Sesaat setelah acara reuni selesai,
Sinar matahari yang hangat menyapu wajah Zera ketika dia berdiri di dekat dermaga Pantai Ancol, menatap ombak yang tenang berkejaran di tepian. Di sampingnya, Farez tersenyum lembut, memperhatikan raut bahagia Zera. Mereka baru saja memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama, mengenang masa-masa SMA yang penuh kenangan. Hubungan mereka yang sempat kandas kini terajut kembali dengan indah. "Aku nggak pernah bosan lihat laut ini, Kak Farez," ujar Zera sambil menghela napas panjang. "Rasanya tenang banget di sini. Jadi ingat saat dulu kita masih duduk di bangku SMA. Kita sering menghabiskan waktu di sini," tutur sang gadis lagi. Farez mengangguk. "Aku tahu. Laut ini juga saksi waktu kita sering kabur habis pulang sekolah, ingat nggak?" Zera tertawa kecil, mengangguk. "Ha-ha-ha. Kamu dulu sering banget ngerayu aku buat ke sini, padahal kita tahu bakal dimarahin sama guru BK kalau ketahuan." "He-he-he. Tapi mereka nggak pernah tahu, kan?" jawab Farez sambil terkekeh. "Tapi yang paling aku ingat, waktu kita duduk di pasir, kamu ngomong kalau suatu hari kamu pengin jadi pengusaha sukses." Zera menoleh, tersenyum penuh makna. "Dan sekarang aku masih kejar mimpi itu. Tapi kamu, Kak Farez? Apa cita-citamu dulu sudah tercapai?" Farez menunduk sebentar, lalu menatap Zera dengan serius. "Cita-cita terbesarku sekarang cuma satu, yaitu bikin kamu bahagia." Kata-kata Farez membuat Zera terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya yang sedikit memerah. "Gombalan kamu nggak pernah berubah ya, Kak." “Ha-ha-ha! Semuanya hanya untukmu, Zera. Apapun itu. Kali ini aku akan memperjuangkan hubungan kita, apapun yang terjadi!” ucapnya penuh harap. Mereka pun lalu berjalan menyusuri pantai, kaki keduanya menyentuh pasir yang mulai terasa dingin. Angin sore meniup lembut, membawa aroma laut yang khas. Zera dan Farez memutuskan untuk berhenti sejenak, duduk di sebuah batu besar yang menghadap ke laut. "Kamu tahu nggak, Kak?" ucap Zera sambil menatap horizon indah di depannya. "Aku sempat berpikir kita nggak akan pernah bertemu lagi, Kak Farez." "Aku juga," jawab Farez pelan. "Waktu kita pisah dulu, jujur aku nyesel banget. Tapi sekarang, aku janji, aku nggak akan sia-siakan kesempatan ini," ucapnya lagi. Zera lalu menatap Farez. "Janji?" "Janji!" seru Farez dengan nada meyakinkan. Hari mulai gelap. Matahari perlahan tenggelam di cakrawala, menciptakan warna jingga keemasan yang memantul indah di permukaan laut. Farez berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Zera. "Ayo, aku ada kejutan kecil buat kamu," katanya. "Kejutan apa?" Zera memandangnya curiga. "Kamu ikut aja dulu. Percaya sama aku," ujar Farez dengan senyum khasnya. Mereka pun berjalan menuju sebuah kafe kecil di tepi pantai. Lampu-lampu kafe yang remang menciptakan suasana romantis. Di salah satu sudut kafe, Farez memilih meja yang menghadap langsung ke arah laut. "Tempat ini baru, ya?" tanya Zera sambil duduk. "Iya, aku baru tahu juga. Tapi pas lihat tadi siang, aku pikir ini tempat yang pas buat kita." Seorang pelayan datang dengan buku menu, dan Farez memesan jus jeruk untuk Zera serta kopi hitam untuk dirinya sendiri. Sambil menunggu pesanan datang, mereka melanjutkan obrolan. "Kamu masih ingat lagu favorit kita waktu SMA?" tanya Farez tiba-tiba. Zera mengangguk. "Tentu saja. Lagu itu masih ada di playlist-ku sampai sekarang." Farez tersenyum, lalu mengeluarkan ponselnya. Dia lalu memutar lagu yang dimaksud, dan nada-nada lembut mulai mengalun. Zera tersenyum mendengarnya. "Masih suka lagu ini?" tanya Farez. "Banget," jawab Zera. "Kamu selalu tahu cara bikin aku terharu ya, Kak." “Ha-ha-ha! Tentu saja, Zera. Karena kamu adalah tambatan hatiku,” ucap Farez dari kesungguhannya