Share

14. SAAT SEPI DI RUMAH PAK RIYAN

Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu. 

Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.

“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni. 

“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.

“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.

“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.

“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memberikan nilai yang buruk untuk kita? 

Apa mungkin Pak Riyan dengan jujur mengatakan kalau itu semua gara-gara saos?” papar Ainy menjelaskan.

Kiran dan Rosni pun jadi tersenyum mendengar paparan Ainy itu.

“Yah, aku setuju…” ujar Ria.

“Sudah, Za. Kamu makan aja. Memang kita udah nggak lama lagi di sini. 

Tapi jangan karena waktu yang sudah sebentar lagi ini, kamu malah jatus sakit. 

Ingat, perjuangan kita kan belum selesai. 

Kamu kan tadi bilang mau bantu orang tua… jangan besok malah kamu bikin orang tua kamu sedih kalau dengar kamu sakit…” bujuk Ainy. 

Mendengar kalimat temannya itu, akhirnya Aiza pun menyunggingkan senyumnya. 

“Yah, aku makan… nggak usah bawel…” candanya dengan suara berat. Dan mereka pun akhirnya menyelesaikan makan malamnya.

Beberapa waktu setelah makan malam itu, Ria pun mendatangi kamar tempat Kiran, yang bersampingan dengan kamar Rosni dan Ainy.

“Kenapa?” tanya Ainy pada Ria.

“Aku fikir Aiza di sini…” ujarnya.

“Memangnya Aiza nggak di kamar kalian?” tanya Rosni.

“Kalau dia ada di kamar, ngapain aku harus nyari dia ke sini?” celutuk Ria.

“Mungkin dia lagi ke depan mau beli sesuatu…” Any menanggapi.

“Iya, mungkin. Tapi nggak biasanya dia pergi nggak bilang. Lagian dia mau beli apa?” Ria mencoba menerka.

“Biarkan saja dulu. Kalian ‘kan tahu dia masih galau gara-gara tadi. Bisa aja dia keluar sebentar cari ketenangan dulu. 

Atau bahkan dia mau curhat sama pacarannya yang kemarin… Siapa namanya? Aku lupa…” tanya Kiran ke arah Ria.

“Fadlan…” jawab Ria. 

“Nah itu… Fadlan…” Kira pun menduga.

Ria mengangkat kedua bahunya seolah pasrah dengan pendapat teman-temannya itu.

“Semoga aja benar. Aku cuma takut kalau gara-gara Sao situ, Aiza malah bunuh diri…” candanya.

“Hhhuuuussssttt… mulut kamu itu… Jangan mikir yang aneh-aneh. Itu gunanya kita sudah dewasa. Kita saling menguatkan kalau salah satu diantara kita sedang bermasalah. 

Kita kan sudah seperti saudara di sini…  sama-sama perantau…” Rosni menasehati. 

Dan Kiran pun menyentil lengan Ria yang memang suka asal bicara.

“Yah ‘kan aku juga takutlah… aku ‘kan teman satu kamarnya…” 

“Makanya kalau ngomong itu jangan asal-asalan…” Ainy pun menimpali.

***

Setelah mendapatkan informasi tentang rumah Pak Riyan, akhirnya di malam itu, Aiza pun berada di depan rumah yang terlihat megah, di Jalan Kakap nomor 71 itu.

“Untung Pak Dion nggak nanya apa urusanku menanyakan alamat rumah Pak Riyan. Kalau ditanya,  aku harus jawab apa?" gumam Aiza.

“Besar sekali rumahnya…” Ia pun mengomentari fisik bangunan itu.

Sebenarnya ia masih ragu dengan keputusannya untuk menjumpai Pak Riyan secara langsung.

“Dia di rumah nggak yah…? Astaga… aku sampai gemetaran seperti ini…” batinnya bergejolak. 

Namun tekad yang kuat itu, terus menuntut hatinya untuk segera mengakhiri fikirannya yang meronta-ronta. Hingga pada akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk membuka pagar itu.

“Hhhhmmm lumayan juga halamannya. Tapi, seharusnya sudah wajar ada pos satpam di sini…” Aiza massih terus mengomentari fisik bangunan itu. 

Hingga sampailah ia di depan pintu utama rumah itu. Kakinya masih terpaku di sana. Ingin melanjutkan, ia gemetaran. 

Sedang jika ia mundur, rasanya sudah kepalang tanggung. Dengan jari telunjuknya, akhirnya ia menekan bel berwarna merah di sisi kanan pintu itu.

Sedang di dalam kamar, Riyan baru saja merebahkan tubuhnya sehabis mandi setelah ia pulang dari menjenguk ayahnya yang sedang dirawat di rumah sakit. 

