MasukPagi itu, Siska sedang duduk di meja makan, menyesap kopi hitam sambil menatap layar laptop. Matanya setengah lelah, tapi ia mencoba fokus pada gambar denah yang harus segera ia revisi. Suasana rumah kontrakan sedang tenang—setidaknya sampai suara gaduh di luar terdengar.
Brakkk! Duk duk duk! Siska mendongak. “Astaga, apaan lagi tuh…” gumamnya. Pintu depan terbuka keras, dan Bara muncul dengan keringat bercucuran. Di bahunya tersampir ransel besar, dan bersama dua orang tukang angkut ia menyeret sebuah… benda. Benda besar. Kayu. Dengan ukiran. “Surpriseee!” Bara setengah berteriak sambil menunjuk lemari kayu kuno yang nyaris memenuhi pintu. “Sis, lihat apa yang aku bawa!” Siska menutup laptop dengan cepat. “Bara… jangan bilang—jangan bilang kamu beli itu!” “Beli? Mana mungkin. Aku menyelamatkan ini dari pasar loak. Lemari antik, Sis! Dari jati asli! Bayangin sejarahnya!” Bara menepuk-nepuk sisi lemari seolah sedang memperkenalkan sahabat lama. Siska berdiri, menatap lemari itu dengan ngeri. “Bar, kita tinggal di rumah kontrakan dua kamar. DUA. KAMAR. Dan kamu bawa… benda segede gaban ini?” “Lemari,” koreksi Bara, sambil tersenyum bangga. “Bukan benda. L-e-m-a-r-i. Punya aura.” Siska menutup wajah dengan tangan. “Aura pusing!” Sore itu, lemari sudah berdiri dengan gagah di ruang tengah, tepat di samping sofa mungil mereka. Siska menatapnya dengan mata tajam, sementara Bara duduk di kursi seperti juri lomba seni. “Bar, ruangan kita sekarang jadi kayak gudang.” “Enggak dong. Jadi kayak galeri.” Bara menunjuk ukiran bunga di pintu lemari. “Lihat detailnya. Ini bukan lemari biasa, Sis. Ini… karya seni.” Siska mendengus. “Karya seni yang bikin aku nggak bisa jalan ke dapur.” “Ah, itu karena kamu jalan zigzag. Kalau jalan lurus, muat kok.” Bara mencoba berdiri dan berjalan lurus di sela lemari dan meja makan. Bokongnya hampir nyangkut. “Tuh, lancar kan?” Siska memutar bola mata. “Bara, sumpah, suatu hari aku bakal tidur di dalam lemari itu biar kamu sadar betapa sesaknya rumah ini.” Bara terkekeh. “Kalau kamu tidur di situ, aku janji bakal jaga pintunya biar nggak berderit.” “Berderit?” Siska mengernyit. “Emang kenapa pintunya?” Bara tersenyum misterius. “Nanti kamu denger sendiri…” Benar saja. Malam itu, ketika rumah hening dan Siska hampir terlelap, suara kreeeekkk membuatnya tersentak. Matanya terbuka lebar. Pintu lemari itu pelan-pelan terbuka sendiri. “Ya Tuhan…” Siska langsung menarik selimut sampai ke kepala. “Baraaaa!” Bara menggeliat malas di sampingnya. “Hmm? Apaan lagi, Sis?” “Lemari itu! PINTUNYA KEBUKA SENDIRI!” Bara setengah membuka mata, lalu tersenyum samar. “Itu tandanya dia sayang sama kita.” “Bara!” “Aku besok benerin, Sis. Jangan panik. Tidur aja…” Tapi Siska tidak tidur nyenyak malam itu. Setiap pintu berderit, jantungnya ikut meloncat. Keesokan paginya, Siska keluar rumah dengan wajah pucat. Ia berniat membeli roti ke warung depan, tapi terhenti ketika melihat dua anak kecil duduk di trotoar sambil menunjuk rumah kontrakan mereka. “Itu