Share

10. TEMANKU JUGA REJEKIKU

Memasuki minggu ke 3 pelaksanaan PKL.

“Biado? Ita cicil ma mulai bahan-bahan i? (Bagaimana? Bisa kita mulai mencicil bahab-bahan?)” ujar Rosni.

“Keta, au pe atia adong dope epengku, (Ayo, mumpung uang ku juga maasih ada,)” sahut Ainy.

“Aku juga, uangku rasanya juga masih cukup,” sambung Aiza.

“Baguslah kalau begitu, biar kita kumpulkan uangnya beli semen sama pasir. 

Tapi… kita tanya dulu besok kepala sekolah, kemana kita simpan nanti bahan-bahan itu…” ujar Kiran menimpali.

“Paling nanti ujung-ujungnya diletakkan di ruang bendahara…” Ria pun tak kalah memberikan pendapat.

“Syukurlah uangku masih ada kalau untuk mencicil. Biar nanti ayah dan umakku nggak terlalu pusing nyari sisanya…” lirih suara Aiza.

“Berarti karena menyisakan uang untuk taman itu makanya nggak pernah kau jajan?” celutuk Ria.

“Itu kamu tahu… Aku bisa saja jajan ini-itu kalau nggak mikir ke sana,” sahut Aiza.

“Bope songoni… ulang ko makikittu tu dirimu, kelek… (Walaupun begitu, kamu jangan terlalu pelit untuk dirimu sendiri, teman…)” nasihat Rosni untuk Aiza.

“Aku nggak pelit sama diri sendiri.  Cuma kalian kan tahu, dari awal dengar mau membuat taman itu, aku harus menyisakan uang untuk buat taman itu.

Dari pada nanti gara-gara aku kalian terkendala membuatnya, gimana” papar Aiza.

“Nggak mungkin gara-gara kamu bikin taman pun jadi terkendala…” canda Ainy.

“Yah kan mana tahu… kalau memang nggak terkendala… itu artinya nanti pas aku nggak ada uang, aku bisa nebeng sama kalian… pinjam uang salah satu diantara kalian heheheh…” balas Aiza bercanda.

“Kalau memang bisa kenapa, nggak? 

Kamunya aja yang terlalu membawa susah masalah taman itu…” ujar Kiran.

“Hehehe, ternyata kalian memang bagian dari rejeki ku hehehe…” sorak Aiza.

“Madung mai, sholat ma ita jolo… (Sudahlah itu. Kita sholat dulu),” ajak Rosni pada teman-temannya karena memang sudah waktunya pelaksanaan sholat magrib.

***

Seperti biasanya selesai melaksanakan sholat magrib, mereka pun makan malam bersamanya.

“Eh, malam minggu nanti, kita ke pantai yuk? 

Kita belum pernah 'kan ke pantai malam hari…” usul Ria sambil menikmati makanannya.

“Boleh juga, kira-kira 1 becak cukup nggak buat kita berlima? 

Biar irit hehehe…” celutuk Rosni.

“Aku rasa cukup. 4 orang di dalam, 1 orang di belakang Pak Supir ahahaha…” jawab  Ria.

“Kau yang di belakang supir,” jawab Aiza, Ainy, Rosni dan Kiran secara serentak, yang langsung membuat Ria terdiam.

“Aku?” tanyanya memastikan.

“Iyalah. Kaunya yang cocok di belakang abang-abang becak itu ahahahah…” celutuk Rosni.

“Lagian ‘kan kau yang mengajak… Jadi kau harus mengalah…” Kiran pun menimpali membuat yang lainnya hanya bisa cekikikan melihat ekspresi Ria yang lucu.

“Jadilah. Biarlah aku yang dibelakang abang-abang becak. 

Biar senang kalian…” desahnya pasrah. 

“Okey, jadi mulai sekarang… kalau kita mau kemana-mana naik becak. 

Ria yang harus dibelakang abang-abang becak yah?” titah Kiran kembali.

“Roha-roha munu ma… (Suka hati kalian sajalah…)” pasrah Ria sambil terus menikmati makanannya tanpa merisaukan apa yang jadi bahan tertawaan teman-temannya itu.

Selesai menyantap makan malam itu, masing-masing mereka pun mengerjakan tugasnya masing-masing. 

Ada yang sibuk mempersiapkan materi untuk disampaikan pada siswa besok. 

Ada yang sibuk membaca buka. 

Sedang Aiza yang baru saja membaringkan tubuhnya di lantai, langsung meraih ponselnya yang berdering itu.

Matanya kian berbinar ketika melihat nama Fadlan ada di layar ponselnya.

“Assalamu ‘alaikum, Bang Fadlan…” sapa Aiza dengan suara selembut mungkin yang justru menarik perhatian teman-temannya. 

“Wa’alikum salam, Adinda… sehat kan?” sapa Fadlan dari seberang.

“Alhamdulillah, sehatlah, Bang…. Abang sendiri gimana?” tanya Aiza balik, tanpa peduli dengan tingkah Ria yang mengolok-olok cara bicaranya ke arah Rosni, Kiran dan Ainy yang hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat ejekan Ria tersebut.

“Alhamdulillah, Bang Fadlan juga sehat, Dik. Adinda udah sholat…?” tanya Fadlan lagi.

