Home / Thriller / TEH ... AKU DI SINI / 5. Gundukan Tanah

Share

5. Gundukan Tanah

last update Last Updated: 2022-10-14 15:26:50

Alina bergeming di tempatnya mendengar penuturan Ardan. Jual diri? Alina memang menjualnya pada Dipta, tapi untuk menemaninya saja, Alina tidak berpikir sejauh itu jika adik tirinya akan disuruh menjadi kupu-kupu malam. Ardan agaknya semakin emosi melihat istrinya hanya diam dengan mulut menganga, ia semakin mengacak rambutnya karena begitu emosi.

”Apa?! Apa sebenarnya kamu juga udah tau tentang ini?!” Mata Ardan memerah karena emosi, bahkan urat lehernya tercetak jelas.

Alina mengerjap sambil mengatur napas. ”Nggak, Mas. Kalo aku tau, nggak mungkin aku biarin Meli di luaran?” Ya, Alina memang berniat menyangkalnya karena tidak ingin menjadi sasaran emosi atau paling fatal rumah tangganya terancam jika mengiyakan.

Ardan tak sabar segera menaiki tangga hendak menuju kamar adik iparnya. Ia pulang lebih cepat, bahkan Ardan harus meminta izin pulang cepat karena pikirannya terganggu. Isi kepalanya hanya dipenuhi oleh Melisa yang seharusnya masih sekolah malah menjual diri di jalanan.

Brak! Brak! Brak!

Tangan Ardan dengan cepat menggedor pintu kamar Melisa. Jam menunjukkan pukul 15.24, dan sudah hampir 5 menit Ardan berdiri di depan kamar, tapi tetap tidak dibuka. Bahkan kamar Melisa seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.

”Melisa! Buka pintunya!” pekik Ardan beberapa kali.

Ctek!

Mata Alina membesar mendengar kenop pintu diputar, pintunya berderit saat perlahan terbuka. Alina mundur beberapa langkah, ia sungguh takut melihat kaca lemari Melisa yang memperlihatkan Melisa menjadi seorang makhluk menyeramkan.

Melisa keluar berhadapan dengan Ardan, memakai baju serba hitam. Melisa mendongak menatap Ardan, kemudian beralih pandangan ke arah Alina.

”Turun! Kakak mau ngomong.”

Ardan segera menuruni tangga, Alina segera menyamai langkah dengan Ardan karena takut untuk bersama dengan Melisa di belakang. Ardan dan Alina menunggu di meja makan, Melisa tertinggal jauh dengan langkah kaki yang sangat lamban. Rahang Ardan mengeras menatap adik iparnya yang baru saja duduk berhadapan dengannya.

”Ke mana aja kamu selama seminggu kemarin?” Pertanyaan dari Ardan mulai dilontarkan. Alina dapat melihat bagian bibir adiknya menyungging senyum miring sambil menatapnya.

”Jawab!”

Kepala Melisa miring, ia mulai terkekeh dan tetap menatap Alina yang sudah bergetar ketakutan.

”Aku ada di bawah pohon kamboja, dikelilingi kebun bambu lebat.” Kemudian Melisa tertawa nyaring.

Alina bergidik, bayangan mengerikan yang ia lihat kemarin seakan mempertegas jika Melisa sebenarnya sudah menjadi hantu, hanya saja ia tidak bisa mengatakan kebenarannya jika adik tirinya itu sudah mati.

”Ngomong apa kamu?!” Ardan berkerut mendengar jawaban iparnya. ”Jangan berbelit-belit, Melisa!”

Namun Melisa hanya tertawa tanpa menggubris perkataan Ardan. Melisa justru mendorong kursinya sambil berdiri, ia memilih menaiki tangga hingga terdengar bunyi pintu tertutup di lantai atas, mengabaikan Ardan yang tak berkedip karena menurutnya Melisa berubah.

***

Alina berniat ke rumah Dipta setelah memastikan Ardan sudah tidur. Jam menunjukkan pukul 8 malam, Alina berjalan mengendap saat melewati kamar Melisa. Ia bahkan sampai menahan napas karena takut Melisa keluar.

Ctek!