tuh, rumah yang ada lemari hantunya,” bisik salah satu anak. Siska berhenti, kaget. “Apa?” Anak-anak itu menoleh, lalu kabur sambil tertawa. Siska berdiri kaku. “Lemari… hantu?!” Di saat yang sama, Bu Ratna, tetangga sebelah, lewat sambil membawa belanjaan. “Pagi, Siska. Wah, katanya kalian bawa lemari antik ya? Heboh loh di RT. Katanya… angker?” “Angker?!” Siska nyaris menjatuhkan dompet. Bu Ratna terkekeh. “Ya namanya juga anak-anak. Jangan diambil hati.” Tapi hati Siska sudah panas. Ia langsung pulang dan mendapati Bara sedang menyalakan kompor untuk membuat mie instan. “Bara. Jelaskan. SEKARANG.” Bara menoleh sambil menggaruk kepala. “Tentang mie instan rasa rendang?” “Bukan! Tentang lemari itu! Orang-orang ngira kita pelihara hantu!” Bara terbahak. “Lucu banget. Rumah kita jadi legend!” Siska menepuk kening. “Aku serius, Bar! Aku nggak mau jadi bahan gosip!” “Tenang, Sis. Gosip itu bagian dari seni hidup.” Bara mengedip. “Kayak drama Korea. Tanpa gosip, nggak seru.” Siska ingin melempar sendok ke wajahnya, tapi memilih duduk lemas. Hari-hari berikutnya, mereka terlibat misi “penjinakan lemari.” Suatu sore, mereka pergi ke toko perkakas. Siska membawa daftar: obeng, minyak pelumas, kain lap. Di rak perkakas, Siska sibuk memilih ukuran obeng, sementara Bara menemukan palu warna-warni. “Sis, lihat! Palu pelangi! Kita harus beli ini.” “Kita nggak perlu palu, Bar. Kita perlu obeng.” “Tapi palu ini bisa jadi senjata darurat kalau ada maling.” “Bara. Fokus.” Akhirnya mereka pulang dengan obeng, pelumas, dan—tentu saja—palu pelangi. Sore itu, proyek perbaikan dimulai. Siska jongkok di depan lemari, obeng di tangan. Bara memegang ponsel sebagai senter. “Jangan goyang, Bar. Aku nggak bisa lihat sekrupnya.” “Aku nggak goyang. Tangan aku emang hidup.” “Ya ampun, bisa nggak sih serius dikit?” “Serius aku cinta kamu, Sis.” Obeng nyaris terlepas dari tangan Siska. Ia menoleh, menatap Bara dengan mata melebar. “Bara, jangan asal ngomong.” “Aku nggak asal,” jawab Bara pelan, senyumnya tidak lagi main-main. Siska buru-buru kembali fokus, tapi wajahnya memanas. Konflik lemari itu memuncak saat listrik mendadak padam satu malam. Siska menjerit kecil, gelap membuatnya panik. “Bara! Listriknya mati!” “Tenang, Sis. Aku udah siap.” Beberapa detik kemudian, cahaya lilin menyala di atas lemari. Bara sudah menyiapkannya sejak sore. “Bar… kamu?” Bara mengangguk. “Aku tahu kamu benci gelap. Jadi aku siapin cadangan cahaya.” Siska terdiam. Hangat menjalar di dadanya. Lilin itu kecil, tapi sinarnya membuat ruangan terasa damai. “Aku bakal selalu siapin cahaya buat kamu, Sis. Biarpun cuma lilin kecil,” kata Bara lembut. Siska berpaling, pipinya merah, tapi senyum tak bisa ia tahan. Hari-hari setelahnya, gosip soal “lemari hantu” masih terdengar. Tapi Siska sudah tidak lagi kesal. Ia mulai menerima bahwa lemari itu—dengan segala kerepotannya—membawa sesuatu yang tak ia sangka. Sebuah rasa hangat. Dan dalam hati kecilnya, ia mengakui: rumah kontrakan kecil ini, dengan semua