Share

BAB 3. Pandangan Matanya

Ternyata yang memanggilnya adalah Fritz Ryker, seorang pria yang dikenal Callista dari suatu tempat. Pria tersebut tampak tersenyum, tapi Callista malah mendengkus kesal karena dia salah mengira kalau Fernando yang menyerukan namanya. Suara Fritz tak jauh berbeda dengan sang mantan suami.

“Maaf! Aku kira Fernando,” kata Callista kepada pria itu.

“Tak perlu meminta maaf. Kau sedang apa di sini? Tidak biasanya kau pergi ke bar.” Fritz tampak penasaran. Dia duduk di samping Callista.

“Kebetulan aku lewat jalanan ini dan mampir sebentar. Kata orang ini, mereka menjual informasi, siapa tahu mereka bisa membantuku,” jawab Callista seraya menunjuk Richard lalu sedikit mengubah posisi duduknya agar Fritz bisa melihat pria di sampingnya itu.

Alih-alih membalas, Fritz malah menunjukkan raut wajah terkejut. Kedua matanya membelalak dengan lebar. Hal ini membuat Callista mengernyitkan dahi karena kebingungan. Ada apa dengan pria ini? Tanyanya dalam hati.

“Kenapa wajahmu tampak terkejut begitu?” tanya Callista. Fritz langsung mengubah ekspresinya menjadi datar lalu menatap ke arah bar.

“Ti-tidak apa-apa. Sejak kapan kau mengenal orang itu?” jawabnya sekaligus membalikkan pertanyaan.

“Baru saja. Sebelum kemari, kami mendapatkan sedikit masalah. Kebetulan lokasi kami bertemu tak jauh dari bar ini, makanya kami ke sini untuk mengobrol.” Saat menjawab pertanyaan dari Fritz, Callista melihat kedua tangan pria itu tampak bergemetar.

“Aku Richard, teman baru Fleischer. Siapa namamu dan apa hubunganmu dengan dia?” Kini giliran Richard yang bertanya kepada Fritz. Tak ada jawaban dari pria itu, dia malah berdiri dari duduknya lalu membisikkan sesuatu kepada Callista dan pergi begitu saja. Melihat kepergian Fritz, Callista dan Richard hanya bisa memandanginya sampai ke pintu masuk bar.

“Tidak biasanya Fritz akan bersikap begitu dengan orang lain,” kata Callista.

Richard menolehkan kepala lalu menyahut, “Mungkin dia sedang banyak masalah. Oh iya, bagaimana jawabanmu atas pertanyaanku tadi? Kau belum menjawabnya.”

“Kau benar,” ujar Callista lalu meneguk sedikit alkohol yang sedari tadi sudah ada di depannya. “Sebenarnya aku sedang mencari seseorang yang telah membunuh suamiku. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana rupa orang tersebut, tapi menurut informasi yang aku dapatkan, ada kemungkinan dia terlibat dengan para kriminal lainnya. Orang tadi adalah salah satu yang mungkin tahu tentang si pelaku penembakan.”

“Seseorang membunuh suamimu? Kapan kejadiannya?”

“Sebulan yang lalu, tepat di hari pernikahanku. Aku ….” Callista menghentikan ucapannya. Dia terlihat menggenggam gelas alkohol dengan erat. “Lupakan saja! Aku tidak mau membicarakannya,” lanjut dia tanpa menoleh.

“Baiklah kalau kau tak mau membahasnya, tak masalah,” balas Richard. Callista hanya menganggukkan kepala.

Hampir saja dia memberitahukan kejadian waktu itu. Padahal dirinya bertekad untuk menyembunyikannya serta melupakan. Namun tanpa sengaja, Callista malah hendak memberi tahu. Beruntung dia langsung ingat dan menghentikan ucapan yang akan dia lontarkan.

Di sisi lain, dia kembali teringat dengan kejadian tersebut. Suara tembakan, kesakitan Fernando dan bisikan yang terdengar entah dari mana kembali terngiang di benaknya. Tidak seharusnya Callista membeberkan hal sepenting itu kepada orang asing, apalagi kepada orang yang baru saja dia kenal beberapa menit lalu. Kini dirinya membuang napas dengan kasar dan menyesali kecerobohannya.

Pria di samping Callista berkata kalau seorang bartender wanita yang ada di depan mereka itu adalah seorang informan. Wanita tersebut bernama Fliora, dia cukup terkenal di kawasan ini. Sudah banyak orang asing datang kepadanya untuk meminta informasi penting. Tidak ada yang tahu dari mana Fliora mendapatkan informasi-informasi itu.

“Ehm … sepertinya aku pernah mendengar tentang kejadian di taman itu. Seingatku kamera pengawas di sana sudah dirusak. Sepertinya si pelaku sendiri yang merusaknya, tapi bukan dari luar, melainkan dari dalam. Ada kemungkinan dia melakukan peretasan yang membuat kamera tersebut menjadi tidak berfungsi,” jelas Fliora setelah mendengar penjelasan singkat dari Callista. Wanita ini mempertanyakan sesuatu tentang kejadian penembakan pada bulan lalu yang terjadi di sebuah taman.