Mata Alina membulat karena kenop pintu Melisa memutar. Ia segera berlari menuruni tangga dengan napas tersengal-sengal. Tubuhnya luruh karena lega sambil bersandar ke tembok, matanya memejam karena Melisa tidak melihatnya.

Saat malam tiba dan penghuni rumah sudah berada di kamar, keadaan lantai bawah hanya dari lampu kristal menjadikan cahaya di ruangan berbentuk persegi panjang ini remang-remang. Alina hendak bangkit dari duduknya, matanya terbuka, ada sepasang kaki telanjang berdiri di hadapannya. Kaki-kaki itu membiru seperti lama sekali berada di air. Deru napas Alina saling berkejaran.

Melisa tengah menatap datar Alina yang baru saja mendongak ke arahnya. Baju yang dikenakan Melisa sama seperti pertama kali pulang setelah hilang seminggu. Baju basah dan lusuh dengan air kecokelatan menetes.

”Ka-kamu ngapain,” ucap Alina, nyalinya ciut berhadapan dengan Melisa.

”Teteh, aku ikut.”

Suara datar dari Melisa membuat Alina menyadari, memang ada yang tidak beres pada adik tirinya. Bahkan saat ia terlalu dekat dengan Melisa, akan tercium aroma tak sedap seperti bangkai.

”Ambil aku diantara pohon bambu, Teh.”

Alina berdiri dan mendorong Melisa, namun tidak ada yang terjadi, Melisa tetap berdiri tegak.

”Kamu bukan Melisa! Melisa ada di rumah Dipta!” pekik Alina. Ia mengumpulkan keberanian yang tersisa.

Melisa hanya menyungging senyum di hadapan Alina, senyuman yang tampak mengerikan menurutnya. Alina segera bergegas menuju rumah Dipta, mengabaikan keberadaan Melisa dengan kepala miring ke mana pun Alina melangkah.

Mesin mobil dinyalakan, kemudian Alina segera menginjak pedal gas. Sepanjang jalan, ia terus berpikir mencoba menggunakan logika. Akan tetapi, hatinya terus berkata jika Melisa bukanlah Melisa yang sebenarnya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang buruk, yang terjadi pada adik tirinya.

Jalanan lengang kali ini hingga Alina tak terjebak macet seperti biasanya. 10 meter lagi, ia akan sampai di halaman rumah Dipta. Mobilnya berbelok dan berhenti di depan rumah Dipta, Alina segera turun. Alina menatap sekelilingnya, rumah mewah yang ditempati Dipta terlihat sepi.

Alina menggedor pintu, meneriaki nama temannya. Bel pun sudah beberapa kali dipencet, tetap saja, tidak ada yang membuka pintu. Alina memilih duduk di kursi yang ada di depan rumah, hingga matanya menyipit melihat pohon bunga kamboja di samping rumah nampak berbunga lebat.

”Pohon kamboja?” gumamnya. Langkahnya mulai mendekati pohon kamboja, tapi karena di area yang ia dekati sangat gelap, Alina mengambil ponsel untuk menyalakan senter.

”Aku ada di bawah pohon kamboja, dikelilingi kebun bambu lebat.”

Kata-kata Melisa pagi tadi membuat Alina berpikir, ”Apa kamboja yang dimaksud Melisa itu di sini? Tapi ... mana kebun bambu yang dia bilang?”

Alina semakin melangkah maju, ponselnya dia arahkan ke arah pohon kamboja yang tumbuh subur. Binatang malam terdengar saling bersahutan, bahkan anjing tetangga menyalak seperti ke arahnya.

”Apaan, sih,” gumamnya acuh. Ia berjalan sudah hampir ke belakang rumah, bunyi gesekan daun membuat Alina kembali mengarahkan senter dan terlihat, hamparan kebun bambu lebat di belakang rumah Dipta.

”Rumah sih udah mewah, tapi bikinnya malah di kampung gini,” ocehnya.

Dug!

Alina terjerembab, ponselnya jatuh. ”Apaan, sih? Gue kesandung apaan.” Ia merangkak mengambil ponsel, Alina mulai berdiri dan menepuk baju dan celana jeans-nya yang kotor terkena tanah.

