Beranda / Romansa / TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!! / Bab 4 - Memulai Dengan Warna

Share

Bab 4 - Memulai Dengan Warna

Penulis: Justmty
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-25 22:05:33

Pagi itu Siska bangun dengan perasaan agak lebih ringan. Mungkin karena semalam sempat ketawa bareng Bara gara-gara listrik mati. Entahlah. Tapi yang jelas, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mendadak ini, dia bangun tanpa merasa ingin lempar bantal ke wajah suaminya.

Sayangnya, ketenangan itu nggak bertahan lama.

Karena Bara masih tidur ngorok dengan pose mirip bintang laut di ranjang.

“Bara…” Siska menepuk lengannya.

Nggak ada respons.

“Bara!” Kali ini lebih keras.

“Hmm… apaan, Sayang…” jawab Bara setengah sadar, sambil meraih guling dan memeluknya erat-erat.

Siska mendengus. “Bangun. Aku harus ke kantor.”

Dengan mata setengah merem, Bara nyengir. “Ya udah. Hati-hati, jangan jatuh cinta sama bos gantengmu.”

Siska terdiam sepersekian detik, lalu buru-buru mengambil tas. “Mimpi aja lo.” Tapi wajahnya sedikit panas entah kenapa.

Di kantor, suasana jauh berbeda. Rapat besar sedang berlangsung. Siska berdiri di depan proyektor, mempresentasikan desain gedung baru. Semua mata tertuju padanya.

Awalnya lancar. Sampai tiba-tiba, aroma gosong samar menyeruak dari blazer yang ia pakai.

Siska panik dalam hati. Ya ampun… jangan bilang ini masih nempel dari sarapan gosong kemarin!

Rekan kerjanya, Tania, yang duduk paling depan, mengangkat alis sambil senyum jahil. “Sis, kamu habis jadi chef ya? Kok aromanya… unik.”

Beberapa orang cekikikan. Siska menelan ludah, mencoba tetap profesional. “Itu… ehm… parfum edisi terbatas.”

Seisi ruangan makin ketawa.

Siska buru-buru lanjut presentasi, wajahnya merah padam. Tapi anehnya, di balik rasa malu itu, ia teringat ekspresi Bara saat dengan percaya diri bilang, “Sarapan penuh cinta.” Tiba-tiba sudut bibirnya naik sedikit, meski ia pura-pura batuk menutupinya.

Sementara itu, Bara menjalani harinya dengan cara yang sama sekali berbeda. Ia berada di sebuah kafe kecil di sudut kota, sedang melukis mural pesanan pemilik kafe. Tangannya penuh cat, bajunya sudah belepotan dari tadi, tapi wajahnya serius.

Seorang anak kecil yang ikut ibunya ke kafe memperhatikan dari dekat. “Om, kok gambarnya kayak coretan besar ya?”

Bara menoleh, lalu tersenyum lebar. “Coretan besar ini nanti jadi hutan. Kayak sihir, tahu nggak? Dari berantakan bisa jadi indah.”

Anak kecil itu mengangguk takjub. Pemilik kafe yang melihat ikut tersenyum, senang melihat cara Bara menghadapi orang.

Bara memang berantakan. Tapi saat bekerja dengan cat, ada aura yang berbeda.

Sepulang kantor, Siska tanpa sengaja lewat kafe itu. Ia melihat dari jendela, Bara sedang jongkok di depan tembok, mencoret dengan penuh konsentrasi, wajahnya penuh noda cat.

Siska refleks berhenti. Ada sesuatu yang asing sekaligus menarik.

Bara yang di rumah terlihat seperti pengangguran santai, tapi di sini… dia terlihat hidup.

Tiba-tiba Bara menoleh, melihat Siska. Senyum lebarnya langsung muncul. “Eh, istriku datang! Guys, ini istri saya!” katanya keras-keras.

Siska hampir kabur saking malunya. “Bara!” desisnya. “Jangan teriak-teriak gitu!”

