Grace melangkah mantap keluar dari lorong pesawat dan memasuki terminal kedatangan Logan International Airport, Boston. Lampu-lampu putih terang menyambutnya, membuat matanya sedikit menyipit. Di sekelilingnya, lautan manusia bergerak dengan ritme cepat, penumpang yang baru tiba, petugas bandara yang berjalan cepat sambil menenteng radio, dan para penjemput yang berdiri berjajar di balik pagar besi, beberapa membawa papan nama.Grae menggenggam gagang koper kecilnya dan menariknya menyusuri lantai terminal. Bunyi roda kopernya berdetak pelan, sesekali terganggu oleh sambungan lantai. Langkahnya teratur, meskipun pikirannya belum sepenuhnya tenang.Punggungnya masih pegal, bukan hanya karena kursi sempit dan sandaran yang tak bisa digunakan dengan layak, tapi juga karena kesabaran yang terkuras dalam penerbangan tadi.Di salah satu sisi terminal, dia berhenti sejenak. dIa mengeluarkan ponselnya dan membuka pesan terakhir yang masuk:“Jemputannya di pintu keluar D.” isi pesan dari supir
Grace tiba di kediaman Smith, Beberapa hari ini Villa terasa hening. Saaakan hanya dia saja penghuninya. Grace mengintip ke ruang makan, Tidak ada yang makan malam di sana. “Eum.., kemana mereka pergi!”Grace langsung menarik Tuan Thompson. “Kemana semua orang, mengapa sangat sepi di sini!”“Tuan dan yang lainnya sedang melakukan perjalanan ke Boston!”“Hah! Jauh sekali” kata Grace sambil mengangguk lalu bertanya lagi, “Berapa lama?”“Satu bulan!” jawab Tuan Thompson seraya mundur beberapa langkah lalu pergi.“Ei tunggu… satu bulan, tadi dia bilang satu bulan!” ujar grace sambil tertawa menutupi wajah.Grace merasa senang, sangking senangnya dia mengangkat satu tangannya ke atas dan mulai menari, seraya bersenandung, “Ye yei… Aw!”Keesokan paginya, Grace bangun dengan penuh semangat. “Wah, udara hari ini terasa sangat jernih!” pikirnya senang,Kali ini dia tidak melewatkan sarapan, bahkan menghabiskan semuanya dengan cepat. Selesai sarapan dia langsung pergi ke grup Smith. Seperti bi
Wajah Owen tersenyum melihat lampu gantung redup yang mengantung di atas pintu. “Kalian beruntung, malam ini, restorannya buka!”Grace dan Vivian dibuat semakin bingung. “Mana Restorannya.”Mereka bertiga pun masuk ke restoran tanpa nama, sekaligus diberi nama dengan beberapa sebutan. “Kalian pasti akan menyukai makanan di sini!” kata Owen.Seorang pelayan mendekati mereka. “Mau pesan rasa apa?”Owen tersenyum lalu berkata, “Rindu!”Pelayan itu mengangguk seraya mencatat, lalu menoleh kepada Grace dan Vivian yang benar-benar bingung dengan pertanyaan pelayan dan jawaban Owen. “Saat ini kalian sedang merasa seperti apa! kasih tahu ke pelayannya saja!” jelas pria itu.“Ah begitu ya!” pikir Grace, lalu menjawab, “Penasaran!”Vivian langsung berkata. “Eum… jatuh cinta!” katanya dengan suara pelan.Pelayan mencatat pesanan tiga orang itu. “Silakan ditunggu!” katanya.Grace berdehem, meminum air putih yang disajikan sejak awal mereka tiba. “Restoran ini unik dan sedikit aneh. Apa kau sering
Grace merasa malas berada di Villa semenjak ada Sienna. Dia elewatkan sarapan dan langsung pergi ke Grup Smith. Baru sampai lobi, dia langsung dirangkul oleh Vivian. “Hei! Hari ini temani aku ke butik gaun pengantin ya. Bantu aku pilih satu yang bagus!”Grace setengah tersenyum, “Eum…!”“Oh ayolah, calon ibu baptis!” bujuk Vivian lagi.“Apa pernikahannya benar-benar tidak bisa ditunda?” kata Grace setengah bercanda.Vivian mengernyitkan alisnya, “Kenapa? Katanya dengan nada sedikit curiga, “Apa kau menemukan sesuatu?” tanyanya sambil memegang bahu Grace dan sedikit mengguncangnya.“B-bukan begitu…!” jawab Grace sembari mencari jawaban yang tepat. “Ah itu! Hanya saja… eum, ya memang sayang dengan karir cemerlang yang mungkin sedang menantimu. Tapi, harus kau lepas!”“Eum… entahlah!” jawab Vivian yang mulai sedikit bimbang lagi.Di sore harinya, usai jam kerja. Grace dan Vivian sedikit terkejut melihat Owen Parker sudah berada di bawah lobi. “Nona Winter… Dan kau!” katanya menyapa lal
Di kamar utama yang remang dan sunyi, waktu seperti berhenti. Lucas menatap Grace lekat-lekat, seolah matanya sedang membaca setiap retakan kecil yang saat ini sedang mereka lalui bersama. Di antara keduanya, ada jarak yang tak kasat mata, bukan jarak ruang, tapi luka yang tertumpuk dan rindu yang tertahan. Tangannya menyentuh wajah Grace, perlahan, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh dan tak boleh rusak."Aku hampir lupa seperti apa rasanya tubuhmu," bisik Lucas, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam suara hujan di luar jendela.Grace tak menjawab. Dia hanya memejamkan mata sebentar, membiarkan sentuhan itu menyusup ke pori-porinya. Tangannya naik perlahan, menyentuh dada Lucas yang berdebar di balik kemeja setengah basahnya. Kehangatan itu nyata. Juga kekacauan dalam dirinya.Lucas menunduk, menyentuhkan dahinya ke kening Grace. Keduanya terdiam lama, seakan berbicara dalam diam, menukar isi hati lewat helaan napas dan detak jantung. Ketika bibir mereka akhirnya bersatu, t
Keesokan paginya, Grace bangun dengan kepala berat. Tidur malamnya tidak tenang, dipenuhi bayangan ruang bawah tanah rumah sakit dan wajah Owen yang tampak begitu lembut saat menyentuh tangan pasien misterius itu. Pagi itu, Vivian mengiriminya pesan soal meminta bantuannya untuk memilih undangan, pengaturan pemotretan prewedding. Tapi jari-jari Grace ragu saat hendak membalas."Apa aku tega merusak semuanya?" batinnya.Namun rasa curiga sudah terlanjur tumbuh seperti akar yang tak bisa dicabut begitu saja. Ketika bertemu di kantor. Grace bersikap biasa saja, memberikan masukan dan saran soal undangan dan detail pernikahan yang lainnya.Di sore harinya Grace memutuskan kembali ke rumah sakit St. Helena. Menjenguk ayahnya lagi sampai tengah malam. Tapi kali ini, tujuannya jelas, ingin menggali informasi.Dia menyapa perawat dengan ramah, melemparkan senyum sopan, dan mencari kesempatan untuk bertanya. Dia memulai dengan obrolan santai, mengeluhkan AC yang terlalu dingin, membahas sistem