hatinya. Minuman mereka pun datang, dan keduanya mulai menikmati suasana malam. Angin laut yang sejuk menambah kesan damai. "Kak Farez," ucap Zera pelan, memecah keheningan. "Hmm?" "Terima kasih," ucap Zera sambil menatap lurus ke mata Farez. "Terima kasih sudah memilih untuk nggak menyerah dengan hubungan kita." Farez menggenggam tangan Zera yang berada di atas meja. "Aku yang harusnya berterima kasih. Karena kamu masih mau kasih aku kesempatan kedua." Obrolan mereka terhenti sejenak ketika pelayan datang membawa makanan dua piring pasta seafood. Farez tahu Zera suka makanan laut, dan sang pria sengaja memesan menu favorit Zera. "Kamu benar-benar merencanakan ini semua ya, Kak?" ucap Zera sambil tersenyum. "Tentu saja. Aku mau hari ini jadi kenangan indah buat kita berdua," jawab Farez sambil menyendok makanannya. Setelah makan, mereka memutuskan untuk berjalan kembali ke dermaga. Laut malam yang tenang, ditemani suara ombak dan lampu-lampu kapal di kejauhan, menciptakan suasana yang sulit dilupakan. "Aku senang banget hari ini, Kak Farez," ucap Zera sambil menggenggam lengan Farez erat. "Aku juga," jawab Farez. "Dan aku berharap ini bukan yang terakhir buat kita." Zera mengangguk, lalu bersandar di bahu Farez. Keduanya berdiri di sana cukup lama, menikmati malam tanpa perlu banyak bicara. Dalam hati mereka, masing-masing merasa bahwa momen ini adalah awal dari perjalanan baru yang akan mereka jalani bersama. Malam di Pantai Ancol semakin indah dengan suara deburan ombak yang tenang. Farez dan Zera duduk bersebelahan di bangku kayu dekat dermaga, menikmati sisa-sisa suasana romantis setelah makan malam di kafe tepi pantai. Angin laut yang sejuk menyapu wajah mereka, membuat malam itu terasa sempurna. "Kamu tahu, malam ini benar-benar mengingatkanku pada masa-masa SMA kita, Kak." ujar Zera, tersenyum sambil menatap Farez. Farez mengangguk, balas menatap Zera. "Aku juga merasa begitu. Seolah-olah nggak ada yang berubah, ya? Kamu tetap jadi orang yang paling bikin aku nyaman." Zera tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke laut. "Aku harap kita bisa terus seperti ini, Kak Farez. Tanpa ada yang mengganggu kebahagiaan kita." Namun, suasana hangat itu tiba-tiba terusik oleh suara ponsel Farez yang berdering pelan. Pria tampan itu mengambil ponselnya dari sakunya, membuka layar, dan melihat pesan singkat dari ayahnya. “Jangan lupa hari Sabtu. Kamu harus hadir di pertemuan keluarga untuk bertemu dengan calon istrimu. Ini penting, Farez. Jangan buat kami malu.” Farez terdiam. Jantungnya serasa berhenti sesaat saat membaca pesan tersebut. Matanya terpaku pada layar ponselnya, pikirannya bercampur aduk antara bingung dan cemas. "Kak Farez?" suara Zera membuyarkan lamunannya. "Hmm?" Farez buru-buru mematikan layar ponselnya dan mencoba tersenyum. "Ada apa Zera?" "Kamu kenapa? Kok tiba-tiba diam?" tanya Zera sambil menatap wajah Farez dengan khawatir. Sang pria pun menarik napas dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. Dia tahu jika ini adalah momen yang tepat untuk jujur pada Zera. Namun, lidahnya terasa berat untuk memulai. "Ada sesuatu yang harus aku omongin sama kamu," ucap Farez akhirnya, suaranya sedikit bergetar. Zera mengernyit. "Apa? Kamu kelihatan serius banget." Farez lalu memandang Zera dengan tatapan penuh kesungguhan. "Aku nggak tahu gimana cara bilangnya. Tapi aku nggak mau ada rahasia di antara kita." Zera duduk tegak, menunggu penjelasan Farez. "Okay, ngomong aja, Kak Farez. Apa yang sebenarnya terjadi?" Farez mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan keberanian. "Tadi ... aku dapat pesan dari Papiku. Hari Sabtu nanti, keluargaku sudah mengatur pertemuan untuk menjodohkan aku dengan seorang wanita." Zera terdiam. Ekspresi wajahnya