Share

Chapter 9

Brakkk

Ojek motor yang ditumpangi Ratih mendadak roboh karena menghindari seseorang yang menyeberang jalan tanpa melihat kanan dan kiri dulu. Untung saja Ratih tidak apa-apa. Ratih melihat ke arah orang yang berlari. Ia ingat betul, ciri-ciri orang itu sama persis dengan laki-laki-laki yang memarahi Vania di pasar waktu itu. Karena rasa penasarannya, Ratih memberikan selembar uang pada tukang ojek kemudian berlari mengejar orang tersebut sampai lupa apa tujuannya kembali ke rumah. Sebenarnya ia lupa membawakan bekal untuk si kembar, ia berinisiatif untuk pulang naik ojek untuk mengambilkan bekal makanan si kembar sedangkan Pak Hadi tetap melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah. Namun ia tidak menyangka akan melihat hal ini, ia ingin mengungkap semuanya. Jarak mereka cukup jauh, laki-laki itu berlari amat kencang, namun ketika di pertigaan jalan, lagi-lagi laki-laki itu hampir ditabrak oleh motor. Ia berhasil menghindar namun justru terjatuh.

“Sial.” Ucap orang itu samar-samar terdengar oleh Ratih.

Kini jarak mereka sudah dekat, bahkan amat dekat. Ratih seperti mengenal suara orang tersebut. Seperti tak asing di telinganya. Ia pelan-pelan berjalan mendekati orang yang berusaha bangun dengan susah payah itu.

“Berhenti disana. Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu ingin melukai Vania? Apa masalah kalian sebenarnya?” Tanya Ratih ragu, ia ingat betapa kasarnya laki-laki itu. Ia tidak bisa membayangkan jika dirinya bisa saja diperlakukan seperti Vania saat itu, apalagi suasananya cukup sepi.

“Apa maumu? Mengapa ikut campur? Dan mengapa mengejarku? Mau jadi jagoan?” Kata orang itu terlihat sangat kesal tanpa memandang ke arah Ratih sedikit pun.

“Aku hanya ingin tahu apa masalahmu dengan keluarga majikanku. Jika kau punya masalah, seharusnya kau bisa menyelesaikannya dengan baik-baik. Bukan dengan cara seperti itu. Dan tadi, apa yang hendak kamu lakukan? Mengapa kamu datang lagi ke rumah majikanku? Apa masih kurang kejadian kemarin di pasar?” Tanya Ratih bertubi-tubi mencoba memberanikan diri.

Mendengar Ratih yang banyak bicara membuat orang itu memandang ke arah Ratih dan terkejut melihat Ratih.

“Ra Ra Ratih. Kamu Ratih?” Tanya orang itu, sekarang ia sudah berdiri sejajar dengan Ratih.

Ratih sama terkejutnya, bagaimana bisa laki-laki itu mengenal Ratih?

“Siapa kamu sebenarnya? Dan dari mana kamu tahu namaku?” Tanya Ratih lagi, kali ini ia mulai gemetar.

“Bukannya kamu sudah meninggal bersama anak dalam kandunganmu dalam kecelakaan itu?” Tanya orang itu.

Jelas saja Ratih terkejut. Meninggal? Kecelakaan? Ia bahkan tidak paham dengan yang dikatakan oleh orang tersebut. Seingatnya, ia tidak pernah mengalami kecelakaan parah atau yang bisa menyebabkan kematian. Lalu mengapa orang itu berkata demikian?

“Apa maksudmu? Siapa kamu sebenarnya?” Tanya Ratih lagi.

Bukannya menjawab, orang itu justru berbalik badan dan berlari meninggalkan Ratih. Ratih tak kuasa lagi mengejar, ia masih bingung dengan yang dikatakan oleh orang tersebut. Jika ia mengenal Ratih, berarti ia adalah orang yang berasal dari masa lalu Ratih. Tapi siapa?

Drrrttt drrrttt drrrttt

Getaran ponsel menyadarkan Ratih dari lamunannya. Ia melihat nama yang terlihat di layar ponselnya. Pak Hadi. Ratih menepuk jidatnya, kemudian mengangkat ponselnya.

“Halo, Pak Hadi.” Sapa Ratih sambil berjalan cepat kembali ke rumah majikannya.

“Kamu dimana Ratih? Kenapa tidak kembali ke sekolah?” Tanya Pak Hadi.

“Iya, Pak. Sebentar lagi saya kesana. Mohon ditunggu, Pak. Anak-anak suruh masuk saja. Nanti saya yang antarkan bekalnya ke kelas.” Kata Ratih, kini ia sudah di depan rumah mewah itu.

Ratih bergegas masuk ke dalam rumah dan mendapati bekal makanan itu masih tergeletak di atas meja makan. Ia segera mengambilnya dan membawanya kembali ke sekolah. Saat melewati pintu kamar Vania, ia mendengar suara tangisan Vania yang samar-samar terdengar dari luar karena pintu kamar tidak tertutup rapat.