Namun mendengar suara bel berbunyi, ia pun terperangah.

“Siapa yang datang malam-malam begini? Nggak mungkin ibu pulang dari Rumah Sakit meninggalkan ayah sendirian? 

Atau… kak Fayra sudah datang ya?” fikirnya yang segera beranjak dari tempat tidurnya.

Kembali suara bel itu berbunyi.

“Iyaaaa…. Sabaaaaaarrrr…”sahut Riyan dengan mengoceh karena mengira kalau itu adalah kakaknya yang mungkin sudah sampai untuk menjenguk ayahnya yang sedang di rawat. 

Ia pun segera membukakan pintu dan ia terkejut bercampur heran melihat Aiza da di sana di bawah sinar lampu teras yang tidak terlalu terang itu.

“Kau…?” sapa Riyan heran melihat Aiza yang berdiri sendiri di hadapannya.

“Assalamu alaikum, Pak Maaf mengganggu…” sahut Aiza dengan wajah canggungnya. Riyan pun melihat ke kiri dan kenan.

“ Wa’ alaikum salam… kamu sendiran…?” tanyanya.

“I… iya, Pak…” jawb Aiza.

“Silahkan masuk…” ajak pria itu sambil membuk pintu selebar-lebarnya.

Dengan langkah yang grogi, ditambah dengan suasana sepi rumah itu, Aiza pun masuk.

“Silahkan duduk…” kembali Riyan mempersilahkan.

“Ada apa lagi sampai kamu kemari…?” secara langsung Riyan mencerca pertanyaan untuk Aiza yang sudah nekad untuk datang malam-malam ke rumahnya.

“Eeeuuummm…. Begini, Pak. Sebelumnya… saya minta maaf kalau kedatangan saya malam-malam begini jadi mengganggu istirahat, Bapak. 

Saya… ke sini, karena benar-benar memohon, agar Pak Riyan bermurah hati untuk tidak memberi nilai yang buruk terhadap teman-teman saya. Karena… yang terjadi siang itu, adalah kesalahan saya…” ucapnya dengan nada memohon.

“Kamu datang ke sini, cuma mau menyampaikan itu…?” tanya Riyan dengan memicingkan matanya. Aiza mengangguk pelan.

“Apa kamu tidak merasa kalau kamu itu ceroboh?” Riyan mengujinya.

“Iya, maaf… Pak…” Aku Aiza. 

Karena lebih baik ia mengakui kesalahannya sekarang, demi nilai teman-temannya itu.

“Trus, karena cerobohanmu itu, kalau saya ngga kasih kamu nilai yang baik, bagaimana?”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya tahu, saya memang ceroboh. Dan karena itu, saya tidak ingin nilai teman-teman saya juga jadi korban. 

Mereka sudah cukup baik pada saya…” lirih Aiza yang berharap pria di depannya itu masih punya rasa empati.

“Apa teman-temanmu yang menyuruh kamu datang ke sini?” selidik Riyan.

“Tidak, Pak… sahut Aiza dengan tegas.

“Mereka bahkan tidak tahu kalau aku ke sini…” jelas Aiza.

“Ooouu, jadi ceritanya… kamu ingin jadi pejuang nilai untuk teman-teman kamu…?” pancing Riyan dengan wajah yang meledek.

“Bukan, Pak. Bukan begitu maksud saya… Saya ke sini, meminta Bapak agar tetap memberi nilai yang baik untuk teman-teman saya. 

Dan kalau perlu, Bapak boleh nggak usah kasih nilai yang baik untuk saya…” ujar Aiza yang sebenarnya ia sudah mulai kesal dengan laki-laki di depannya itu. 

Ia pasrah, sekalipun jika Riyan memang tidak ingin memberi nilai yang baik untuk hasil kerjanya di akhir tugas nanti.

“Kamu yakin?” tegas Riyan.

“Yakin, Pak,” jawab Aiza mantap.

Sejenak Riyan mengambil ponselnya. Dengan gayanya seperti sedang mengirim pesan pada seseorang. Tapi ternyata tidak. Riyan hanya sedang memahami gadis polos di depannya itu, karena sebenarnya ia merasa geli sendiri dengan tingkah anak PKL yang satu ini, hingga membuat Riyan bicara dalam hati.

“Anak ini tidak seperti sedang mencari perhatian. Dia datang dengan kesungguhan. Apa ancamanku tadi siang itu terlalu membuat fikiran untuknya sampai harus datang malam-malam begini?” batin Riyan.

Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.

“Sebenarnya, kau tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status