yang semula santai berubah menjadi serius. Dia menatap Farez, mencari kepastian. "Apa? Kamu dijodohkan? Sejak kapan, Kak?" Farez buru-buru menjelaskan. "Dengar dulu, Zera. Ini semua keputusan orang tuaku, bukan keinginan aku. Aku nggak pernah setuju, tapi kedua orang tuaku terus memaksa. Dan sekarang mereka sudah mengatur pertemuan itu." Zera menunduk, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Jadi ... apa rencanamu? Kamu bakal nurut sama mereka?" Farez menggeleng keras. "Tidak. Aku nggak akan biarkan mereka menentukan masa depanku tanpa persetujuan dari aku. Makanya aku ingin kamu ikut denganku hari Sabtu nanti." Zera mengangkat wajahnya, menatap Farez dengan mata penuh pertanyaan. "Maksud kamu, aku ikut ke pertemuan itu? Buat apa?" Farez menggenggam tangan Zera erat. "Aku mau jujur di depan kedua orang tuaku. Aku mau mereka tahu kalau aku sudah punya seseorang yang aku cinta, dan itu kamu, Zera." Zera membeku sejenak, lalu melepaskan genggaman tangan Farez dengan perlahan. "Tapi, Kak Farez ... kalau mereka nggak setuju? Bagaimana kalau kedua orang tuamu nggak menerima aku?" Farez menatap Zera dengan penuh keyakinan. "Aku nggak peduli. Aku hanya mau sama kamu. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang." Zera terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ini terlalu mendadak, Kak Farez. Aku nggak tahu apakah aku siap untuk menghadapi mereka." Farez memegang kedua tangan Zera. "Aku tahu ini sulit. Tapi aku nggak bisa melakukannya tanpa kamu. Aku butuh kamu untuk ada di sisiku." Zera menghela napas panjang, lalu menatap Farez. "Kalau begitu, kamu harus janji. Apapun yang terjadi nanti, kamu nggak akan menyerah pada kita." Farez mengangguk mantap. "Aku janji. Aku nggak akan pernah menyerah, Zera. Kamu adalah pilihan hatiku, dan aku akan berjuang untuk kita." Zera akhirnya tersenyum kecil, meski matanya masih menyiratkan keraguan. "Baiklah. Aku akan ikut denganmu hari Sabtu nanti." Farez tersenyum lega, lalu menarik Zera ke dalam pelukannya. "Terima kasih, Zera. Aku benar-benar bersyukur punya kamu di hidupku." Malam itu keduanya menghabiskan waktu lebih lama di tepi pantai, berbicara tentang rencana mereka dan bagaimana menghadapi keluarga Farez. Meski ada kekhawatiran di hati, cinta keduanya yang kuat memberi keberanian untuk melangkah bersama.Sore harinya, Farez membawa Zera ke sebuah lapangan terbuka, tempat balon udara raksasa tengah dipersiapkan untuk lepas landas.Zera membelalakkan mata. "Kak … kita mau naik ini?"Farez tertawa. "Ha-ha-ha. Iya! Kamu siap, Sayang?"Zera menggigit bibirnya, antara gugup dan bersemangat. "Ini pertama kalinya aku naik balon udara, tapi aku percaya sama kamu, Kak!"Keduanya pun naik ke dalam keranjang balon udara, dan perlahan-lahan balon mulai terangkat ke udara.Zera menggenggam tangan Farez erat. "Kak, ini indah banget! Seru!"Dari ketinggian, mereka bisa melihat hamparan hijau Ardennes yang luas, sungai yang berkelok, serta desa-desa kecil yang tersebar di antara perbukitan.Farez menarik Zera ke dalam pelukannya. "Aku ingin kita selalu mengalami momen-momen seperti ini. Bersama, menikmati dunia."Zera tersenyum bahagia. "Aku juga, Kak. Ini adalah bulan madu yang sempurna."Menjelang malam, mereka menuju pondok kayu yang telah Farez pesan sebelumnya. Tempat itu terasa hangat dan