Tapi semua orang di kafe udah menoleh sambil senyum. Ada yang nyeletuk, “Romantis banget suaminya bangga sama istri.”

Siska ingin menenggelamkan diri ke lantai saat itu juga.

Malamnya, di jalan pulang, Siska masih manyun. “Kenapa sih harus ngumumin kayak gitu?”

Bara ngangkat bahu. “Biar semua orang tau kamu punyaku.”

Siska mendengus. “Dasar alay.”

Tapi saat melirik Bara yang jalannya santai, ada noda cat biru di pipinya, Siska tanpa sadar mengeluarkan tisu dari tas. “Eh, sini. Kotor.”

Bara kaget sebentar, lalu tersenyum tipis. “Nah, gini baru istri idaman.”

Siska langsung melempar tisunya ke wajahnya. “Jangan ge-er!” Tapi wajahnya ikut memanas.

Malam itu, sebelum tidur, Siska menatap langit-langit kamar. Hidupnya memang berantakan sejak menikah kontrak dengan Bara. Tapi… entah kenapa, di balik semua kekacauan, ada rasa hangat yang mulai menyelinap diam-diam.

Dan itu justru bikin Siska semakin bingung.

Malam itu rumah sudah tenang. Siska duduk di meja makan, merapikan gambar kerja untuk presentasi. Bara di ruang tamu, berusaha memperbaiki rak buku yang kakinya oleng sejak kemarin.

“Bara, hati-hati, itu jangan dipaku sembarangan. Nanti malah tambah rusak,” ujar Siska tanpa menoleh.

“Aku ini seniman sekaligus tukang serabutan, Sis. Percayalah, aku punya cara.”

Seketika terdengar suara KRAK! diikuti BRUK!—raknya roboh, buku-buku berjatuhan ke lantai.

Siska menoleh dengan wajah datar. “Cara kamu sukses banget. Raknya sekarang jadi dekorasi horizontal.”

Bara garuk kepala, salah tingkah. “Eee… ya kan seni instalasi, konsepnya rebahan abadi.”

Siska tak bisa menahan senyum. “Aduh, aku nggak ngerti gimana hidupku bisa ketiban orang kayak kamu.”

Setelah membereskan buku, mereka akhirnya duduk bersebelahan di sofa. Bara, yang tangannya belepotan debu, tanpa sengaja meninggalkan bekas di lengan baju Siska.

“Bara! Lihat nih bajuku kotor.”

Bara panik sebentar, lalu mencoba menghapus dengan tangannya sendiri—yang tentu saja makin nambah noda.

Siska mendesah. “Ya Tuhan… tambah parah.”

Bara malah tertawa. “Ya udah sekalian aja, aku tandatangani. Biar bajumu jadi limited edition.”

Meski kesal, Siska mendapati dirinya ikut tertawa. Ada sesuatu dari kecerobohan Bara yang entah kenapa sulit membuatnya benar-benar marah.

Siska akhirnya kembali ke laptop. Bara duduk diam sebentar, lalu berkata pelan, “Kamu nggak capek kerja terus? Aku bisa bikinin teh, kalau mau.”

Siska menoleh, sedikit terkejut. “Kamu serius bisa bikin teh tanpa bikin dapur kebakaran?”

“Teh doang, Sis. Aku bisa lah.”

Beberapa menit kemudian, Bara kembali membawa dua gelas teh. Rasanya? Agak kebanyakan gula, tapi hangat.

Siska tersenyum kecil. “Lumayan. Nggak ada insiden, nggak ada ledakan. Kemajuan.”

Bara mengangkat gelasnya, seolah bersulang. “Untuk malam pertama tanpa bencana besar.”

Siska terkekeh, lalu mengangkat gelasnya juga.

Malam itu, meski penuh kekacauan kecil, rumah mereka terasa… agak lebih hidup.

