Share

6. Tolong Aku ...

Alina masih diam sambil mengaduk kopi yang sudah dingin, pandangannya mengarah ke laptop yang tak menyala. Kali ini, Alina merasa tidak enak badan karena semalam saat di rumah Dipta, kehujanan. Alina pun tidak bertemu dengan Dipta, justru kali ini ia malah merasa sedikit demam.

”Gue kan udah ngomong 10 hari lagi ke sana, mungkin Melisa lagi dibawa jalan sama Dipta?” Alina bermonolog. Sebenarnya ia hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri.

”Terus ... apa maksud Melisa?” Kepalanya bertambah pening memikirkan itu semua, bahkan praduga Melisa hantu membuatnya bergidik. ”Kalo Melisa mati, ntar gue ikut keseret ke penjara!” Alina menggeleng, ia bertekad untuk ke rumah Dipta lagi 3 hari ke depan, karena saat ini ia sedang tidak sehat.

Untuk mengalihkan pikirannya dari hal rumit, Alina memilih berdiri sambil membawa cangkir kopi yang sudah dingin ke tempat barista.

”Ganti yang panas, jangan pake gula.”

”Lo kenapa sih, Lin?”

”Rika?”

Alina segera menarik tangan Rika untuk masuk ke ruangannya, ia melupakan kopi pahit yang ditunggu. Ia merasa ingin bercerita pada Rika, akan tetapi Alina tidak yakin akan mengatakannya karena Rika bisa saja mengatakan pada Ardan. Namun, memendam semuanya sendiri dengan prasangka buruk yang selalu datang di otaknya, Alina tidak bisa.

Rika menghempaskan tangannya yang dipegang kuat oleh Alina, sebelumnya. Ia memandang sahabatnya dengan tatapan menyipit.

”Lo kenapa? Aneh banget tau nggak, kek habis bu-nuh orang aja.”

Kata-kata spontan yang diucapkan sahabatnya membuat Alina pias. Jika memang Dipta sudah melakukan pembu-nuhan, itu artinya ia juga sama menjadi pembu-nuh? Kini rasa ragu untuk bercerita pada Rika semakin besar. Alina memilih duduk di kursi empuknya hingga kursi itu berderit.

”Heh, seriusan. Lo kenapa?”

Rika memandangi wajah pucat sahabatnya. Kacamata yang ia pakai bahkan dibuka agar melihat dengan jelas wajah Alina.

”Lo mau ke rumah gue nggak?” Bukan tanpa alasan, Alina meminta Rika ke rumah hanya untuk menguatkan dugaannya saja.

”Lah, ngapain? Emang lo tetep gaji gue kalo nggak kerja hari ini dan malah nonton di rumah lo?” ucap Rika sarkas.

”Ya ampun, Rika. Emang gue sepelit itu? Udah, ayo kita ke rumah gue.”

Saat Alina hendak bangkit, Rika justru mencegahnya membuat Alina kembali duduk sambil menatap lekat Rika.

”Gue mau ke rumah lo, tapi gue juga ada yang mau diomongin.” Alina menatap seksama pada Rika, dan menunggu ia melanjutkannya. ”Beberapa hari lalu, lo ngasih ke gue pesan dari nomor yang jumlahnya cuma 5 angka, kan? Ternyata, jam 1 dini hari gue pun dapet pesan itu dari nomor yang sama, Lin.”

Alina mereguk ludah dengan susah payah, ia tetap diam menunggu lanjutan cerita Rika.

”Gue nggak tau itu nomor dari siapa tau nomor gue, tapi pas gue buka, cuma ada pesan suara sekitar 5 detik gitu. Gue kesel sih, soalnya yang di pesan itu cuma kedenger orang teriak dan suara air.” Rika menatap langit-langit ruangan Alina. Rika bangkit setelah mengingat sesuatu.

”Dia juga ngirimin gue gambar, Lin!” Sorak suara Rika membuat Alina kaget, tak urung juga Alina ikut mendekat untuk melihat ponsel milik Rika itu.

