Share

5. Gundukan Tanah

Alina bergeming di tempatnya mendengar penuturan Ardan. Jual diri? Alina memang menjualnya pada Dipta, tapi untuk menemaninya saja, Alina tidak berpikir sejauh itu jika adik tirinya akan disuruh menjadi kupu-kupu malam. Ardan agaknya semakin emosi melihat istrinya hanya diam dengan mulut menganga, ia semakin mengacak rambutnya karena begitu emosi.

”Apa?! Apa sebenarnya kamu juga udah tau tentang ini?!” Mata Ardan memerah karena emosi, bahkan urat lehernya tercetak jelas.

Alina mengerjap sambil mengatur napas. ”Nggak, Mas. Kalo aku tau, nggak mungkin aku biarin Meli di luaran?” Ya, Alina memang berniat menyangkalnya karena tidak ingin menjadi sasaran emosi atau paling fatal rumah tangganya terancam jika mengiyakan.

Ardan tak sabar segera menaiki tangga hendak menuju kamar adik iparnya. Ia pulang lebih cepat, bahkan Ardan harus meminta izin pulang cepat karena pikirannya terganggu. Isi kepalanya hanya dipenuhi oleh Melisa yang seharusnya masih sekolah malah menjual diri di jalanan.

Brak! Brak! Brak!

Tangan Ardan dengan cepat menggedor pintu kamar Melisa. Jam menunjukkan pukul 15.24, dan sudah hampir 5 menit Ardan berdiri di depan kamar, tapi tetap tidak dibuka. Bahkan kamar Melisa seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.

”Melisa! Buka pintunya!” pekik Ardan beberapa kali.

Ctek!

Mata Alina membesar mendengar kenop pintu diputar, pintunya berderit saat perlahan terbuka. Alina mundur beberapa langkah, ia sungguh takut melihat kaca lemari Melisa yang memperlihatkan Melisa menjadi seorang makhluk menyeramkan.

Melisa keluar berhadapan dengan Ardan, memakai baju serba hitam. Melisa mendongak menatap Ardan, kemudian beralih pandangan ke arah Alina.

”Turun! Kakak mau ngomong.”

Ardan segera menuruni tangga, Alina segera menyamai langkah dengan Ardan karena takut untuk bersama dengan Melisa di belakang. Ardan dan Alina menunggu di meja makan, Melisa tertinggal jauh dengan langkah kaki yang sangat lamban. Rahang Ardan mengeras menatap adik iparnya yang baru saja duduk berhadapan dengannya.

”Ke mana aja kamu selama seminggu kemarin?” Pertanyaan dari Ardan mulai dilontarkan. Alina dapat melihat bagian bibir adiknya menyungging senyum miring sambil menatapnya.

”Jawab!”

Kepala Melisa miring, ia mulai terkekeh dan tetap menatap Alina yang sudah bergetar ketakutan.

”Aku ada di bawah pohon kamboja, dikelilingi kebun bambu lebat.” Kemudian Melisa tertawa nyaring.

Alina bergidik, bayangan mengerikan yang ia lihat kemarin seakan mempertegas jika Melisa sebenarnya sudah menjadi hantu, hanya saja ia tidak bisa mengatakan kebenarannya jika adik tirinya itu sudah mati.

”Ngomong apa kamu?!” Ardan berkerut mendengar jawaban iparnya. ”Jangan berbelit-belit, Melisa!”

Namun Melisa hanya tertawa tanpa menggubris perkataan Ardan. Melisa justru mendorong kursinya sambil berdiri, ia memilih menaiki tangga hingga terdengar bunyi pintu tertutup di lantai atas, mengabaikan Ardan yang tak berkedip karena menurutnya Melisa berubah.

***

Alina berniat ke rumah Dipta setelah memastikan Ardan sudah tidur. Jam menunjukkan pukul 8 malam, Alina berjalan mengendap saat melewati kamar Melisa. Ia bahkan sampai menahan napas karena takut Melisa keluar.

Ctek!

Mata Alina membulat karena kenop pintu Melisa memutar. Ia segera berlari menuruni tangga dengan napas tersengal-sengal. Tubuhnya luruh karena lega sambil bersandar ke tembok, matanya memejam karena Melisa tidak melihatnya.

Saat malam tiba dan penghuni rumah sudah berada di kamar, keadaan lantai bawah hanya dari lampu kristal menjadikan cahaya di ruangan berbentuk persegi panjang ini remang-remang. Alina hendak bangkit dari duduknya, matanya terbuka, ada sepasang kaki telanjang berdiri di hadapannya. Kaki-kaki itu membiru seperti lama sekali berada di air. Deru napas Alina saling berkejaran.

