarik sekali. Rupanya aku telah menjatuhkan KTP-ku tepat di depannya hingga ia bahkan dapat menyebutkan nama lengkapku dengan lancar.”Rukmana menggengam tangan Bayu, “Dengarkan aku, bodoh! Kau tentu tak ingin mendapatkan kesulitan, bukan? Dan aku percaya kalau ia bukan pria sembarangan, belum sempat aku mencerna kata-katanya, ia telah menghilang entah ke mana. Kau tahu ‘menghilang’ maksudku, kan?”“Rukmana. Aku tidak akan kenapa-kenapa. Dan percayalah, ia hanyalah pria bodoh dengan kumis dan jenggot palsu yang akan mengagetkanmu saat kau pulang nan
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010“Apa nama kota ini?” tanya seorang pria jangkung yang mengenakan pakaian berwarna ungu.“Palangka Raya,” jawab seorang pria lain yang memegang gulungan mirip peta.“Seumur hidupku, aku belum pernah menjelajahi kota ini. Dan segera setelah tugas ini selesai, aku akan menjelajahi kota ini sampai tak menyisakan sudut kecilnya,” kata pria lain begitu bernafsu.“Kalau kau ingin segera menyelesaikan tugas ini, ayo kita segera menemukan Ganendra Aryasathya.” pria yang membawa peta itu menyahut sambil memandang ke sekitarnya.Empat belas pria itu langsung berjalan beriringan menyebrangi jalan raya. Dengan pria yang menggunakan peta memimpin di depan.“Kau yakin kita akan menemukannya di sini, Gama?” tanya salah seorang rombongan itu.“Kata Ampu Estungkara, kita memang seharusnya menemukannya di
Pencarian itu tampaknya adalah salah satu hari-hari terburuk dan paling menyebabkan dalam hidup mereka. Setelah seharian menyusuri jalan-jalan kota Palangka Raya, dengan harapan yang memenuhi ubun-ubun mereka. Namun, mereka akhirnya kembali berkumpul di tempat yang telah ditentukan sebelumnya, malam harinya.“Aneh sekali. Aku tak mengerti mengapa pandangan batin yang membuatku yakin lenyap begitu saja,” ungkap Arni penuh kekesalan,”Kau juga merasakannya, kan, Tatra?”Tatra mengangguk yang gerakannya lebih mirip menahan kantuk.“Apa yang kita lakukan selanjutnya ini?” Dirga tampak mulai tak bersemangat.Patih Tarkas mengusir nyamuk yang mencoba hinggap di hidungnya, “Sebaiknya kita istirahat dulu. Banyak perbedaan yang terjadi apabila kita memutuskan suatu hal yang cukup penting ketika memikirkannya dalam keadaan yang letih dengan keadaan yang lebih segar.”“Jujur. Aku sebenarnya masih bers
Palangka Raya, Maret 2010 Dua orang pemuda harus menerima kenyataan bahwa mereka telah menghabiskan terlalu banyak waktu di warung mie ayam sambil ngobrol serius dengan pemilik warung. Dan alhasil mereka akhirnya mesti pulang berjalan kaki di malam yang cukup larut ini, karena memang tak ada angkutan kota yang berminat mencari penumpang di jam malam seperti ini. Sutha berjalan bagaikan orang ngantuk, “Sudah kubilang, jangan di warung itu. Kau bersama amang pemilik warung itu punya minat terhadap tema obrolan yang sama dan tak pernah menyadari betapa inginnya temanmu ini untuk pulang.” Bayu tak menjawab gerutuan dari temannya itu. Ia menendang-nendang batu jalanan dengan kedua tangannya diselipkan di saku celananya. “Aku boleh nginap di tempatmu, kan?” Sutha memegang pundak Bayu. Bayu menggumam. Sutha tersenyum, “Baguslah kalau begitu.” Mereka berjalan tanpa berkata-kata, hanya Sutha yang asyik