“Kenapa kamu harus kembali? Kemana lagi aku harus pergi untuk menghindarimu? Andai aku lebih percaya dengan orang tuaku, mungkin semua ini tak akan terjadi. Tapi cinta telah membutakan aku, aku keliru menilai dirimu.” Ucap Vania dalam tangisnya.

Ratih semakin bingung dengan yang dialami oleh Vania, Cinta? Vania mengatakan cinta telah membutakannya? Apakah di antara mereka berdua pernah terjalin kasih? Ah, entahlah. Ratih menyadari bahwa sepertinya ia terlalu hanyut dalam rasa penasarannya. Yang terpenting sekarang, ia harus segera mencari ojek atau apa pun yang bisa mengantarnya kembali ke sekolah untuk mengantar bekal.

Di kampung halaman

“Kita jalan-jalan yuk sayang.” Kata Sarah pada Gladys yang tengah belajar, terlihat benar bahwa anak itu kesusahan.

“Ibu, kenapa mengajakku jalan-jalan. Ibu lihat kan kalau Gladys sedang belajar. Pelajaran Matematika ini sangat susah. Lebih baik Ibu mengajariku.” Jawab Gladys masih berkutat dengan deretan angka yang berjajar rapi di bukunya.

Sarah mendengus mendengar jawaban putrinya, bagaimana bisa ia mengerjakan pelajaran matematika? Dari dulu ia sangat membenci pelajaran itu dan alhasil nilai di raportnya tidak pernah baik.

“Kenapa kamu tidak minta jawaban pada Syena saja. Ibu yakin dia pasti sudah mengerjakannya.” Kata Sarah dengan wajah sumringah.

“Ibu benar, Gladys akan meminta Syena untuk mengajari tugas ini.” Jawab Gladys hendak beranjak pergi ke kamar Syena namun ditahan oleh Sarah.

“Tidak perlu meminta diajari. Kamu salin saja jawabannya, itu lebih cepat. Dan kita bisa segera jalan-jalan. Ibu bosan di rumah.” Kata Sarah lagi.

“Tapi nanti Gladys jadi tidak paham kalau hanya menyalin? Nanti kalau ditanya Bu Guru di sekolah atau mendadak ulangan harian pasti Gladys dapat nilai jelek.” Jawab Gladys lagi.

“Sudahlah, sejak kapan kamu membantah perintah Ibu? Lakukan seperti yang Ibu minta. Masalah minta diajari itu bisa lain waktu. Yang penting sekarang kamu salin jawaban Syena dulu.” Kata Sarah.

Gladys hanya menurut saja. Ia tidak ingin berdebat dengan Ibunya. Gladys segera ke kamar Syena dan meminjam buku tugas matematika milik Syena.

“Aku pinjam buku tugas matematikamu sebentar, Syena.” Kata Gladys yang tengah berdiri di pintu kamar Syena.

“Aku baru saja selesai, mari aku ajari cara mengerjakannya. Kalau? hanya menyalin, nanti kamu tidak paham dengan pelajarannya.” Kata Syena sambil tersenyum.

“Jangan sok pintar kamu, Gladys sudah mengerjakannya sendiri. Dia hanya ingin mengoreksi tugasnya dengan tugasmu. Jika sudah benar, nanti juga bukumu akan dikembalikan. Jika ada yang Gladys tidak paham, tanpa kamu minta pun dia akan minta kamu untuk mengajarinya. Jadi berikan saja bukumu dan segera lakukan pekerjaanmu membereskan rumah.” Kata Sarah yang sudah bergabung bersama mereka.

Syena tidak berani membantah. Ia segera mengambil bukunya dan memberikannya pada Gladys, setelah itu ia keluar dari kamar untuk mengerjakan berbagai tugas rumah. Bude Rima sedang berada di tempat terapi, tadinya diantar oleh Sarah lalu kemudian ditinggal pulang dan akan kembali di jemput ketika terapi sudah selesai. Rahman masih kerja, ia selalu pulang malam. Jadi Sarah bisa dengan leluasa ingin berbuat apa saja. Termasuk menyuruh Syena untuk mengerjakan segala pekerjaan rumah yang seharusnya ia selesaikan.

“Sudah, Bu. Mari kita pergi jalan-jalan.” Kata Gladys pada Ibunya.

Sarah sangat gembira, sudah lama ia ingin jalan-jalan jauh naik motor barunya itu.

“Syena, Bude sama Gladys mau pergi dulu. Nanti kalau Nenekmu telepon, kamu datang saja ke pangkalan ojek depan gang dan minta salah satu dari mereka untuk menjemput nenekmu. Bude tidak sabar kalau harus menunggunya.” Kata Sarah yang sekarang sudah duduk di atas motornya bersama Gladys.