“Apakah kau pernah menyelidiki penembakan itu?” tanya Richard.

Fliora terdiam, seperti sedang mengingat-ingat. Dia pun menjawab, “Ya, aku sempat menyelidikinya untuk kesenanganku sendiri. Tak banyak yang aku ketahui karena tidak ada bukti siapa yang melakukan penembakan, tapi ada hal menarik yang aku dapatkan. Ketika aku meretas kamera pengawas di sekitaran taman, aku melihat pria berpakaian serba hitam, memakai tudung jaket dan bermasker mengikuti seorang pria lainnya yang aku duga dia adalah salah satu tamu yang ada di acara pernikahan itu.”

“Sungguh? Apakah kau mencari tahu siapa orang itu?” Kini giliran Callista yang bertanya. Jelas sekali kalau wanita ini sangat ingin tahu.

“Ya, dia masuk ke dalam gang yang tak jauh dari taman bersama pria itu. Sayang sekali, di sana tidak ada kamera pengawas, aku tak bisa melihat apa yang mereka lakukan,” jawabnya. Callista terdiam, dia sedang memikirkan perkataan Fliora. Kira-kira siapa pria itu? Kenapa mengikuti orang lain? Tanyanya dalam hati.

Selain memberikan informasi tersebut, Fliora juga mengungkapkan bahwa dalam beberapa jam kemudian, ada mobil polisi serta ambulance datang bersamaan dengan keluarnya pria bertudung itu dari dalam gang. Terlihat kantung mayat dibawa keluar dari gang dan dimasukkan ke dalam mobil ambulance. Tentu saja hal ini mengejutkan Callista serta Richard. Mereka menduga kalau pria bertudung itu telah membunuh pria yang diikutinya.

Sayang sekali, tidak ada bukti nyata, tapi Callista sudah mendapatkan identitas pria yang telah meninggal itu dari Fliora. Karena tidak ada informasi lagi yang bisa diberikan oleh Fliora, Callista pun berpamitan dan keluar dari bar.

“Apakah kau akan pergi ke lokasi itu?” tanya Richard. Callista menoleh.

“Tidak. Mungkin besok saja, malam ini aku cukup lelah dan ingin istirahat. Terima kasih sudah mentraktirku dan membawaku ke sini. Sampai jumpa!" jawab Callista lalu berjalan meninggalkan Richard.

“AWAS!” Callista terkejut saat Richard menariknya dengan cukup kencang dan menubrukkan punggungnya ke dinding bangunan yang tak jauh dari mereka. Dengan refleks, Richard langsung berdiri di depannya. Kedua tangan pria itu diletakkan ke dinding, seperti berusaha untuk melindungi dia dari orang-orang yang sedang kejar-kejaran di jalanan gang ini. Jika saja dia tidak ditarik oleh pria itu, kemungkinan dia akan tertabrak oleh mereka.

Callista sangat terkejut, apalagi kini Richard tepat berada di depannya dalam jarak yang sangat dekat. Ketika Richard menoleh, mata kedua insan ini pun bertemu. Wanita ini kembali dikejutkan dengan keindahan dari mata Richard yang berwarna hijau. Tentu saja Callista tidak pernah bertemu dengan orang yang memiliki warna mata yang seindah itu.

Seketika saja Richard memajukan kepalanya, hendak mendekati Callista dalam jarak sedekat ini. Entah kenapa, wanita itu bergeming seakan-akan terhipnotis oleh keindahan mata Richard. Dia tidak sadar kalau pria di depannya ini akan melakukan sesuatu.

“Apa yang kalian lakukan?” Seseorang mengejutkan mereka hingga mereka tersadar. Richard langsung menjauhkan diri serta membelakangi, sementara Callista menundukkan kepala. Wajahnya terlihat memerah, mencoba menahan malu karena sudah dipergok oleh Fritz Ryker. Ya, pria itu yang sudah membuat mereka terkejut.

“Ehm … kalau begitu, aku pergi saja,” ucap Richard seraya membalikkan badan menghadap ke arah Callista.

“Baiklah. Terima kasih atas bantuanmu,” balas Callista. Pria itu mengangguk lalu pergi meninggalkan dua insan ini.

“Kau … apakah kau tahu siapa pria itu hah?” omel Fritz tiba-tiba.

Callista mendengkus lalu berjalan meninggalkan Fritz. Pria ini pun mengikuti wanita itu seraya berkata, “Kau harus menjauhinya, Callista. Dia berbahaya untukmu dan tidak pantas menjadi temanmu.”

“Dia berbahaya atau tidak, bukan urusanmu, Fritz. Lagi pula kami baru bertemu karena kebetulan. Memangnya kau tahu apa tentang dia sehingga kau memintaku untuk menjauhinya?” sahutnya tanpa menoleh.

“Dia seorang bos mafia,” jawab Fritz.

“Apa?!”

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status