Pagi di Dinant terasa begitu damai. Sinar matahari menembus tirai kamar hotel, membangunkan Zera yang masih nyaman dalam pelukan suaminya. Dia mengerjap pelan, menikmati hangatnya dekapan Farez yang masih terlelap. Dengan senyum lembut, Zera mengecup pipi suaminya."Kak, bangun... kita harus bersiap-siap ke Durbuy," bisiknya.Farez menghela napas panjang sebelum membuka matanya. "Hmm… masih ngantuk," gumamnya, tapi dia tetap menarik Zera ke dalam pelukannya lagi.Zera tertawa pelan. "He-he-he. Kak, kalau kita kesiangan, nanti rencana kita bisa berantakan."Farez akhirnya membuka mata, tersenyum, dan mencubit lembut hidung istrinya. "Baiklah, baiklah. Aku nggak mau istriku kecewa."Mereka pun bangun dan bersiap-siap. Setelah sarapan di hotel, Farez dan Zera naik mobil menuju Durbuy, kota kecil nan romantis yang terkenal dengan suasana pedesaan yang tenang dan keindahannya yang khas.Sesampainya di Durbuy, mereka langsung menuju Topiary Park, taman unik yang dihiasi berbagai patung tan
Setelah menikmati keindahan Ghent, Farez dan Zera melanjutkan perjalanan bulan madu mereka ke Dinant, sebuah kota kecil yang indah di pinggir Sungai Meuse. Kota ini dikelilingi oleh tebing-tebing megah, memberikan nuansa yang romantis dan damai, jauh dari hiruk-pikuk kota besar. Saat mobil mereka memasuki Dinant, Zera menatap keluar jendela dengan kagum. "Kak, lihat! Kota ini cantik banget! Aku suka suasana tenangnya," ucapnya dengan penuh semangat. Farez tersenyum, lalu menggenggam tangan istrinya. "Aku tahu kamu pasti suka. Dinant memang tempat yang sempurna buat kita bersantai setelah perjalanan kita di Ghent." Zera mengangguk. "Dan lihat itu, Sungai Meuse. Airnya jernih banget, dan tebing-tebing di sekelilingnya bikin pemandangannya makin luar biasa." Farez lalu meminta sopir untuk memarkir mobil di dekat dermaga sebelum beralih menatap Zera. " Siap untuk naik kapal di Sungai Meuse, Sayangku?" Zera tersenyum lebar. "Tentu saja, Kak! Aku sudah nggak sabar!" Keduanya pu
Setelah menghabiskan waktu di Bruges yang romantis, Farez dan Zera melanjutkan bulan madu mereka ke Ghent, sebuah kota yang menawarkan perpaduan sempurna antara sejarah, budaya, dan ketenangan. Berbeda dengan Bruges yang dipenuhi turis, Ghent memiliki suasana yang lebih santai, memungkinkan mereka menikmati momen-momen intim tanpa terlalu banyak gangguan. Setibanya di Ghent, Farez dan Zera langsung menuju kawasan Graslei, sebuah area tepi sungai yang dipenuhi bangunan bersejarah. Mereka memilih makan siang di De Graslei, restoran romantis yang menghadap langsung ke Sungai Leie. Pelayan datang membawa menu, lalu dengan ramah bertanya, "Selamat siang Tuan dan Nyonys! Apa yang bisa saya sajikan untuk Anda berdua hari ini?" Zera tersenyum sambil melihat menu, "Aku ingin mencoba waterzooi. Katanya ini sup khas Belgia yang terkenal di Ghent." Farez mengangguk "Bagus sekali pilihanmu, Sayang. Aku akan coba stoofvlees, semur daging sapi dengan saus bir Belgia." Setelah mereka memesa
Pagi yang Hangat di Vila PribadiSetelah bermalas-malasan cukup lama di atas ranjang, Farez mengusap pipi Zera dengan penuh kelembutan. Matanya yang tajam menatap istrinya yang masih terlihat mengantuk, akan tetapi senyum manis di bibir Zera menunjukkan jika dia menikmati setiap detik kebersamaan ini."Kita tidak bisa seharian di ranjang saja, Sayang," bisik Farez sambil mengecup kening Zera.Zera tertawa pelan, tangannya menggenggam erat lengan suaminya. "He-he-he. Kenapa tidak? Aku merasa nyaman di sini, bersamamu."Farez tersenyum, lalu mengusap rambut panjang Zera yang sedikit berantakan. "Bagaimana kalau kita melanjutkan pagi ini dengan sesuatu yang lebih menyegarkan?"Zera mengangkat alis. "Maksudnya?"Farez tidak menjawab dengan kata-kata. Dia hanya bangkit dari tempat tidur, lalu menarik tangan sang istri dengan lembut. Zera mengikuti langkah suaminya menuju kamar mandi, di mana sebuah bathtub besar yang sudah terisi air hangat yang mengeluarkan uap tipis. Aroma minyak esensi
