Share

13. GARA-GARA SAOS

Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir. 

Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.

Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.

“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.

“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.

“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.

Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.

“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya. 

Aku bukan dari keluarga yang selalu ada uang untuk membayar apapun. 

Kemarin aku baru dapat kiriman dari orang tuaku. Adikku bilang sebagian dari kiriman itu adalah hasil pinjaman… 

Wajar kalau aku kasihan melihat orang tuaku… Jangan-jangan, pinjaman yang sebelumnya juga belum lunas…” ujar Aiza dengan suara lirih.

Ainy pun tersenyum mendengar penjelasan temannya itu.

“Hidup itu semuanya sama, Za. 

Tingkat kesulitannya yang berbeda.

Kamu sedih karena memikirkan hutang orang tua. Aku mengerti, mungkin maksud kamu… gali lobang tutup lobang yah kan…” lanjut Ainy.

“Yah begitulah. Andai saja… selesai kuliah nanti, aku bisa langsung dapat kerja. Biar aku bisa bantu orang tua untuk membayar hutang…” harap Aiza.

“Bukan kamu saja yang merasakan hal seperti itu, Za. 

Aku juga sama seperti kamu. Cuma mungkin prosesnya berbeda. 

Orang tuaku juga, harus menjual sebidang tanah untuk keperluanku saja… belum lagi keperluan adik-adikku…” jelas Ainy. 

Mendengar itu, hati Aiza pun tersentuh.

“Oh ya? Euumm iya yah… tapi kamu masih enak , masih ada yang dijual. 

Lah, aku? kalau misalnya orang tuaku nggak bisa bayar, tentu akan menambah masalah. 

Kalau uangnya dipinjam sama saudara, tentu akan membuat perselisihan antar-saudara. 

Kalau minjam dari orang lain, bisa saja kan nantinya dipermalukan seperti yang di filem-filem itu…” desis Aiza membuat Aizy pun cengengesan.

“Kamu kalau mikir itu ketingian…”celutuk Ainy.

“Ya, maaf… imajinasi aku langsung melayang tinggi…”sanggah Aiza.

“Iya… tapi jangan terlalu berfikiran seperti itu. Berfikir positif aja, karena terkadang, fikiran positif itu yang mendekatkan kita dengan hal-hal yang positif. 

Coba fikir, orang tua kamu bisa dapat pinjaman… bukankah itu bagian dari rejeki juga?” Ainy pun mengingatkan.

“Iya juga sih…” sahut Aiza setuju.

“Nah, gitu aja mikirnya. Coba kalau pinjaman pun nggak dapat?”

“Makasih, Ny… selama mengenal kalian, rasanya aku banyak mengerti arti pertemanan…” salut Aiza.

“Hhhmmm, baguslah. Itu artinya, pertememanan kita juga rejeki… yah ‘kan?” ucap Ainy. 

Keduanya pun hanya bisa tersenyum.

Tak berapa lama, Ria pun mendekat,

“Wah, sudah mulai dikerjakan ternyata…” lontarnya tiba-tiba.

“Yaiyalah. Lebih cepat kan lebih bagus…” komentar Ainy.

“Kamu baru keluar kelas yah?”tanyanya.

“Iya. Tadi aku sekalian mengembalikan buku yang aku pinjam dari perpustakaan, makanya aku agak lamaan. 

Oh ya, kak Ros dan Kiran kemana?” tanya Ria.

Belum sempat ada yang menjawa, tiba-tiba Kiran dan Rosni pun turun dari sebuah becak yang berhenti di depan gerbang sekolah.

“Tuh, panjang umur…” celutuk Aiza melihat orang yang baru saja ditanyakan Ria.

“Kalian baru dari mana?” tanya Ria.

“Baru temani Rosni dari ATM…” sahut Kiran.

“Wah, kalian nggak bilang-bilang mau keluar. ‘Kan harusnya bisa titip makanan…” keluh Ria.

“Makanan aja pun yang kau tahu…” omel Rosni sambil menyodorkan sebuah kantongan berwarna biru.

“Nih, tadi aku beliin ini. Nggak tahu yah kalian suka atau nggak…” ujar Rosni. 

Segera mereka menyerbu benda itu. Ternyata kantongan itu berisi beberapa kue.

“Widiiihhh, makasih banyak kak Ros, semoga selalu banyak rejeki…” ujar Ria cengengesan.

Aiza pun berdiri, untuk membukakan saos sachet utuk sebuah risoles yang akan dia makan. 

Namun tiba-tiba ujung saos itu menyembur mengenai kemeja putih seseorang yang tiba-tiba melintas di dekatnya.

“Astaga…” lirih Rosni.

“Mampus…” umpat Ria.