kekacauan Bara, mulai terasa… seperti rumah sungguhan. ---Hari-hari di Jakarta kembali berjalan seperti dulu — atau setidaknya, begitulah yang Siska coba yakini.Ia bangun pagi, membuat kopi tanpa gula, menyalakan laptop, lalu menatap layar dengan mata setengah kosong. Rutinitasnya masih sama, tapi entah kenapa, semuanya terasa lebih hampa.Seolah ada sesuatu yang tertinggal di Bandung.Sesuatu bernama Bara.Pagi itu di kantor, suasananya lebih ramai dari biasanya. Proyek baru diluncurkan, dan tim desain tempat Siska bekerja harus menyiapkan materi promosi secepat mungkin. Lula, rekan sekantornya, melambai dari kubikel sebelah.“Eh, Sis! Kamu kayaknya glowing deh belakangan ini. Bandung effect, ya?”Siska tersenyum kecil. “Glowing capek mungkin. Di sana dingin, tapi kerjaan tetap kejar-kejaran deadline.”Lula menatapnya curiga. “Atau glowing karena seseorang?”“Apaan sih?” Siska meneguk kopi, pura-pura fokus pada layar.Lula hanya tertawa kecil, tapi tidak memaksa. Ia tahu Siska bukan tipe yang mudah cerita — terutama kalau soal hati.Namun
Pagi di Bandung selalu punya cara membuat orang ingin diam. Embun di jendela, aroma kopi, dan suara langkah kecil di dapur. Bara bangun lebih awal dari biasanya — bukan karena alarm, tapi karena bunyi panci dari arah dapur.Ia keluar dari kamar dan menemukan Siska sedang berdiri di sana. Rambutnya berantakan, kaosnya kebesaran, dan ia sedang menatap panci air mendidih dengan ekspresi bingung.“Airnya udah mendidih, tapi aku lupa mau bikin apa,” katanya tanpa menoleh.Bara tertawa kecil. “Klasik. Mau aku bantu?”Siska mengangguk, lalu menyerahkan sendok padanya. “Terserah deh. Asal jangan bikin kopi gosong lagi.”“Aku tersinggung, tau,” jawab Bara pura-pura serius.Tapi dalam diam, hatinya hangat — seperti pagi itu menertawakan keanehan mereka berdua.Mereka sarapan mi rebus dan roti seadanya. Tidak banyak bicara, tapi nyaman. Kadang Siska tertawa kecil melihat ekspresi Bara yang terlalu serius menyiapkan telur, kadang Bara hanya memperhatikan caranya memutar sendok di cangkir — kebias
Pagi Bandung terasa berbeda sejak Bara menetap di sana. Tidak ada lagi suara sendok beradu dengan gelas yang biasa mengiringi pagi-pagi mereka di kontrakan Jakarta. Tidak ada juga keluhan Siska tentang roti gosong atau tumpukan cucian.Yang ada cuma suara kendaraan lewat dari jalan kecil depan rumah, bercampur dengan angin dingin dan aroma kopi instan yang Bara seduh asal-asalan.Ia duduk di meja kayu kecil yang sekarang jadi ruang kerjanya. Laptop terbuka, tapi pikirannya tidak di layar. Lukisan setengah jadi di dinding menatapnya balik — seperti menunggu sesuatu yang tak pernah selesai.Sejak seminggu terakhir, komunikasi dengan Siska mulai terasa... berbeda. Masih ada chat, masih ada telepon singkat, tapi tidak lagi sepanjang dulu. Kadang Siska sibuk rapat, kadang Bara pura-pura sibuk juga. Padahal, diam di antara mereka justru lebih berisik daripada percakapan apa pun.> Siska: “Hari ini hujan lagi di Jakarta.”Bara: “Sama di sini. Bandung juga lagi abu-abu.”Siska: “Cocok sama mo
