LOGINPagi itu Siska bangun dengan perasaan agak lebih ringan. Mungkin karena semalam sempat ketawa bareng Bara gara-gara listrik mati. Entahlah. Tapi yang jelas, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mendadak ini, dia bangun tanpa merasa ingin lempar bantal ke wajah suaminya.
Sayangnya, ketenangan itu nggak bertahan lama. Karena Bara masih tidur ngorok dengan pose mirip bintang laut di ranjang. “Bara…” Siska menepuk lengannya. Nggak ada respons. “Bara!” Kali ini lebih keras. “Hmm… apaan, Sayang…” jawab Bara setengah sadar, sambil meraih guling dan memeluknya erat-erat. Siska mendengus. “Bangun. Aku harus ke kantor.” Dengan mata setengah merem, Bara nyengir. “Ya udah. Hati-hati, jangan jatuh cinta sama bos gantengmu.” Siska terdiam sepersekian detik, lalu buru-buru mengambil tas. “Mimpi aja lo.” Tapi wajahnya sedikit panas entah kenapa. Di kantor, suasana jauh berbeda. Rapat besar sedang berlangsung. Siska berdiri di depan proyektor, mempresentasikan desain gedung baru. Semua mata tertuju padanya. Awalnya lancar. Sampai tiba-tiba, aroma gosong samar menyeruak dari blazer yang ia pakai. Siska panik dalam hati. Ya ampun… jangan bilang ini masih nempel dari sarapan gosong kemarin! Rekan kerjanya, Tania, yang duduk paling depan, mengangkat alis sambil senyum jahil. “Sis, kamu habis jadi chef ya? Kok aromanya… unik.” Beberapa orang cekikikan. Siska menelan ludah, mencoba tetap profesional. “Itu… ehm… parfum edisi terbatas.” Seisi ruangan makin ketawa. Siska buru-buru lanjut presentasi, wajahnya merah padam. Tapi anehnya, di balik rasa malu itu, ia teringat ekspresi Bara saat dengan percaya diri bilang, “Sarapan penuh cinta.” Tiba-tiba sudut bibirnya naik sedikit, meski ia pura-pura batuk menutupinya. Sementara itu, Bara menjalani harinya dengan cara yang sama sekali berbeda. Ia berada di sebuah kafe kecil di sudut kota, sedang melukis mural pesanan pemilik kafe. Tangannya penuh cat, bajunya sudah belepotan dari tadi, tapi wajahnya serius. Seorang anak kecil yang ikut ibunya ke kafe memperhatikan dari dekat. “Om, kok gambarnya kayak coretan besar ya?” Bara menoleh, lalu tersenyum lebar. “Coretan besar ini nanti jadi hutan. Kayak sihir, tahu nggak? Dari berantakan bisa jadi indah.” Anak kecil itu mengangguk takjub. Pemilik kafe yang melihat ikut tersenyum, senang melihat cara Bara menghadapi orang. Bara memang berantakan. Tapi saat bekerja dengan cat, ada aura yang berbeda. Sepulang kantor, Siska tanpa sengaja lewat kafe itu. Ia melihat dari jendela, Bara sedang jongkok di depan tembok, mencoret dengan penuh konsentrasi, wajahnya penuh noda cat. Siska refleks berhenti. Ada sesuatu yang asing sekaligus menarik. Bara yang di rumah terlihat seperti pengangguran santai, tapi di sini… dia terlihat hidup. Tiba-tiba Bara menoleh, melihat Siska. Senyum lebarnya langsung muncul. “Eh, istriku datang! Guys, ini istri saya!” katanya keras-keras. Siska hampir kabur saking malunya. “Bara!” desisnya. “Jangan teriak-teriak gitu!” Tapi semua orang di kafe udah menoleh sambil senyum. Ada yang nyeletuk, “Romantis banget suaminya bangga sama istri.” Siska ingin menenggelamkan diri ke lantai saat itu juga. Malamnya, di jalan pulang, Siska masih manyun. “Kenapa sih harus ngumumin kayak gitu?” Bara ngangkat bahu. “Biar semua orang tau kamu punyaku.” Siska mendengus. “Dasar alay.” Tapi saat melirik Bara yang jalannya santai, ada noda cat biru di pipinya, Siska tanpa sadar mengeluarkan tisu dari tas. “Eh, sini. Kotor.” Bara kaget sebentar, lalu tersenyum tipis. “Nah, gini baru istri idaman.” Siska langsung melempar tisunya ke wajahnya. “Jangan ge-er!” Tapi wajahnya ikut memanas. Malam itu, sebelum tidur, Siska menatap langit-langit kamar. Hidupnya memang berantakan sejak menikah kontrak dengan Bara. Tapi… entah kenapa, di balik semua kekacauan, ada rasa hangat yang mulai menyelinap diam-diam. Dan itu justru bikin Siska semakin bingung. Malam itu rumah sudah tenang. Siska duduk di meja makan, merapikan gambar kerja untuk presentasi. Bara di ruang tamu, berusaha memperbaiki rak buku yang kakinya oleng sejak kemarin. “Bara, hati-hati, itu jangan dipaku sembarangan. Nanti malah tambah rusak,” ujar Siska tanpa menoleh. “Aku ini seniman sekaligus tukang serabutan, Sis. Percayalah, aku punya cara.” Seketika terdengar suara KRAK! diikuti BRUK!