Suasana pun langsung hening. 

Tak ada yang berani mengeluarkan suara. Kunyahan yang ada di dalam mulut masing-masing pun seketika ingin tertelan bulat-bulat. 

Mereka menyembunyikan makanannya dari hadapan pria itu.

Ternyata seseorang yang sedang mengenakan kemeja putih itu adalah Pak Riyan, yang baru saja memarkirkan mobil hitamnya di depan gerbang sekolah, dan akan menuju ke ruangannya.

Sedang Aiza hanya bisa tertegun melihat kemeja yang dikenakan Pak Riyan. 

Wajah gadis itu merona menahan malu atas kecerobohannya itu.

“Sudah?” tegur Riyan dengan nada kesal melihat lengan kemejanya itu dinodai saos.

“Maaf, Pak…” hanya itu yang spontan keluar dari mulut Aiza.

“Selalu… selalu… dan selalu kamu dan kecerobohan kamu itu…” gertaknya. 

Meski dengan nada yang pelan, namun sempat mengundang perhatian orang-orang sekitar, terutama 2 pekerja bangunan yang sedang membuat taman itu.

Riyan bisa melihat rasa bersalah di wajah Aiza. Namun, ia tidak ingin menurunkan wibawanya di depan gadis-gadis itu. 

“Apa kalian tidak bisa makan di tempat yang lebih baik, sampai harus makan di jalanan seperti ini…?” ucapnya tegas. 

Kelima anak PKL itu hanya bisa terdiam.

“Kami… minta maaf yah, Pak…” sahut Aiza dengan nada memelas.

“Anak-anak saja tahu kalau makan berdiri itu nggak baik. Masa kamu makan sambil berdiri…” Riyan penunjukkan rasa kesalnya.

“Itu tadi…” Aiza pun tergugup.

“Udah nggak usah banyak bicara… Mungkin begini cara kalian untuk meninggalkan kesan di sekolah ini. 

Tapi kalian harus ingat… karena hal ini…. saya bisa saja memberi nilai yang buruk untuk hasil kerja kalian…” ucap Riyan mengancam yang segera beranjak  meninggalkan kelima gadis yang kebingungan mendengar kalimat itu.

“Ya… ya… aduh…” cemas mereka hampir serentak.

“Aaahhh…” Aiza memukul kepalanya dan mengutuk dirinya.

“Addduuuuuhhh, gimana ini? Pak Riyan mengancam kita…” ujar Rosni yang juga cemas.

“Aku… ini semua salahku. 

Apa aku harus mendatanginya dan minta maaf…?” raut kesedihan pun menghiasi wajah Aiza menahan tangis.

“Kau sudah bilang maaf berkali-kali tadi… tapi sepertinya pak Riyan kesal sekali…” sahut Ainy.

“Kok bisa sih saos kamu menyembur gitu?” lontar Ria yang semakin membuat hati Aiza merasa bersalah.

“Sudahlah, nggak usah terlalu ditanggapi. 

Wajar orang kesal ngomongnya jadi berserakan gitu… Siapa tahu juga, sebelumnya Pak Riyan memang sudah kesal…” sambung Kiran mencoba menenangkan.

“Iya, tapi bagaimana kalau nilai kita beneran buruk? Sia-sia dong usaha kita selama di sini,” ujar Ria cemas.

Aiza kembali ke tempat duduknya dengan gerakan yang lemas, mendengar kalimat Ria yang seolah menyindirnya.

“Aku minta maaf… ini semua gara-gara aku…” ujar Aiza.

“Aku juga yang salah… kenapa aku membeli makanan yang akhirnya bikin sial ini…” gerutu Rosni.

“Hhuuusssss… jangan bilang begitu. 

Semua makan itu rejeki. 

Nggak ada yang bikin sial. Bagus-bagus kalau bicara…” sanggah Kiran.

“Ini semua salah kita semua kok…”Akhirnya Ria pun memilih untuk menyalahkan semua.

“Kalau kita nggak makan di jalanan begini, nggak mungkin semua jadi seperti ini…” ucapnya.

“Yah, bagaimana pun kita nggak boleh saling menyalahkan. 

Kita akui kesalahan kita secara bersama.

Masalah nilai yah sudahlah, yang penting kita sudah berusaha semaksimal mungkin. 

Ini hanya kesalahan di luar dugaan yang kapan saja bisa terjadi. 

Sudah Za… kamu nggak perlu menangis… Kita udah jalani semua sama-sama… jadi masalah nilai yah itulah nilai kita bersama…” Ainy pun berusaha menguatkan Aiza agar tidak terpuruk sendirian gara-gara saos.

Namun bagaimana pun, Aiza masih terus menitikkan air matanya tanpa suara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status