Sudah hampir dua bulan sejak Bara berangkat ke Bandung.Awalnya, Siska pikir ia akan terbiasa. Tapi ternyata tidak.Rumah itu makin lama makin terasa seperti ruang tunggu: dingin, rapi, tapi kosong.Setiap pagi, ia masih membuat dua gelas kopi — kebiasaan bodoh yang sulit ia hentikan.Satu untuknya, satu lagi tetap di meja. Dibiarkan dingin, lalu dibuang menjelang siang.Suatu pagi, Lula mengetuk pintu apartemennya tanpa aba-aba, membawa dua cup kopi dan ekspresi penasaran.“Gila, Sis. Kamu udah kayak zombie. Mata panda-nya parah banget,” katanya sambil masuk seenaknya.Siska mendengus. “Salah sendiri datang pagi-pagi.”“Pagi apanya, ini udah jam sembilan. Kamu belum ke kantor?”“Kerja remote, deadline minggu depan.”Lula duduk di sofa, menatap sekeliling. “Sejak Bara ke Bandung, rumah kamu kayak museum. Sepi banget.”“Emang dia ribut banget ya dulu?”“Enggak juga. Tapi tanpa dia, kayak ada suara yang hilang.”Siska menatap temannya lama. “Lu ngomongnya kayak orang yang ngalamin langs
Sudah hampir tiga minggu Bara di Bandung.Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah — meski cuma kontrak — rumah terasa benar-benar sunyi buat Siska.Biasanya, pagi-pagi sudah terdengar suara Bara di dapur, bernyanyi sumbang sambil menumis telur. Sekarang yang terdengar hanya suara air dari keran dan notifikasi email yang terus berdenting.Siska menatap kursi makan di seberang. Masih kosong. Cangkir kopi pun tetap bersih karena tak ada yang meminumnya selain dia.Ia mendesah pelan, lalu membuka ponsel.Ada satu pesan dari Bara semalam.> “Hari ini aku ke luar kota sebentar, bantu set pameran. Jangan lupa makan ya.”Pesan itu dikirim pukul 23.17.Siska baru membacanya sekarang — pukul 07.42.“Telat banget aku balas,” gumamnya kecil sambil mengetik balasan cepat:> “Jangan kecapekan. Hati-hati di jalan.”Jari-jarinya sempat ragu sebelum menekan send.Aneh. Dulu mereka ngobrol tanpa mikir. Sekarang, setiap kata terasa harus dipertimbangkan.Siang harinya di kantor, Siska berusaha fo
Bandung, Sabtu pagi.Udara masih sejuk, tapi perut Bara terasa nggak tenang. Ia sudah bangun sejak subuh, muter-muter di apartemen kayak setrika rusak. Kaos putihnya sudah diganti tiga kali—bukan karena kotor, tapi karena tangannya nggak bisa diam.Di galeri, semua sudah siap. Lampu-lampu dipasang, lukisan digantung, lantai dibersihkan sampai kinclong. Semua karya yang ia buat selama dua bulan terakhir berjajar rapi: potret, sketsa, mural mini. Tapi satu dinding kosong di sisi kanan ruangan masih tanpa bingkai.Di situ seharusnya lukisan terakhirnya dipasang — yang berjudul “Ruang Tengah”.Masih terbungkus kain. Bara belum siap membukanya.Satu-satunya orang yang tahu isi lukisan itu cuma dia. Dan Siska… seharusnya.Ia menatap jam di pergelangan tangan. 10.17.Pembukaan dimulai jam sebelas.“Mas Bara, tamu undangan mulai datang, ya,” kata Rafi, panitia sekaligus teman lamanya, sambil menghampiri. “Lo tenang aja, semua beres. Bahkan media lokal juga udah standby.”Bara mengangguk. “Tha