“Luar biasa. Terawat sekali rumah ini,” komentar Samira. Arni menatap Samira dengan wajah yang mengejek, “Kalau begitu rumahmu juga luar biasa, Kawan.” “Jangan menghina rumahku!” Dahup, Gama, serta beberapa prajurit tertawa. Mereka tiba di depan pintu rumah itu. Dirga mengetuk pintu beberapa kali. Namun tak ada yang menjawab. “Perlu kubantu?” tawar Samira antusias. “Sihir dilarang kalau tidak terdesak, Samira. Apa harus kutato peringatan itu di jidatmu?” larang Tadana, pejabat muda, yang cukup disegani di rombongan itu. Samira bersungut-sungut. Dirga kembali mengetuk pintu. Tapi tetap tak ada jawaban. Susena menghela nafas putus asa, “Kupikir Sang Gahyaka itu salah rumah.” “Ssst, dengarkan.” Dirga memicingkan matanya. Ada suara derap kaki di dalam rumah yang sepertinya mengarah ke pintu. Benar saja, beberapa saat kemudian, terdengar daun pegangan pintu di putar dari dalam. Seorang perempu
Perempuan itu tidak menjawab. Ia menyingkap kain hijau yang menutup nisan ketiga makam itu. Hingga tulisan di nisan itu kini dapat terlihat dengan jelas. Makam pertama bertuliskan : Terbaring dengan mesra dan damai Aswathama Arya Lahir 03-01-1963 Wafat 29-03-1995 Makam kedua yang berukuran sama bertuliskan : Terbaring dengan mesra dan damai Aruna Prahesti Lahir 16-07-1966 Wafat 29-03-1995 Dan di makam terakhir yang ukurannya paling kecil tertulis : Terbaring dengan mesra dan damai Ganendra Aryasathya Lahir 25-09-1986 Wafat 29-03-1995 Mereka membaca tulisan di ketiga makam itu berulang-ulang kali berharap ada kesalahan saat mereka membaca n
Bayu tersenyum puas, “Bayangkan. Kita bisa memperbaiki ekonomi kita dengan benda ini.” Ia memandang kedua temannya.Mereka bertiga tampaknya sangat bahagia dengan angan-angan yang sangat terang itu. Membayangkan kehidupan yang lebih terjamin tentunya sangat luar biasa bagi mereka yang telah lama terpuruk dalam kemiskinan.“Sekarang aku akan menawarkan barang ini kepada Amang Ucai. Siapa tahu ia punya minat untuk membelinya.”“Sebaiknya jangan!” cegah Rukmana, “Amang Ucai itu pelit dan licik. Aku melihat beberapa hari yang lalu ia membeli gelang dari seseorang dengan sangat murah. Padahal gelang itu cukup bagus untuk dihargai lebih dari yang ditawarkan Amang Ucai.”“Aku setuju dengan Rukmana,” Sutha menyetujui sambil mengusap-usap kalung itu.“Lalu ke mana kita menjualnya?”“Kepada Kolektor benda berharga!” jawab Rukmana yakin.
“Kami? Algojomu! Dahup, kenapa kau diam saja! Ayo ikat tangan pencuri ini!” kata pria pendek yang tak lain adalah Samira.Dahup langsung bertindak dan mengikat tangan Bayu dengan seutas rantai yang tampaknya sudah diisi dengan sihir aneh oleh Samira.Bayu hanya berdiam saja, ia tampaknya pasrah dan mengira dua orang pria nyentrik yang menyergapnya ini adalah polisi yang telah lama mengincarnya. Tiba-tiba impiannya yang baru saja membumbung tinggi dengan sangat deras menghantam kembali dalam titik terendah harapannya.“Sekarang beritahu kami, dimana kau sembunyikan benda yang kau curi itu?”“Ben..benda yang mana, Pak?”“Kau masih mau membantah? Apa perlu kucabut gigimu baru kau mau mengaku?”Bayu seketika ketakutan, “Saya tidak tahu benda yang bapak maksud sebelum Bapak menjelaskan seperti apa benda itu.”Samira memandang sok serius pada Dahup. Sialnya Dahup malah sedang mempe