Share

11. DUNIA YANG SEBENARNYA

Riyan baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa, tepatnya di dekat sang ibu. Wajahnya menunjukkan rasa lelah bercampur rasa kesal. Karena itu, Bu Ria Salim pun menyapa putra bungsunya itu.

“Kamu kenapa? Wajahnya kok kesal begitu?” tanya ibunya.

“Gimana nggak kesal, Bu? Cintya mendatangi aku sampai ke sekolah…” umpatnya.

“Memangnya kenapa? Nggak boleh? Dia kan calon istri kamu?” ujar wanita itu. 

Mendengar kalimat iunya itu, Riyan pun menoleh kepada ibunya.

“Kenapa sih, Bu? Ayah sama ibu berharap sekali kalau Cintya itu bisa cocok sama aku? Ibu kan sudah tahu kalau aku sama sekali tidak suka dengan sikapnya yang manja dan keras kepala itu?” tuntutnya dengan perasaan semakin kesal. Namun Bu Ria menanggapinya dengan tersenyum.

“Yah, perempuan dengan watak yang keras kan nggak semuanya buruk, Nak?” ujar Bu Ria berdalih.

“Tapi, Bu… Cintya itu juga wanita yang nekad, dia bisa saja berbuat semaunya demi mengabulkan apa yang dia mau…” Riyan pun tetap bersi keras dengan pendapatnya.

“Lalu… kalau kamu nggak mau sama Cintya, memangnya kamu sudah punya seseorang yang lebih baik dari dia?” tanya Bu Ria Salim. 

“Memang belum ada sih, Bu. tapi setidaknya… ayah dan ibu tidak terlalu menuntut aku untuk bisa menerima Cintya sebagai calon istriku…” ujarnya.

“Riyan, ibu nggak masalah kalau kamu belum siap menerima Cintya. 

Tapi kamu harus ingat… umur kamu sudah memasuki 28 tahun, Nak. Sudah sewajrnya kamu menikah dan memiliki keturunan. 

Apalagi kamu adalah putra satu-satunya di keluarga ini. 

Ayah dan Ibu juga sudah semkain tua. 

Apa kamu tidak ingin kami bisa menimang cucu dari kamu?” dalih Bu Ria Salim memberi alasan.

Riyan pun terdiam dengan kalimat sang ibu. Selalu kalimat itu yang terlontar, seolah ingin mendesaknya untuk segera menikah. 

Tapi apa harus dengan Cintya? Yang karakternya sangat tidak disukai oleh pria berusia 28 tahun itu.

Namun, harus bagimana ia menolaknya? Selama ini, ia juga tidak terlalu leluasa mengenal perempuan. 

Sejak ia remaja, ia hanya terkung dalam asrama laki-laki, begitu juga hingga ia masuk kuliah. 

Ia tak banyak digandrungi wanita. 

Terlebih karena sikapnya yang dingin.

Bagaimana tidak, sikap dinginnya itu berawal dari ketika ia jatuh hati pada seorang gadis bernama Laura. 

Namun ternyata, wanita itu menerimanya bukan karena cinta. 

Tetapi karena mengetahui bahwa Riyan adalah anak orang kaya yang keluarganya sangat terpandang. 

Dan sebelum Riyan mengetahui hal itu, tak jarang Laura mengambil kesempatan untuk menikmati isi dompet Riyan, hingga akhirnya  kebohongan itu terbongkar dengan sendirinya.

Riyan pun masuk ke dalam kamarnya. Angannya masih menerawang menyisir seluruh langit-langit ruangan itu. 

“Ibu benar. Semakin hari, usia akan terus bertambah. 

Teman-teman seusia aku, juga sudah banyak yang bahagia dengan keluarga kecilnya. 

Bahkan… ayah juga berkata, kalau diusianya yang ke 30, mereka sudah punya 2 anak dan menjalankan bisnis yang mulai memuncak. 

Masak aku sebagi anak tidak bisa meneruskan jejak ayah? 

Aku putra satu-satuya yang jadi harapan. 

Apakah… aku memang harus menikah dengan Cintya?” batin Riyan sambil berbaring, menempelkan kedua telapak tangannya di belakang kepalanya.

“Tapi… kenapa harus Cintya? Apa tidak ada wanita lain yang bisa menggantikan wanita nekad itu?” kembali hatinya berbisik. 

Riyan pun mengambil nafas dalam-dalam. Ia pun berusaha menutup matanya, mencari-cari seseorang yang muncul dalam khayalnya itu.

Tiba-tiba ia teringat wajah polos seorang anak yang masih PKL di sekolah yang kepemimpinannya masih berada di tangan sang ayah. Yah. Gadis polos yang muncul saat matanya terppejam itu adalah Aiza.

Riyan pun membuka kedua matanya.

“Kenapa malah gadis itu yang muncul? Menjengkelkan sekali…” umpat Riyan. Kembali ia terduduk, dan angannya bermain mempengaruhi perasaannya.

“Ternyata, jadi orang terpandang itu… tidak selamanya enak. Mereka bilang, hidupku enak. Tapi merek juga nggak tahu kehidupanku di dalamnya. Untuk urusan pasangan hidup saja, aku harus galau seperti ini…” batin Riyan mengutuk dirinya sendiri.