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 6 - Persiapan dan Kekacauan Pameran

    Pagi itu, Siska sedang menyesap kopi di dapur kontrakan kecil mereka. Cahaya matahari menembus tirai tipis, menerangi meja kecil yang penuh dokumen. Dia mencoba menenangkan diri sambil menyusun agenda hari ini.Tiba-tiba, Bara masuk dengan ransel besar penuh kanvas, rambut acak-acakan, mata berbinar penuh semangat.“Sis… aku dapat ide super keren! Kita harus bikin pameran minggu ini!” serunya sambil menatap Siska.Siska menahan napas. “Bara… serius? Kamu baru bangun, belum sarapan, dan sekarang mau bikin pameran? Rumah kontrakan ini saja sempit, apalagi siapa yang bakal ngerjain semua persiapan?”“Tenang, Sis. Aku bisa handle semuanya! Hanya perlu beberapa hari, dan aku janji bakal menyenangkan,” jawab Bara sambil tersenyum lebar.Siska mendesah panjang. “Handle semuanya? Rumah ini saja sudah penuh kekacauan karena idemu minggu lalu.”Bara mengangkat bahu. “Makanya kita pergi ke galeri yang aku sewa. Lebih luas, aman, dan bisa dipakai tiga hari penuh. Kita bisa mulai sekarang kalau ma

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 5 - Pertengkaran Sepele, Senyum Diam Diam

    Sabtu pagi biasanya jadi hari emas bagi Siska: bangun jam tujuh, bikin kopi hitam, beberes rumah, lalu lanjut belanja bahan makanan mingguan. Semua harus tertata rapi, seperti checklist proyek yang disusun dengan timeline ketat.Tapi pagi itu, begitu membuka pintu kamar, Siska tertegun. Ruang tamu sudah berubah jadi studio seni dadakan. Ada kanvas besar di tengah, cat berwarna biru, merah, kuning tercecer di lantai, kuas-kuas berbaring sembarangan seperti habis perang. Dan di tengah kekacauan itu, berdirilah Bara Aditya Pratama—kaus putihnya penuh bercak warna, rambut awut-awutan, wajahnya ada noda biru di pipi kanan.“Bara…” suara Siska langsung naik satu oktaf. “Ini kenapa ruang tamu jadi TK seni rupa?”Bara menoleh santai, tersenyum lebar. “Selamat pagi, Ibu Arsitek! Aku lagi dapat inspirasi, harus langsung dituangkan. Kalau ditunda, bisa hilang.”Siska memijit pelipis. “Inspirasi atau penyakit chaos? Ini lantai keramik, Bar, bukan kanvas tambahan.”“Tenang, gampang dibersihin. Lan

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 4 - Memulai Dengan Warna

    Pagi itu Siska bangun dengan perasaan agak lebih ringan. Mungkin karena semalam sempat ketawa bareng Bara gara-gara listrik mati. Entahlah. Tapi yang jelas, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mendadak ini, dia bangun tanpa merasa ingin lempar bantal ke wajah suaminya. Sayangnya, ketenangan itu nggak bertahan lama. Karena Bara masih tidur ngorok dengan pose mirip bintang laut di ranjang. “Bara…” Siska menepuk lengannya. Nggak ada respons. “Bara!” Kali ini lebih keras. “Hmm… apaan, Sayang…” jawab Bara setengah sadar, sambil meraih guling dan memeluknya erat-erat. Siska mendengus. “Bangun. Aku harus ke kantor.” Dengan mata setengah merem, Bara nyengir. “Ya udah. Hati-hati, jangan jatuh cinta sama bos gantengmu.” Siska terdiam sepersekian detik, lalu buru-buru mengambil tas. “Mimpi aja lo.” Tapi wajahnya sedikit panas entah kenapa. Di kantor, suasana jauh berbeda. Rapat besar sedang berlangsung. Siska berdiri di depan proyektor, mempresentasikan desain gedung baru. Semua mat