—raknya roboh, buku-buku berjatuhan ke lantai. Siska menoleh dengan wajah datar. “Cara kamu sukses banget. Raknya sekarang jadi dekorasi horizontal.” Bara garuk kepala, salah tingkah. “Eee… ya kan seni instalasi, konsepnya rebahan abadi.” Siska tak bisa menahan senyum. “Aduh, aku nggak ngerti gimana hidupku bisa ketiban orang kayak kamu.” Setelah membereskan buku, mereka akhirnya duduk bersebelahan di sofa. Bara, yang tangannya belepotan debu, tanpa sengaja meninggalkan bekas di lengan baju Siska. “Bara! Lihat nih bajuku kotor.” Bara panik sebentar, lalu mencoba menghapus dengan tangannya sendiri—yang tentu saja makin nambah noda. Siska mendesah. “Ya Tuhan… tambah parah.” Bara malah tertawa. “Ya udah sekalian aja, aku tandatangani. Biar bajumu jadi limited edition.” Meski kesal, Siska mendapati dirinya ikut tertawa. Ada sesuatu dari kecerobohan Bara yang entah kenapa sulit membuatnya benar-benar marah. Siska akhirnya kembali ke laptop. Bara duduk diam sebentar, lalu berkata pelan, “Kamu nggak capek kerja terus? Aku bisa bikinin teh, kalau mau.” Siska menoleh, sedikit terkejut. “Kamu serius bisa bikin teh tanpa bikin dapur kebakaran?” “Teh doang, Sis. Aku bisa lah.” Beberapa menit kemudian, Bara kembali membawa dua gelas teh. Rasanya? Agak kebanyakan gula, tapi hangat. Siska tersenyum kecil. “Lumayan. Nggak ada insiden, nggak ada ledakan. Kemajuan.” Bara mengangkat gelasnya, seolah bersulang. “Untuk malam pertama tanpa bencana besar.” Siska terkekeh, lalu mengangkat gelasnya juga. Malam itu, meski penuh kekacauan kecil, rumah mereka terasa… agak lebih hidup. ---Hari-hari di Jakarta kembali berjalan seperti dulu — atau setidaknya, begitulah yang Siska coba yakini.Ia bangun pagi, membuat kopi tanpa gula, menyalakan laptop, lalu menatap layar dengan mata setengah kosong. Rutinitasnya masih sama, tapi entah kenapa, semuanya terasa lebih hampa.Seolah ada sesuatu yang tertinggal di Bandung.Sesuatu bernama Bara.Pagi itu di kantor, suasananya lebih ramai dari biasanya. Proyek baru diluncurkan, dan tim desain tempat Siska bekerja harus menyiapkan materi promosi secepat mungkin. Lula, rekan sekantornya, melambai dari kubikel sebelah.“Eh, Sis! Kamu kayaknya glowing deh belakangan ini. Bandung effect, ya?”Siska tersenyum kecil. “Glowing capek mungkin. Di sana dingin, tapi kerjaan tetap kejar-kejaran deadline.”Lula menatapnya curiga. “Atau glowing karena seseorang?”“Apaan sih?” Siska meneguk kopi, pura-pura fokus pada layar.Lula hanya tertawa kecil, tapi tidak memaksa. Ia tahu Siska bukan tipe yang mudah cerita — terutama kalau soal hati.Namun
Pagi di Bandung selalu punya cara membuat orang ingin diam. Embun di jendela, aroma kopi, dan suara langkah kecil di dapur. Bara bangun lebih awal dari biasanya — bukan karena alarm, tapi karena bunyi panci dari arah dapur.Ia keluar dari kamar dan menemukan Siska sedang berdiri di sana. Rambutnya berantakan, kaosnya kebesaran, dan ia sedang menatap panci air mendidih dengan ekspresi bingung.“Airnya udah mendidih, tapi aku lupa mau bikin apa,” katanya tanpa menoleh.Bara tertawa kecil. “Klasik. Mau aku bantu?”Siska mengangguk, lalu menyerahkan sendok padanya. “Terserah deh. Asal jangan bikin kopi gosong lagi.”“Aku tersinggung, tau,” jawab Bara pura-pura serius.Tapi dalam diam, hatinya hangat — seperti pagi itu menertawakan keanehan mereka berdua.Mereka sarapan mi rebus dan roti seadanya. Tidak banyak bicara, tapi nyaman. Kadang Siska tertawa kecil melihat ekspresi Bara yang terlalu serius menyiapkan telur, kadang Bara hanya memperhatikan caranya memutar sendok di cangkir — kebias