“Heheheh sholat Isya, belum, Bang…” ujar Aiza cengengesan.

“Lagi ngapain sekarang?” Fadlan terus memberi pertanyaan seperti sedang melakukan interview terhadap Aiza.

“Aku… aku nggak lagi ngapa-ngapain… Cuma lagi santai aja nih. Bareng sama teman-teman PKL…” jawab Aiza.

“Lagi mikirin abang dia, tuh…” celutuk Ria dengan sengaja bersuara keras untuk menggoda Aiza, membuat yang lainnya terus tertawa.

“Siapa itu, Dik?” tanya Fadlan yang ternyata mendengar suara asing selain suara Aiza.

“Biasa, bang… kawan PKL yang lagi iseng…” sahut Aiza sambil melirik Ria seolah pandangannya itu menyuruh Ria untuk tidak mengulangi kalimat seperti itu. Demi menjaga gengsi Aiza untuk mengakui, bahwa apa yang dikatakan Ria itu memang benar. 

Aiza memang sedang memikirkan Fadlan.

“Benar Dik Aiza sedang memikirkan abang?” ujar Fadlan memastikan.

“Eh hehehe…” AIza pun bingung harus bilang apa. Kalau ia mengatakan itu benar, itu sama dengan kalau ia tidak peduli dengan rasa gengsinya. 

Tetapi, kalau dia bilang itu tidak benar, ia takut kalau Fadlan kecewa bahwa ternyata ia tidak memikirkan pemuda itu.

“Nggak usah malu. Bang Fadlan juga lagi mikirin Dik Aiza kok. 

Makanya abang langsung telpon ‘kan?” jelas Fadlan. 

Setidaknya kalimat Fadlan itu sudah mewakili isi hatinya. 

Wajar memang kalau Fadlan mengatakan hal seperti itu, karena ia adalah laki-laki. 

Dan bagi Aiza tentu saja hal itu akan terasa memalukan, kalau seorang gadis lebih dahulu mengungkapkan hal yang sama.

“Eeeuuummm… Bang Fadlan sendiri lagi ngapain?” tanya Aiza.

“Lagi nelpon…” jawab Fadlan spontan.

“Ahahaha… maksudnya, sebelum nelpon, abang lagi ngapain?” tanya Aiza lebih spesifik lagi.

“Oh… bilang dong. Nggak ada. Abang juga baru selesai sholat dan beres-beres tugas. 

Lagi teringat sama kamu… yah langsung abang telepon. 

Oh ya, bagaimana PKL di tempatmu? Apa kamu suka tinggal di sana?” tanya Fadlan lagi.

“Eeum… Lumayan seru juga. Ini kan udah masuk minggu ketiga. 

Tadi, kami baru musyawarah untuk mencicil mau buat taman di sekolah ini…” jelas Aiza yang matanya tiba-tiba menangkap teman-temannya yang merasa geli dengan percakapan antara ia dan Fadlan di telpon itu.

“Oh, kalian buat taman yah? Enak dong…” tukas Fadlan.

“Enak? Kenapa abang bilang enak?” tanya Aiza.

“Yah… kalau buat taman kan mending. Biayanya juga nggak terlalu mengkhawatirkan. Kami di sini disuruh buat gapura…” jelas Fadlan dengan nada berat..

“Gapura?” ulang Aiza. 

“Iya…” Fadlan pun membenarkan.

“Berarti, membuat taman itu masih mendingan yah, Bang?” ujar Aiza akhirnya.

“Iya… itu sudah lumayan. Kalau kami di sini… jangan tanyakan berapa biaya per orangannya. Abang aja nanti harus pinjam uang si Yunita hehehe…” ujar Fadlan.

“Iya juga sih. Aku fikir tadi, cuma aku saja yang pusing dengan biaya keluar hehehe…” ujar Aiza.

“Nggak jugalah. Okey yah, Dik Aiza. Bang Fadlan masih ada kerjaan yang harus diselesaikan. Dik Aiza jaga kesehatan yah. Jangan lupa sholat Isya sebelum tidur…” ujar Fadlan memberi pesan.

“Iya, Bang… iya…” jawab Aiza.

Tak berapa lama, percakapan itu pun berakhir.

“Udah selesai berobatnya?” tanya Kiran mengejek Aiza.

“Berobat? Berobat apa?” tanya Aiza yang tidak mengerti maksud ucapan temannya itu.

“Nelpon sama Bang Fadlan…” ejek mereka serentak dengan wajah yang dibuat-buat. Seketika rumah kontrakkan itu pun riuh dengan suara tawa mereka.

“Oooopppsss… pelankan suara kita, nggak enak didengar tetangga. 

Bisa-bisa nanti rumah kita ada yang lempar karena keberatan dengar suara kita…” ujar Ainy mengingatkan.

“Iya yah… apa lagi orang depan baru melahirkan… nanti anaknya nangis gara-gara suara kita…” Rosni pun menimpali.

“Makanya, ketawa itu jangan pake otot…” Aiza pun merasa punya kekuatan membalas ledekan keempatnya itu.

“Hhhhmmm… gara-gara Bang Fadlan…” celutuk Ria dengan gayanya yang lucu. Kembali yang lain hanya tertawa pelan melihat tingkahnya itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status