Seorang wanita hanya terlihat bagian punggungnya, di mana bagian badan berada di bathtub yang airnya tumpah ruah. Punggung wanita itu banyak luka goresan. Alina memperbesar foto itu, memperhatikan area kamar mandi yang luas, seperti ia pernah melihatnya.

***

Brak! Brak! Brak!

”Awas aja kalo nggak di rumah.” Alina menggedor-gedor pintu rumah Dipta yang memang masih terlihat sepi. Firasatnya mengatakan jika Dipta pergi untuk menghindar darinya.

”Dipta! Keluar!” pekik Alina lantang.

Ia tidak mau terjadi hal yang fatal pada Melisa, dan jika Dipta meminta uang 100 juta itu, Alina siap karena memang uangnya tidak terpakai sama sekali. Setelah menerima uang itu, hati kecilnya seakan menolak meski egonya sangat besar, sebesar rasa bencinya terhadap Sintia.

Ibu tirinya mungkin bisa menodongkan pisau dapur padanya saat Alina membantah ucapannya, atau Alina mengadu pada ayahnya. Tapi Alina masih memiliki nurani untuk menyelamatkan Melisa dari lembah hitam milik Dipta. Iya, Alina marah. Bahkan jika kehormatan Melisa sudah terenggut, ia akan tertawa terbahak-bahak di hadapan Melisa, tapi melihat foto di ponsel Rika. Alina menggeleng untuk mengusir pikiran buruk yang terjadi.

”Bedebah! Keluar!”

Badan yang sedang tidak sehat kini mulai menggigil, bahkan tenggorokan mulai terasa gatal dan kering. Alina berjanji akan kemari di hari ke 10 seperti ucapannya tempo hari. Ia memilih pulang saja dan memberanikan diri untuk bertemu dengan Melisa.

40 menit kemudian, Alina sudah sampai di rumah. Motor Ardan masih belum ada, tandanya suaminya belum pulang. Alina mereguk ludah dengan susah payah seraya bangkit menuju rumah. Ada rasa takut saat hendak membuka pintu, terlintas bayangan makhluk mengerikan di kamar Melisa.

”Tapi kalau gue takut terus gimana gue tau,” ujarnya. Alina meraih kenop dan matanya membulat karena Melisa tengah berdiri di antara ruang tengah dan dapur. Baju yang dikenakan Melisa hanya dress selutut berwarna hitam yang di bagian lengannya terdapat kain transparan. Satu hal yang Alina sadari, sejak kepulangan Melisa, baju yang ia pakai hanya satu warna.

Alina melangkah untuk menuju dapur, yang artinya harus melewati tubuh Melisa yang berada di tengah ruangan.

”Teteh ....”

Napasnya tercekat mendengar Melisa memanggil. Alina menoleh, akan tetapi Melisa masih berdiri di tempat yang sama. Yaitu, memunggungi Alina yang kini berada di dapur.

”Kenapa teteh tega ....”

Isak tangis Melisa membuat Alina membeku. Tangis yang ia dengar sama persis seperti isakan yang ia dengar didekat gundukan yang berada di antara bunga kamboja dan pohon bambu.

”Kamu bukan Melisa!” bentak Alina, tanpa memutar tubuhnya dari kulkas yang terbuka semakin menambah dingin udara di sekeliling. ”Kalo kamu memang benar Melisa, harusnya kamu nggak hilang saat aku lihat di kaca. Sedangkan kamu? Entah makhluk apa kamu! Pergi dari rumahku!”

Badan Alina bergetar, ia menahan takut dan mencoba berani.

”Teh ... aku di sini. Aku kedinginan.”

Klek!

”Alina!”

Ardan segera berlari menuju Alina yang berhadapan dengan kulkas di posisi sesak napas. Tangannya bergetar, begitu juga bibirnya. Ardan menggendong istrinya menuju kamar, saat berhadapan dengan kamar Melisa terdengar kaca pecah. Ardan tidak memperdulikan dulu, kali ini ia harus fokus terhadap Alina.