Tanpa menunggu jawaban dari Syena, Sarah langsung melajukan motornya. Entah kemana mereka akan pergi, padahal Sarah baru bisa naik motor dan belum begitu lancar dalam menjalankan motornya.

Banyak yang harus dikerjakan oleh Syena, mulai dari menyapu, mengepel lantai, menyapu halaman, menjemur pakaian, dan mengangkat pakaian yang sudah kering lalu melipat dan merapikannya.

Tok tok tok

Suara pintu di ketuk dari luar. Syena segera berlari menuju sumber suara dan segera membuka pintu. Ia terkejut mendapati Neneknya sudah sampai rumah, padahal ia sama sekali tidak mendengar suara telepon.

“Nenek pulang naik apa?” Tanya Syena pada neneknya yang terlihat sangat kelelahan.

“Jalan kaki. Charger handphone Nenek habis, jadi nenek tidak bisa menghubungi rumah. Selain itu, Nenek juga lupa membawa dompet jadi tidak bisa naik angkot maupun ojek. Di daerah sana angkutan umum maupun ojek juga sangat susah dicari. Jadi Nenek putuskan untuk jalan kaki saja.” Jawab Bude Rima yang berjalan tertatih menuju kursi.

Tanpa aba-apa, Syena langsung ke dapur untuk mengambilkan segelas air minum untuk Bude Rima.

“Minumlah, Nek. Setelah itu, Nenek istirahat.” Kata Syena yang sekarang sudah duduk di samping Bude Rima sambil memijat kaki Neneknya itu yang memang diselonjorkan.

“Dimana Sarah dan Gladys, dari tadi Nenek tidak melihat mereka.” Tanya Bude Rima karena sedari tadi tidak mendapati Sarah dan Gladys.

“Mereka pergi jalan-jalan, Nek. Bude Sarah bilang kalau ia bosan terus di rumah saja.” Jawab Syena jujur.

“Kemana mereka pergi? Nenek takut terjadi apa-apa dengan mereka. Sarah itu baru bisa naik motor dan biasa di jalan kampung yang sepi. Nenek Khawatir mereka pergi melewati jalan raya yang sangat ramai.” Kata Bude Rima terlihat amat khawatir.

“Sudahlah, Nek. Doakan saja semoga mereka baik-baik saja.” Kata Syena menenangkan, “ Sekarang, Nenek istirahat dulu.” Sambung Syena.

Bude Rima hanya mengangguk, ia istirahat di sofa ruang tamu. Syena kembali melanjutkan pekerjaannya. Bude Rima kasihan melihat Syena, di sisi lain ia bangga melihat Syena yang sangat mandiri dan tidak manja. Terukir senyuman di bibir Bude Rima.

Kriiing kriiing kriiing

Suara telepon rumah mengejutkan Bude Rima yang tengah istirahat. Ia bergegas menggapai telepon rumah yang berada tak jauh darinya dan segera mengangkatnya.

“Halo, selamat siang.” Sapa Bude Rima.

“Selamat siang. Benar ini rumah kediaman Pak Rahman?” Tanya seorang laki-laki di seberang sana.

“Iya benar, ada apa ya?” Tanya Bude Rima mulai khawatir.

“Kami ingin mengabarkan bahwa istri dari Pak Rahman mengalami kecelakaan. Tidak parah, namun mereka tidak bisa kembali ke rumah sendiri. Mereka ada di RS. Sehat Sentosa sekarang.” Kata orang itu lagi.

Bude Rima tak mampu berkata apa-apa, ia terlalu kaget sampai menjatuhkan telepon rumah. Syena yang mendengar suara benda jatuh segera menghampiri.

“Ada apa, Nek?” Tanya Syena panik.

“Sarah dan Gladys kecelakaan. Kamu tolong telepon Pakde mu.” Perintah Nenek.

Syena segera membuka buku telepon dan mencari nomor Rahman kemudian meneleponnya untuk mengabari bahwa Sarah dan Gladys kecelakaan.

“Halo, ada apa?” Tanya Rahman.

“Pakde, ini Syena. Bude dan Gladys mengalami kecelakaan.” Kata Syena.

“Apa?” Tanya Rahman memastikan.

Bude Rima meminta teleponnya dan bicara pada Rahman.

“Mereka tidak apa-apa. Kamu ke RS. Sehat Sentosa sekarang. Mereka tidak bisa pulang sendiri. Jangan terlalu panik ya, kamu juga hati-hati.” Kata Bude Rima.

Sambungan telepon mendadak terputus, Rahman langsung menuju ke Rumah Sakit. Pikirannya tidak karuan. Jika tidak apa-apa, mengapa ada di rumah sakit? Pikir Rahman secepat mungkin melajukan motor kesayangannya menuju ke Rumah Sakit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status