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 3 - Gosongnya Cinta, Warna Warni Rahasia

    Jam tujuh lewat lima belas. Itu artinya Siska sudah terlambat lima belas menit dari jadwal idealnya sendiri. Untuk ukuran arsitek perfeksionis, ini bencana level merah.Ia terlonjak bangun, buru-buru cuci muka, dan langsung panik ketika mencium bau… gosong.“Bar—A—!” teriak Siska sambil lari ke dapur.Dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah:Bara, dengan celemek bergambar kartun ayam, sedang panik mengipas-ngipas asap hitam dari wajan.“Tenang! Ini masih bisa diselamatkan! Tingkat kematangan ekstra crispy!” katanya sambil berusaha membalik sesuatu yang bentuknya lebih mirip arang daripada telur.“Ya ampun, Bara! Itu telur, bukan batu bara!” Siska nyaris teriak sambil menutup hidung.Bara nyengir tanpa dosa. “Namanya juga sarapan cinta. Aku masak biar kamu nggak telat.”“Kalau sarapannya bikin aku keracunan, gimana?”“Ya kan aku bisa antar kamu ke IGD. Romantis, kan?”Siska menepuk kening. Mau marah tapi percuma. Mau ketawa juga gengsi.Akhirnya ia cuma duduk sambil menghela napas

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 2 - Antara Rapat Serius dan Cat Tumpah

    Pagi hari di rumah kontrak baru, Siska sudah berdandan rapi. Blazer abu-abu, rambut disanggul sederhana, wajah serius. Perfeksionis, seperti biasa. Ia baru saja menyambar tas kerja ketika Bara muncul dari dapur—masih pakai celana training, kaus oblong belel, dan rambut yang jelas belum disentuh sisir. “Eh, pagi, Bu Arsitek Perfeksionis!” sapa Bara riang. “Pagi, seniman gagal,” balas Siska ketus. Bara nggak tersinggung sama sekali. Malah nyodorin bekal kotak makan warna pink bergambar unicorn. “Nih, aku buatin bekal. Nasi goreng seadanya, tapi penuh cinta.” Siska melirik curiga. “Ini aman dimakan? Atau ada minyak kayu putih lagi?” Bara ngakak. “Tenang, kali ini aku belajar dari video masak lima menit. Dijamin edible.” Siska akhirnya menerima bekal itu. Dalam hati, ia sedikit terharu—walau mulutnya tetap ketus. “Kalau aku keracunan di kantor, aku bakal hantui kamu.” “Yaudah, biar aku jadi penjaga makan siangmu di alam baka,” jawab Bara sambil cengar-cengir. Di ka

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 1 - TANPA BA BI BU NIKAH YU !!!

    Buat Siska, hidup itu seperti rancangan arsitektur. Semuanya harus presisi, rapi, dan sesuai aturan. Bangun pagi → kopi hitam tanpa gula → kerja → pulang → tidur. Tidak ada ruang untuk kejutan. Sayangnya, hidup hari itu menamparnya dengan penggaris baja. Siska baru pulang kantor, wajahnya lelah, rambut dicepol ketat, kemeja putihnya penuh lipatan lembur. Pikirannya cuma satu: mandi air panas, teh hangat, lalu tidur. Tapi begitu membuka pintu rumah, ia malah mendapati ruang tamu penuh manusia. Bukan sembarang manusia, tapi keluarga besarnya sendiri. Ada tante Rina yang hobi gosip, om Asep yang sok tahu, sepupu-sepupu yang heboh selfie, dan tentu saja ibunya—duduk di kursi utama dengan wajah penuh strategi licik. “Surprise!” teriak mereka. Siska langsung refleks mundur setengah langkah. “Surprise… apa? Aku ulang tahun bukan, kan?” Ibunya tersenyum. Senyum yang terlalu manis untuk ukuran manusia normal. “Nak, hari ini kamu resmi menikah.” Siska hampir keselek ludah sendiri. “…A

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status