”Gundukan apa ini? Kayak kuburan.” Ia berjongkok, mengamati gundukan di hadapannya. Tengkuknya tiba-tiba terasa dingin, indera pendengarannya menajam. Bambu yang semula tenang kini saling berderit karena bergesekan.

”Hah, apa itu, apa itu,” ujar Alina, napasnya memburu. Sayup-sayup telinganya mendengar isak tangis yang terasa dekat, namun ia tidak tahu tepatnya di mana. Terkadang bunyi tangisan itu terasa ada di belakangnya, akan tetapi saat Alina memutar badan, tangisan itu berpindah.

Ponselnya berbunyi, ia mendapat pesan di aplikasi hijau. Pesan yang sama dari nomor yang berjumlah 5 angka itu. Tangannya bergetar saat menyentuh tanda hijau untuk memutar pesan suara.

”Aku ada di bawahmu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TEH ... AKU DI SINI   46. Pengorbanan dan Berkorban

    Baku tembak antara pengawal yang dibawa oleh Rose dengan sekawanan orang memakai jas tak terelakkan. Clara sudah bersimbah darah karena kepala Rose yang tertembak terus menerus mengucurkan darah. Clara hanya memejamkan mata, mencoba menerima jika ia akan dijemput oleh ajal saat itu juga. Tubuhnya gemetar hebat. Malaikat maut seakan mengintai hendak mencabut nyawa siapa pun yang ada di sana. Desing peluru telah berhenti. Clara masih memejamkan mata dan mulai berpikir, kali ini ia akan menjadi tawanan oleh orang berbeda. Tangan dan kakinya terbebas, Clara membuka mata dan mendapati sepasang mata yang ia kenali memindahkan jasad Rose. Lantai kayu ini berubah berwarna merah dan berbau anyir. Semua pengawal Rose telah kalah telak oleh anak buah Dipta. ”Kita mau ke mana?” Dipta terus saja menarik tangan Clara setelah ke luar dari rumah itu. Dipta menarik tangan Clara memasuki hutan yang masih lebat. Riko dan Panji membabat habis pohon yang menghalangi jalan dengan parang.”Kita ambil tu

  • TEH ... AKU DI SINI   45. Sahutan Pistol

    Dunia benar - benar berjalan seperti apa yang diharapkan untuk penjahat besar. Mereka bahkan bisa mempermainkan seseorang seperti bidak catur yang digerakkan maju, atau mundur. Alina masih saja meringkuk, menatap kotak berisi jari mungil manusia yang ia perkirakan, adalah jemari beberapa bayi atau anak-anak.”Nyokap Erika udah pergi?” ujarnya bermonolog.Alina menyelinap diam-diam, sembari mengingat ucapan Erika tentang patung dan buku kuno yang ada di perpustakaan. Alina ingin mengetahui perihal ini. Ia ingin memperjelas, jika orang tua Erika tidak terlibat soal ini. Tangga ini meliuk seperti ular kobra yang menganga. Tidak tidur membuat otak Alina berhalusinasi. Rumah bercahaya temaram, dan beberapa ruangan tidak dinyalakan, membuat Alina merasa menggigil.”Tolong kami ....””Siapa itu?” Suara bisikan saat Alina sampai di tangga terakhir ia dengar. Suaranya serak, dan bergetar. Menoleh ke sana ke mari, tidak ada apa-apa. Meyakinkan diri, jika salah dengar, Alina kembali menapaki la

  • TEH ... AKU DI SINI   44. Semakin Tidak Mengerti

    Kengerian yang dirasakan oleh Clara membuat sekujur tubuhnya terasa dingin. Dingin yang dirasakan tubuhnya bukan perihal pakaian yang telah ditanggalkan, tetapi perasaan takut yang kini hinggap ketika melihat wajah Melisa begitu ayu dalam balutan jasad yang masih hidup. Beruntung tali yang mengikatnya terlepas secara ajaib. Baju yang berserakan Clara punguti sebelum gadis berwajah sama persis dengan Melisa menyadari ia telah pergi. Clara bertelanjang kaki, bersahabat dengan kerikil dingin yang semakin menusuk. Ia sudah terbebas dari bangunan setengah jadi itu. Dikejauhan, terdengar olehnya teriakan dari gedung tinggi itu. Clara semakin mempercepat langkah.Brug!Baru saja menginjakkan kaki di jalan besar, sebuah mobil mengkilap hampir menabraknya. Clara tergelincir, bajunya yang sudah compang camping itu tidak bisa menahan p4ntatnya mendarat ke aspal. Clara mengaduh, dan mendengar mesin berhenti. ”Rose ....”Seorang wanita berwajah bule berdiri di hadapannya, mengernyit. Mungkin wan

