Share

12 RENCANA MALAM MINGGU

Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang. 

Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.

“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah. 

Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.

Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada. 

Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir. 

Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana. 

Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian. 

Tapi bagaimana pun, bisa bersama dengan teman-teman PKL-nya jauh akan membuat hatinya lebih waras.

“Hhhhmmmm bagaimana kalau aku chat ke Yunita saja untuk menanyakan Bang Fadlan yah?” kembali hatinya tersentuh. 

Teringat akan sahabatnya yang ternyata juga berada dalam satu instansi yang sama dengan sang pujaan.

Aiza pun segera merogoh kantong Almamater warna birunya itu untuk mengambil ponselnya. Segera ia mengetik isi hatinya di sana.

“Assalamu ‘alaikum, Yun? Apa khabar? Sibuk banget yah, sampai nggak bisa kasi kabar ke aku?” tanya Aiza berbasa-basi. Namun sudah 2 menit,  pesan itu masih belum ada balasan. 

Sambil menunggu balasan dari sahabatnya itu, kembali Aiza mendekati pondok di dekat hutan sekolah, yang hanya akan ramai kalau siswa-siswi sedang tidak belajar, alias istirahat.

Baru saja ia akan duduk, tiba-tiba suara seseorang mengejutkannya.

“Hei… sini kamu!” suara tegas itu diarahkan padanya. Aiza pun langsung menoleh pada si pemilik suara khas itu.

“Saya, Pak?” tanya Aiza pada sosok Pak rayhan yang ternyata berdiri tak jauh dari tempat Aiza.

“Iya, kamu!. Siapa lagi…” jelas pria bertubuh tinggi, yang jika diukur, kemungkinan 15 centimeter lebih tinggi dari Aiza.

Gadis itu pun menurut dan mendekat ke arahnya. Namun, dipanggil dengan kalimat seperti itu, membuat Aiza menggerutu sendiri.

“Hhhhmm kalau bukan karena anak Pak Rakib, nggak mau aku menuruti panggilanmu. 

Cara memanggil saja, udah seperti memanggil anak kecil saja,” gerutu Aiza dalam hatinya. Namun wajahnya beusaha untuk tetap berusaha tenang mendekati pria yang sikapnya tampak dingin itu.

“Kenapa kamu sendirian di situ?” omel Riyan ketika Aiza akan mendekat beberapa lngkah lagi.

“Eh, saya…” belum sempat Aiza menjelaskan,  Riyan sudah langsung beralih ke kalimat yang lain.

“Oh ya, sampaikan juga nanti sama teman-teman kamu yang lainnya, kalau tamannya sudah mulai dibangun, sekalian saja buatkan bunga-unga di taman itu. 

Kalian taulah bunga yang cocok untuk taman seperti itu, yah ‘kan? 

Biar suasananya tampak lebih ceria. Kamu mengertikan maksud saya?” tanya Riyan menegaskan. 

Akan tetapi Aiza tidak langsung menjawab. 

Justru perintah yang ia dengar barusan itu, memancing batinnya untuk mengomel.

“Bunga? Apa bunganya juga harus dibeli? 

Nggak tahu apa kalau anak PKL itu juga masih tanggungan orang tua? 

Belum punya penghasilan sendiri? 

Seenaknya saja ngasih perintah. 

Dasar orang kaya… Dia fikir semua orang itu selalu punya uang seperti dia?” fikir Nesya.

“Hei? Kenapa jadi melamun? Kamu dengar nggak saya bilang apa?” tanya Riyan yang membuyarkan fikirannya

“Eh iya, Pak. Saya dengar..." jawabnya spontan. 

"Bagus. Tadi saya nggak sengaja lihat kamu di sana. 

Kelihatan sekali hobby kamu suka melamun. Jangan sendirian di pondok itu Apa lagi melamun. Sama saja kamu mengundang perhatian. 

Kalau kamu kesurupan bagaimana?” ujar Riyan. 

Seketika tubuh Aiza langsung bergidik mendengar kata ‘kesurupan’ dari pria itu

“I.. iya, maaf, Pak…” hanya kalimat itu yang bisa ia lontarkan pada Riyan.

“Sudah. Memangnya kamu nggak ke kelas hari ini?” tanya Riyan. 

Aiza yang baru saja menunduk, kembali mengangkat wajahnya untuk menoleh pada pria itu.

“Ng… nggak, Pak. Hari ini saya nggak mengajar. Tapi… memang diwajibkan harus ke sekolah. Secepat kilat, Aiza memberi jawaban, untuk memberi penjelasan.

“Kalau begitu, saya pergi dulu, Pak…. Permisi,” pamit Aiza setelah mendapat anggukan pelan dari pria itu.