“Anak PKL itu… kenapa malah wajahnya yang muncul… Hhhhmmm anak ingusan. 

Tapi, setidaknya itu lebih baik. 

Ah tidak, dia masih kuliah. Lagipula, belum tentu ayah dan ibu setuju. 

Dia ‘kan masih PKL…” aura penolakan di hatinya muncul.

“Astagfirullahal adzim… kenapa aku malah memikirkan anak itu? Apa hubungannya…?” akhirnya Riyan pun hanya bisa menertawakan dirinya sendiri.

***

Tepatnya hari Rabu, setelah sholat Zuhur. Kelimanya sepakat setelah berakhirnya Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), mereka sepakat untuk pergi ke sebuah toko bangunan terdekat untuk menanyakan harga bahan-bahan yang akan mereka butuhkan nanti. 

Namun sebelumnya, salah satu dari mereka pun meminta izin pada pihak sekolah untuk nantinya bisa menyimpan bahan-bahan tersebut di kantor bendahara sekolah, dan izin tersebut diterima.

Rosni pun maju sebagai garda terdepan untuk mennyakan harga ke bagian toko terdebut. 

Setelah harga yang mereka tanyakan itu bisa disepakati, mereka pun membeli beberapa jenis bahan yang pada saat itu juga diantarkan ke sekolah. 

“Semuanya kena hampir satu juta lima ratus ribu,” ujar Rosni ketika mereka keluar dari kantor Bendahara, setelah  meletakkan bahan-bahan dari toko tersebut. 

“Sudah sama ongkos barang itu tadi kan?” tanya Ria.

“Iya,” sahut Rosni.

“Jadi perorang kita kena 300 ribu yah?”ujar Kiran. 

“Ini dari aku…” Kiran pun menyodorkan uang sejumlah yang mereka perhitungkan.  Dan Rosni pun menrimanya.

“Aku nanti aja yah di rumah. Aku nggak bawa-bawa uang soalnya,” tutur Aiza.

“Yah sudah, nanti sajalah sekalian. Kita pulang saja dulu…” ajak Rosni.

“Itu saja  sudah 1 juta 500 ribu. Belum lagi nanti pasir dan lain-lain yang kurang. Upah tukang?” ujar Aiza.

“Astaga Aiza… Kita di sini masih 2 bulan lagi. Nanti sajalah kau fikirkan itu. 

Ro naron nyae mu kelek (nanti kamu sakit memikirkannya, teman),” celutuk Ainy.

“Hehehe…” Aiza hanya cengengesan mendengar kalimat Ainy.

“Sudahlah. Kita istirahat di rumah dulu. Capek sekali rasanya…” ujar Kiran. 

Dan mereka pun pulang serentak.

“Jarang-jarangnya kawan PKL bisa sekompak kita,” ujar Rosni.

“Yup. Kamu benar, kak Ros. Kalau dengar cerita kawan2 di tempat lain, hhhmmm saling adu ide. Saling sindir, apa lagi lihat history sosmed mereka, kadang aku jadi ketawa sendiri. 

Yang jelas aku tahu kalau sindiran itu bukan buat aku heheheh…” sahut Ria sambil terkekeh.

“Itu kan tergantung kitanya. Masing-masing kita harus terbuka dan mau mendengar pendapat teman yang lain,” sahut Ainy.

“Yah, satu lagi. Bersyukur kita hanya berlima. Coba lihat kelompok yang lain sampai belasan… Yang ada jadi saling hasud…” sambung Kiran.

“Kalau kerja kelompok seperti ini, yah dibutuhkan cara berfikir yang dewasa. 

Kita ini kan saling butuh. Kalau memang nggak bisa bekerja sama dalam kelompok, yah sudah kerjakan sendiri-sendiri ‘kan begitu…” Rosni pun menimpali.

Seperti biasanya. Kalau nasihat Rosni sudah keluar, maka yang lainnya pun akan serenatak menanggapi, 

“Iyaaaaa kak Ros…” sahut mereka serentak sambil tertawa bersama. 

Tak berapa lama, mereka pun tiba di depan rumah kontrakan. Dan seperti hari-hari yang telah mereka lalui, kelimanya pun merebahkan tubuhnya masing-masing sebelum melanjutkan aktivitas yang lain.

“Ternyata  selesai PKL masih lama yah? 

Selesai PKL ini nanti masih harus kuliah, bimbingan skripsi… hadeuuuhhh…” kembali terdengar keluhan Ria.

“Dan katanya,menyelesaikan skripsi itu nasib-nasiban yah? 

Tergantung dosen pembimbingnya juga…” sahut Ainy.

“Yah begitulah. Kita juga nggak tau, siapa nanti yang bakalan jadi dosen pembimbing. Semoga dapat yang biaik hati dan tidak sombong,” harap KIraaaan.

“Aaamiiinnnn…” jawab mereka menanggapi.

Dan selesai kuliah, ternyata masih belum selesai. Karena masih harus mencari pekerjaan, yah ‘kan?” sahut Ria lagi.

“Itu baru dunia sebenarnya…” jawab Rosni menimpali.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status