Malam Penuh Cinta di Vila Pribadi,Setelah selesai berdansa penuh kemesraan.Farez dan Zera akhirnya duduk di pinggir ranjang, yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu kamar dan sinar bulan yang masuk melalui jendela besar. Malam ini di vila tersebut terasa tenang, hanya ada suara angin yang berbisik lirih di luar dan dentingan lembut dari musik klasik yang masih mengalun di sudut kamar.Zera mengenakan gaun tidur sutra berwarna putih, begitu anggun dan cantik, dan di mata Farez, dia tampak begitu memesona. Rambut panjangnya tergerai lembut, dan matanya yang berbinar menatap suaminya dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Farez menggenggam jemari Zera, lalu mengelusnya perlahan. “Kamu tahu, Zera, Sayangku. Sejak aku meminangmu, aku selalu membayangkan saat-saat seperti ini. Di mana kita hanya berdua, tanpa gangguan, tanpa siapa pun, hanya kamu dan aku.”Zera tersenyum, merasakan kehangatan menjalar di hatinya. “Aku juga, Kak Farez. Aku selalu bertanya-tanya s
Setelah meninggalkan ballroom hotel di Bruges, Farez dan Zera akhirnya tiba di vila pribadi mereka di Belgia. Vila ini terletak di tengah perbukitan hijau yang indah, jauh dari hiruk-pikuk kota. Langit malam yang jernih dipenuhi bintang, sementara udara sejuk khas Eropa melingkupi lingkungan sekitar.Bangunan vila bergaya klasik Eropa dengan dinding batu ekspos dan jendela besar yang memberikan pemandangan langsung ke danau kecil di dekatnya. Lampu-lampu taman menyala lembut, menciptakan suasana romantis yang sempurna bagi pasangan pengantin baru ini.Ketika mobil berhenti di depan vila, seorang pelayan telah menunggu untuk menyambut mereka.“Selamat datang, Tuan dan Nyonya. Kami sudah menyiapkan semua kebutuhan Anda,” ucap pelayan itu dengan senyum ramah, membukakan pintu mobil untuk Zera.Farez turun lebih dulu, lalu mengulurkan tangannya untuk membantu sang istri keluar. “Terima kasih,” ucapnya sopan sebelum menggenggam tangan Zera erat.Begitu masuk ke dalam vila, Zera langsung t
Ballroom hotel mewah di pusat kota Bruges, Belgia, masih dipenuhi cahaya keemasan dari lampu kristal yang menggantung di langit-langitnya. Aroma bunga segar yang menghiasi setiap sudut ruangan bercampur dengan wangi lilin aroma terapi yang lembut. Lantunan musik klasik yang dimainkan oleh orkestra di sudut ruangan menggema dengan indah, memberikan suasana romantis yang sempurna bagi pasangan pengantin baru, Farez dan Zera.Di tengah ballroom, di atas lantai dansa yang mengkilap, Farez dan Zera tampak seperti raja dan ratu sehari. Mereka berdua berdansa dengan anggun, mengikuti irama musik waltz yang dimainkan oleh orkestra. Zera, dalam gaun pengantin putih yang elegan dengan taburan kristal, tampak berkilauan di bawah lampu. Rambutnya yang tertata rapi dengan tiara mungil membuatnya terlihat seperti putri dari negeri dongeng. Farez, dengan setelan jas hitam klasik dan dasi kupu-kupu, tampak gagah dan penuh percaya diri saat memimpin dansa mereka.Para tamu undangan yang hadir terpana
Setelah makanan utama selesai, hidangan penutup berupa mousse coklat Belgia dan crème brûlée disajikan.Papi Cornelius mengangkat gelas anggurnya. “Baiklah, sebelum kita akhiri malam ini, aku ingin memberikan pesan untuk kalian berdua. Farez, jaga putriku dengan baik. Dia adalah permata yang paling berharga dalam hidup kami.”Farez mengangguk mantap. “Aku berjanji, Papi.”Mami Debira menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. “Zera, Mami sangat bangga padamu. Kamu telah menemukan seseorang yang bisa membuatmu bahagia. Jalani kehidupan pernikahanmu dengan penuh cinta dan kesabaran.”Zera menggenggam tangan ibunya. “Terima kasih, Mami. Aku tidak akan mengecewakan kalian.”Papi Deron menepuk bahu putranya. “Farez, pernikahan bukan hanya tentang cinta, tapi juga tanggung jawab. Aku yakin kamu bisa menjadi suami yang baik.”Mami Ester menambahkan, “Kami semua mendoakan agar kalian selalu bahagia.”Farez dan Zera saling berpandangan penuh cinta. Mereka tahu, malam ini adalah salah satu m