”Minum obatnya dulu, jangan panik,” ucap Ardan sambil memberikan satu tablet pada Alina.

”Kamu kenapa lagi, Lin?”

Alina memilih bungkam, karena untuk mengatakannya pun Ardan tak akan percaya. Dan jika pun percaya, ini akan semakin membuatnya sulit.

”Kamu istirahat dulu, aku mau ke kamar Melisa, tadi aku denger ada yang pecah di sana,” ucap Ardan seraya berdiri.

Alina menarik kuat-kuat lengan suaminya agar tidak kemana-mana dengan tatapan memohon. ”Aku berantem sama Melisa, Mas. Aku takut sama dia,” racaunya.

Ardan mengelus lembut rambut istrinya seraya memperbaiki duduknya. ”Kamu kan dari tadi sendirian di depan kulkas, Lin?”

Mata Alina membesar. Alina duduk untuk menatap manik hitam suaminya. ”Se-sendiri?”

Ardan mengangguk, kemudian memilih pergi dari kamar untuk menuju kamar adik iparnya yang sudah dianggap seperti adik kandung sendiri. Ardan mengetuk pintu, berharap perang dingin antara Melisa dan Alina bisa diselesaikan baik-baik seperti sebelumnya.

Sebelum Melisa hilang, meski Alina setiap hari mencaci Melisa dengan kata-kata kasar, Melisa tetap riang dan bercerita banyak. Bahkan Melisa seakan tak memperdulikan cacian itu, Melisa dengan tegar tetap memperlakukan semua orang dengan baik.

Sudah beberapa ketukan, Ardan masih berada di depan pintu sayup-sayup mendengar isak tangis. Tangannya semakin mengetuk pintu itu agar segera terbuka.

”Mel, kamu nggak pa-pa?”

Hening.

”Mel ....”

Kemudian Ardan kembali mengetuk karena rasa khawatir terhadap Melisa yang terdengar menangis.

”Mel, buka dulu. Kamu kenapa? Sini cerita sama Kak Ardan. Jangan masukkan ke hati omongan Teteh. Mel?”

”Mel, Kak Ardan tinggal ya. Jangan nangis terus, udah malem.” Kemudian Ardan berbalik ke kamarnya. Ardan menatap Alina yang masih berada di posisi sama.

”Lin, coba cari pembantu buat nemenin Melisa di rumah, sekalian juga kan kita ada yang bantu?”

Alina menegakkan badan. Pembantu? Menemani Melisa? Kepalanya seketika pusing.

”Kasihan pembantunya, Mas!”

”Aku mau ada proyek dan nggak pulang 10 hari, Lin. Bukannya lebih baik ada pembantu di rumah ini?”

Mendengar Ardan hendak pergi selama 10 hari membuat Alina segera mengiyakan dan akan mencari asisten rumah tangga.

Keesokan harinya, Ardan benar-benar pergi dengan membawa beberapa baju dalam koper. Taxi sudah menunggu saat pagi buta untuk mengantar Ardan ke bandara. Alina hanya tersenyum dan melambaikan tangan saja hingga taxi yang dinaiki Ardan tak lagi terlihat.

Alina duduk di sofa panjang yang berhadapan dengan televisi. Menyalakan benda persegi itu untuk sekedar menemaninya saja agar tidak begitu sepi di bawah sendirian. Kerongkongannya terasa kering, Alina berjalan menuju kulkas untuk mengambil susu. Setelah mengambilnya, ia hendak kembali duduk di sofa, akan tetapi matanya membelalak karena Melisa sudah duduk di sana dengan gaun tidur berwarna putih polos.

Kepala Alina mulai berkedut, ia mensugesti dirinya sendiri agar tidak panik yang berakhir sesak napas. Alina segera menghabiskan susunya dengan susah payah. Semerbak bau bangkai dan wangi bunga kamboja menusuk indera penciuman.

”Tolong aku, Teh. Aku di bawah pohon kamboja, didekat pohon bambu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status