  • TEH ... AKU DI SINI   43. Menjadi Tawanan

    Kepala ketiga wanita ini terasa ringan, bahkan tubuhnya merasa melayang. Sejak pocong berukuran besar itu menyuarakan mantera, asap keabuan seakan menyelimuti rumah ini hingga ketiga wanita itu pun tak sadarkan diri. Derak langkah segerombolan orang merangsek masuk, tak mengindahkan wajah-wajah seram yang masih berdiri di kiri kanan. Segerombolan orang itu tetap memanggul satu per satu tubuh si wanita.Gadis cantik berjubah merah turun dari mobil, membunyikan lonceng, membuat para wajah seram itu kembali ke tempat pengap di sana. Gadis ini hanya menampilkan ekspresi datar memandangi para lelaki tengah saling bahu membahu membawa ketiga wanita. Ini sudah hampir subuh. Segerombolan orang-orang ini seakan tidak merasakan kantuk. Mereka menyalakan obor untuk menerangi ruangan di lantai empat. Tidak ada satu pun kendaraan yang akan lewat pada area ini. Orang-orang ini bekerja tanpa suara, seolah sudah di luar kepala apa saja yang hendak dilakukan.”Alina?”Wajah Alina masih saja diam kare

  • TEH ... AKU DI SINI   42. Pembawa Obor

    ***Ada saja hal yang seharusnya tidak perlu kita mengerti, meski sebagian dari dalam diri seakan mendengar bisikan untuk mencari tahu agar mengetahui. Sebagian besar memilih untuk mundur dibanding terlibat terlalu dalam.---Clara mendorong pintu yang terasa sangat berat, napasnya tak beraturan, keringatnya bercucuran. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar, dibarengi tapak langkah banyak orang di depan rumah. Clara sudah menutup tirai, dan tidak ingin membukanya hanya untuk menegaskan apa yang ada di benak. Sahut-sahutan suara memanggil namanya, tetapi Clara tetap saja diam meringkuk di balik pintu. Clara benar-benar dikuasai rasa takut. Sekelebat memori saat di hutan perawan itu kembali memenuhi kepala. Clara takut Melisa yang saat itu mengejarnya pun turut ada di antara banyaknya pocong yang tengah mengerubungi di depan rumah sewaan ini. Sudah 15 menit berlalu, langkah-langkah itu tak lagi sekeras tadi terdengar. Langkah kaki mulai terdengar menjauh dari pekarangan, tetapi

  • TEH ... AKU DI SINI   41. Bermuka dua

    Ada saja hal yang tidak bisa dijelaskan dengan baik, seperti situasi yang dihadapi orang-orang yang memiliki pertanyaan besar perihal ... siapa gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengan Melisa? 2 jam lalu, adalah 2 jam yang menegangkan. Alina berhasil lepas dari cengkraman tangan Melisa misterius itu karena Melisa yang melepasnya dan kembali pergi. Erika yang memilih mengemudi karena Alina beberapa kali menghirup inhaler dan udara yang terasa menipis. Erika merasa kasihan pada sahabatnya itu, karena ketika terserang panik dan takut, tubuhnya akan memberi respon dan berujung sesak napas. Ia sering kali meminta Alina untuk diam saja di rumah, akan tetapi rentetan masalah ini, sahabatnya itu tetap ingin bertanggungjawab dan tak mau melimpahkan segalanya pada Erika.”Lo udah lebih baik?” tanya Erika, sesekali ia melirik sahabatnya yang masih memegangi inhaler di tangan kiri.Alina tak kuasa menjawab, hanya mengangguk saja karena tengah menetralkan pernapasan. Inhaler kembali Alina hi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status