Pagi Bandung terasa berbeda sejak Bara menetap di sana. Tidak ada lagi suara sendok beradu dengan gelas yang biasa mengiringi pagi-pagi mereka di kontrakan Jakarta. Tidak ada juga keluhan Siska tentang roti gosong atau tumpukan cucian.Yang ada cuma suara kendaraan lewat dari jalan kecil depan rumah, bercampur dengan angin dingin dan aroma kopi instan yang Bara seduh asal-asalan.Ia duduk di meja kayu kecil yang sekarang jadi ruang kerjanya. Laptop terbuka, tapi pikirannya tidak di layar. Lukisan setengah jadi di dinding menatapnya balik — seperti menunggu sesuatu yang tak pernah selesai.Sejak seminggu terakhir, komunikasi dengan Siska mulai terasa... berbeda. Masih ada chat, masih ada telepon singkat, tapi tidak lagi sepanjang dulu. Kadang Siska sibuk rapat, kadang Bara pura-pura sibuk juga. Padahal, diam di antara mereka justru lebih berisik daripada percakapan apa pun.> Siska: “Hari ini hujan lagi di Jakarta.”Bara: “Sama di sini. Bandung juga lagi abu-abu.”Siska: “Cocok sama mo
Sudah hampir dua bulan sejak Bara berangkat ke Bandung.Awalnya, Siska pikir ia akan terbiasa. Tapi ternyata tidak.Rumah itu makin lama makin terasa seperti ruang tunggu: dingin, rapi, tapi kosong.Setiap pagi, ia masih membuat dua gelas kopi — kebiasaan bodoh yang sulit ia hentikan.Satu untuknya, satu lagi tetap di meja. Dibiarkan dingin, lalu dibuang menjelang siang.Suatu pagi, Lula mengetuk pintu apartemennya tanpa aba-aba, membawa dua cup kopi dan ekspresi penasaran.“Gila, Sis. Kamu udah kayak zombie. Mata panda-nya parah banget,” katanya sambil masuk seenaknya.Siska mendengus. “Salah sendiri datang pagi-pagi.”“Pagi apanya, ini udah jam sembilan. Kamu belum ke kantor?”“Kerja remote, deadline minggu depan.”Lula duduk di sofa, menatap sekeliling. “Sejak Bara ke Bandung, rumah kamu kayak museum. Sepi banget.”“Emang dia ribut banget ya dulu?”“Enggak juga. Tapi tanpa dia, kayak ada suara yang hilang.”Siska menatap temannya lama. “Lu ngomongnya kayak orang yang ngalamin langs
Sudah hampir tiga minggu Bara di Bandung.Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah — meski cuma kontrak — rumah terasa benar-benar sunyi buat Siska.Biasanya, pagi-pagi sudah terdengar suara Bara di dapur, bernyanyi sumbang sambil menumis telur. Sekarang yang terdengar hanya suara air dari keran dan notifikasi email yang terus berdenting.Siska menatap kursi makan di seberang. Masih kosong. Cangkir kopi pun tetap bersih karena tak ada yang meminumnya selain dia.Ia mendesah pelan, lalu membuka ponsel.Ada satu pesan dari Bara semalam.> “Hari ini aku ke luar kota sebentar, bantu set pameran. Jangan lupa makan ya.”Pesan itu dikirim pukul 23.17.Siska baru membacanya sekarang — pukul 07.42.“Telat banget aku balas,” gumamnya kecil sambil mengetik balasan cepat:> “Jangan kecapekan. Hati-hati di jalan.”Jari-jarinya sempat ragu sebelum menekan send.Aneh. Dulu mereka ngobrol tanpa mikir. Sekarang, setiap kata terasa harus dipertimbangkan.Siang harinya di kantor, Siska berusaha fo
Bandung, Sabtu pagi.Udara masih sejuk, tapi perut Bara terasa nggak tenang. Ia sudah bangun sejak subuh, muter-muter di apartemen kayak setrika rusak. Kaos putihnya sudah diganti tiga kali—bukan karena kotor, tapi karena tangannya nggak bisa diam.Di galeri, semua sudah siap. Lampu-lampu dipasang, lukisan digantung, lantai dibersihkan sampai kinclong. Semua karya yang ia buat selama dua bulan terakhir berjajar rapi: potret, sketsa, mural mini. Tapi satu dinding kosong di sisi kanan ruangan masih tanpa bingkai.Di situ seharusnya lukisan terakhirnya dipasang — yang berjudul “Ruang Tengah”.Masih terbungkus kain. Bara belum siap membukanya.Satu-satunya orang yang tahu isi lukisan itu cuma dia. Dan Siska… seharusnya.Ia menatap jam di pergelangan tangan. 10.17.Pembukaan dimulai jam sebelas.“Mas Bara, tamu undangan mulai datang, ya,” kata Rafi, panitia sekaligus teman lamanya, sambil menghampiri. “Lo tenang aja, semua beres. Bahkan media lokal juga udah standby.”Bara mengangguk. “Tha