Melisa tengah menatap datar Alina yang baru saja mendongak ke arahnya. Baju yang dikenakan Melisa sama seperti pertama kali pulang setelah hilang seminggu. Baju basah dan lusuh dengan air kecokelatan menetes.

”Ka-kamu ngapain,” ucap Alina, nyalinya ciut berhadapan dengan Melisa.

”Teteh, aku ikut.”

Suara datar dari Melisa membuat Alina menyadari, memang ada yang tidak beres pada adik tirinya. Bahkan saat ia terlalu dekat dengan Melisa, akan tercium aroma tak sedap seperti bangkai.

”Ambil aku diantara pohon bambu, Teh.”

Alina berdiri dan mendorong Melisa, namun tidak ada yang terjadi, Melisa tetap berdiri tegak.

”Kamu bukan Melisa! Melisa ada di rumah Dipta!” pekik Alina. Ia mengumpulkan keberanian yang tersisa.

Melisa hanya menyungging senyum di hadapan Alina, senyuman yang tampak mengerikan menurutnya. Alina segera bergegas menuju rumah Dipta, mengabaikan keberadaan Melisa dengan kepala miring ke mana pun Alina melangkah.

Mesin mobil dinyalakan, kemudian Alina segera menginjak pedal gas. Sepanjang jalan, ia terus berpikir mencoba menggunakan logika. Akan tetapi, hatinya terus berkata jika Melisa bukanlah Melisa yang sebenarnya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang buruk, yang terjadi pada adik tirinya.

Jalanan lengang kali ini hingga Alina tak terjebak macet seperti biasanya. 10 meter lagi, ia akan sampai di halaman rumah Dipta. Mobilnya berbelok dan berhenti di depan rumah Dipta, Alina segera turun. Alina menatap sekelilingnya, rumah mewah yang ditempati Dipta terlihat sepi.

Alina menggedor pintu, meneriaki nama temannya. Bel pun sudah beberapa kali dipencet, tetap saja, tidak ada yang membuka pintu. Alina memilih duduk di kursi yang ada di depan rumah, hingga matanya menyipit melihat pohon bunga kamboja di samping rumah nampak berbunga lebat.

”Pohon kamboja?” gumamnya. Langkahnya mulai mendekati pohon kamboja, tapi karena di area yang ia dekati sangat gelap, Alina mengambil ponsel untuk menyalakan senter.

”Aku ada di bawah pohon kamboja, dikelilingi kebun bambu lebat.”

Kata-kata Melisa pagi tadi membuat Alina berpikir, ”Apa kamboja yang dimaksud Melisa itu di sini? Tapi ... mana kebun bambu yang dia bilang?”

Alina semakin melangkah maju, ponselnya dia arahkan ke arah pohon kamboja yang tumbuh subur. Binatang malam terdengar saling bersahutan, bahkan anjing tetangga menyalak seperti ke arahnya.

”Apaan, sih,” gumamnya acuh. Ia berjalan sudah hampir ke belakang rumah, bunyi gesekan daun membuat Alina kembali mengarahkan senter dan terlihat, hamparan kebun bambu lebat di belakang rumah Dipta.

”Rumah sih udah mewah, tapi bikinnya malah di kampung gini,” ocehnya.

Dug!

Alina terjerembab, ponselnya jatuh. ”Apaan, sih? Gue kesandung apaan.” Ia merangkak mengambil ponsel, Alina mulai berdiri dan menepuk baju dan celana jeans-nya yang kotor terkena tanah.

”Gundukan apa ini? Kayak kuburan.” Ia berjongkok, mengamati gundukan di hadapannya. Tengkuknya tiba-tiba terasa dingin, indera pendengarannya menajam. Bambu yang semula tenang kini saling berderit karena bergesekan.

”Hah, apa itu, apa itu,” ujar Alina, napasnya memburu. Sayup-sayup telinganya mendengar isak tangis yang terasa dekat, namun ia tidak tahu tepatnya di mana. Terkadang bunyi tangisan itu terasa ada di belakangnya, akan tetapi saat Alina memutar badan, tangisan itu berpindah.

Ponselnya berbunyi, ia mendapat pesan di aplikasi hijau. Pesan yang sama dari nomor yang berjumlah 5 angka itu. Tangannya bergetar saat menyentuh tanda hijau untuk memutar pesan suara.

”Aku ada di bawahmu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status