Matahari sudah naik sedikit lebih tinggi ketika sarapan mereka berakhir. Piring-piring kosong menumpuk di atas meja, tapi tak seorang pun beranjak. Mereka seperti enggan membiarkan momen itu berlalu terlalu cepat.“Aku hampir lupa betapa enaknya sarapan buatanmu, Grace,” ujar Vivian sambil menyandarkan tubuh di kursi.“Sup sayuran ini rasanya persis seperti yang kau buat dulu.”Grace tersenyum bangga. “Aku memang sengaja membuat yang sama. Sup itu resep favorit kita dulu.”Vivian menyikut Alex pelan. “Dan lihat siapa yang sekarang kelihatan paling bahagia setelah makan.”Alex tertawa, menoleh ke Lucas. “Setidaknya aku tidak makan sebanyak kau.”Lucas pura-pura terkejut. “Hei, aku hanya memastikan tidak ada makanan tersisa sia-sia.”Grace menggeleng sambil terkekeh. Alric mengoceh kecil, seakan ikut menanggapi. Vivian langsung mendekat, mencium pipi bayi itu. “Lihat, dia setuju denganku. Pasti dia suka melihat semua orang tertawa.”“Dia memang suka suasana ramai,” kata Lucas sambil men
Keesokan paginya Grace terbangun lebih dulu. Dia bangkit pelan, memastikan Alric masih terlelap di ranjang kecilnya. Lucas masih tidur, wajahnya tampak tenang.Hari ini Vivian akan datang. Jadi dia lebih pagi bangun, ingin memasakan menu sarapaan kesukaan Vivian. Pada saat ini, Vivian berdiri di halaman rumah Grace, menunggu dengan sabar sambil memeluk tas kecil di tangannya. Begitu pintu terbuka, Grace muncul dengan senyum lebar.“Vivian!” seru Grace, langsung memeluk sahabatnya erat.Vivian menghela napas panjang, seolah baru bisa bernapas lega. “Astaga, Grace. Kau benar-benar ada di sini. Aku takut selama ini hanya bermimpi.”Grace tertawa kecil, matanya ikut berkaca-kaca. “Kau tidak bermimpi. Aku benar-benar pulang.”Mereka duduk langsung pergi ke dapur. Vivian masih menatap Grace dengan tatapan campuran bahagia dan haru. “Kau tidak tahu betapa aku merindukanmu. Banyak malam aku bertanya-tanya di mana kau berada, apakah kau baik-baik saja.”Grace menggenggam tangan sahabatnya. “
Keesokan paginya, rumah dipenuhi aroma sarapan yang sedap. Grace sudah bangun lebih dulu, menyiapkan bubur kecil untuk Alric. Lucas yang tadinterbangun dan tidak melihat istrinya, dia sudah menebak pasti saat ini Grace awdang di dapur. Lucas masuk ke dapur sambil mengikat dasinya.“Kau terlihat bersemangat pagi ini,” ujarnya sambil mencium kening Grace.Grace tersenyum. “Hari ini Alric akan bertemu dengan Kakeknya, tentu saja aku senang!" Lucas mengangguk. “ya Papa pasti senang. Ini pertama kalinya Alric akan melihat Kakeknya.”Alric duduk di kursi makannya, menepuk meja dengan tangannya. “Ba! Ba!” serunya.Lucas tertawa kecil. “Lihat, dia juga tak sabar.”Mereka makan bersama sebelum berangkat. Di mobil, Grace duduk di belakang bersama Alric, sesekali bernyanyi kecil untuk menenangkannya. Lucas menyetir dengan wajah fokus.Mobil berhenti di parkiran Rumah Sakit. Lucas turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Grace dan Alric. Pada saat ini Lucas sedang mengambil cuti panjang, data
Keesokan paginya, Grace sedang menepuk-nepuk punggung Alric yang baru saja selesai makan. “Dia semakin pintar. Rasanya baru kemarin aku melihatnya hanya tidur sepanjang hari.”Lucas tersenyum, duduk di sebelahnya. “Dan sekarang dia bisa membuatku tidak ingin pergi ke mana pun. Rumah ini terasa hidup.”Grace menoleh, matanya hangat. “Lucas... aku masih butuh waktu. Tapi aku bisa merasakan kita mulai kembali seperti dulu.”Lucas menggenggam tangannya, menatapnya serius. “Aku tahu. Aku tidak terburu-buru. Aku hanya ingin kau percaya bahwa aku tidak akan pergi lagi, baik hati ataupun pikiran.”Grace menghela napas, seolah melepaskan sesuatu dari dadanya. “Aku percaya. Tapi aku juga harus belajar memaafkan. Itu bagian tersulit.”Lucas mengangguk. “Kita akan belajar bersama. Yang penting, kita tidak menyerah.”Alric menepuk pipi Grace, membuatnya tertawa kecil. “Lihat? Dia sepertinya ingin kita berhenti bicara serius.”Lucas ikut tertawa. “Dia benar. Kita harus mulai menikmati hal-hal seder
Grace mengangkat wajahnya, matanya basah. “Lucas... ini terasa seperti mimpi. Aku takut kalau aku membuka mata, semuanya akan hilang.”Lucas melangkah mendekat, menepuk bahunya. “Tidak akan hilang. Ini rumah kita, Grace. Dan dia...” Lucas menatap Alric yang menggeliat di pelukan Grace, " Dia adalah alasan kita untuk terus bertahan.”Alric menatap mereka dengan mata bulat, lalu meraih rambut Grace sambil terkekeh.Grace tertawa kecil di sela tangisnya. sambil mencium pipi Alric. Lucas mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Alric. “Kau lihat? Bahkan dia tahu kau bahagia.”Mereka berjalan menuju mobil yang sudah menunggu. Di perjalanan, Grace duduk di samping Lucas, memangku Alric yang terus menepuk-nepuk dasbor mobil sambil bersuara, “Ba! Ba!”Lucas tersenyum melihatnya. “Dia sudah makin pintar. Bahkan suaranya makin jelas.”Grace mengangguk, matanya hangat. “Aku takut melewatkan banyak momen. Tapi sekarang... aku akan pastikan tidak ada satu pun yang terlewat lagi.”Lucas meliriknya
Grace menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Baiklah,” katanya dengan nada yang membuat Lucas tersipu malu.Lucas meraih tangannya. “Itu lebih baik,” ucapnya sambil mengecup punggung tangan Grace. “Setelah kita kembali, kita akan benar-benar mulai dari awal. Aku ingin melihat Alric tumbuh tanpa rasa takut seperti yang selama ini menghantui kita.”Grace menatap mata Lucas, kali ini tanpa ragu. “Dan aku akan pastikan dia tumbuh dengan cinta, bukan dendam.”Alex yang sejak tadi berdiri di dekat pintu, menyelipkan mapnya ke tas.“Pesawat sudah siap. Kita bisa berangkat sore ini.”Lucas mengangguk. “Baik. Siapkan juga pengamanan tambahan selama perjalanan. Aku tidak mau risiko sekecil apa pun.”Pak Tua masuk membawa dua cangkir kopi. “Kalian berdua terlihat seperti pasangan yang baru saja menutup babak gelap hidupnya,” katanya sambil meletakkan cangkir di meja.“Karena memang begitu,” jawab Lucas datar, tapi ada nada lega di suaranya.Grace meraih kopi itu, meniup uapnya.“Pak Tua… terima