***

“Za, tadi aku lihat kamu lagi sama Pak Riyan. 

Kalian udah baikan? Lagi ngobrolin apa?” tuding Ria yang baru saja masuk ke ruang guru, setelah bel istirahat ke 2 berbunyi.

“Siapa yang ngobrol sama dia? Males juga bisa ngobrol sama dia?” lirih suara Aiza agar tidak kedengaran sama guru-guru yang juga mengambil posisi masing-masing di ruangan itu.

“Lho, kenapa males? Bangga tau… ngobrol sama laki-laki seperti itu. Ganteng lagi…” komentar Ria.

“Ganteng kalau sama seperti gunung es, ‘kan sama aja? Masa cara dia manggil aku, seperti sedang memanggil anak kecil, ” rungut Aiza yang masih menunjukkan muka masam kalau harus diingatkan tentang Pak Riyan yang sepertinya selalu membuatnya merasa tidak nyaman mendengar kalimat laki-laki itu.

“Gunung es? Apa dia se-cool itu? Hhhmmm pantasan saja dia sudah membekukan hatiku hehehehe…” kekeh Ria dengan nada yang pelan yang justru membuat AIza melirik sinis kea rah teman sekamarnya itu.

“Mentel doma hooo… ( Kecentilan sekali kamu…)” ledek Aiza.

“Maafkan aku yang jomblo ini, Za. 

Wajar aku mentel, tapi sayangnya Pak Riyan nggak pernah terlihat sedang melirik seseorang. 

Dan andaikan yang dia lirik itu aku… astaga… seketika kehidupanku runtuh…” dengan gaya kegilaannya yang semakin membuat Aiza ingin muntah tapi akhirnya tertawa pelan, karena takut yang ada di ruangan itu menatap heran ke arah mereka.

“Mate ma... (mampuslah…)” celutuk Aiza menanggapi sikap Ria yang berlebihan itu.

“Tapi memang tadi Pak Riyan meminta sekalian buat bunga kalau taman itu sudah selesai. 

Tapi dia nggak bilang bunga apa. 

Dia cuma yakin kita tahu bunga apa yang dia maksud, yang pas untuk di buat di taman itu nanti…” ujar Aiza menjelaskan.

“Ooohhh bunga apa lagi kalau bukan bunga pagar? Apa susahnya? 

Kan taman itu memnag di buat di dekat pagar?” ujar Ria.

“Iya yah? Benar juga. Tentulah yang dia maksud itu bunga pagar…”Aiza pun setuju dengan pendapat teman yang rada ada gila-gilanya itu, tapi sekali ngasi usulan memang masuk akal.

“Kalian lagi bahas apa?” suara Kiran menghampiri.

“Bahas bunga…” jawab Aiza.

“Bunga apa? Bunga Bank?” canda Kiran lagi.

“Bank apanya? Bangkrut iya…” celutuk Ria.

“Bunga untuk taman nanti, pesan Pak Riyan,” jawab Aiza memberitahu.

“Tadinya aku fikir kita cuma bikin taman aja,” tambahnya lagi. 

“Wajarlah kalau Pak Riyan minta bunga untuk taman. 

Gimana lagi kalau sekalian dia minta dibuat kolam?” ujar Kiran mengada-ada.

“Itu dia, aku juga bilang, kalau bunga untuk taman, bagus kita ambil bunga yang ada di depan rumah kontrakan kita. 

Kan cocok untuk bunga pagar?” jelas Ria lagi.

“Hhhhmmm betul juga. Kan lumayan biar kita nggak perlu beli bunga lagi. 

Jaman sekarang harga bunga taman itu lebih mahal dari bunga Bank, yah kan?” Kiran pun menekankan.

“Ooohhh… aku harap PKL ini cepat selesai. Rasanya uang terus yang harus keluar…” ujar Aiza dengan wajah yang pasrah.

“Hhhmmm itu ‘kan sudah resiko, Sayang…” sambung Ria.

“Iya, tapi kalau lebih lama lagi seperti ini, tentu akan memakan biaya yang lebih banyak lagi,” rungut Aiza.

“Yah, kasihan anak orang… belum 3 bulan di perantauan udah stress, hahaha” ledek Ria pada Aiza.

“Sudahlah, sudah. Bentar lagi kan kita pulang ke rumah.  Besok juga libur. Nanti malam jadi ‘kan ke pantai? 

Biar Anak Pak Ardi yang udah hang ini, nggak jadi gila gara-gara mikirin PKL yang nggak selesai ahahaha…” sambung Kiran.

“Oh iya, dong… dari kemarin aku juga udah pengen ke pantai malam…” sahut Ria setuju.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status