Share

Malam Penyatuan

Malam Penyatuan

Aku terbangun dari tidur pulasku, mataku terganggu dengan embusan angin dan kilatan cahaya pagi yang mengintip dari balik jendel besar. Bau manis yang menyatu dengan aroma kopi menelisik hidung, memaksaku membuka mata.

“Pagi Sayang ....” sapanya tersenyum ramah penuh arti.

“Eum ....” kataku menggeliat membalas sapaan yang dilontarkannya dengan senyuman.

“Pagi ....” kataku kemudian membuka mata seutuhnya.

“Tidurnya nyenyak banget si ... sampai enggak tega ngapa-ngapain.“ lanjutnya lagi meraih tubuhku dalam pelukannya.

“Mana masih lengkap pakai baju pengantin lagi. “katanya lagi mengecup lembut kening ini.

“Ya Tuhan ....” Semeriwing rasa aneh menyergap didada ketika bibirnya menyentuh kulit kepala, ada rasa menggelitik diperut ketika kulit kami bersatu.

“Enggak berasa ya, ditelanjangi? “ katanya lagi berbisik ditelinga membuatku terperanjat kaget.

“Apaaaaaa ...?” kataku berteriak, seketika bangun memeriksa seluruh tubuh.

“Ya ampun, kamu ganti in baju aku?“ kataku marah.

“Kayak begitu tuh, enggak sopan tahu ... aku kan perempuan. Enak saja main buka-buka baju orang, ganti in segala. Enggak pernah di ajar in sama orang tua ya, buat sopan sama perempuan” Cerocosku tak terkendali.

“Hahahaha ....” tawanya menggema.

“Gemesin banget si ....” lanjutnya lagi kembali meraih tubuhku dalam dekapannya.

“Enggak bisa begitu ... ” Rontaku tak terima dengan perbuatannya.

“Sttttt ....” katanya membuatku terpaku diam, menghentikan segala ocehanku.

Sejak dulu aku tak pernah bisa melawan kharismanya saat mengucapkan atau memberi isyarat untuk diam. Seakan ia ditakdirkan untuk menjadi pemimpin yang tak sanggup ditolak oleh karyawannya.

“Marah ya?” katanya bertanya, aku jawab dengan anggukan kepala.

“Kesel ya ?” tanyanya lagi, kembali aku jawab dengan anggukan. Kali ini bibirku ikut mengerucut, manyun tanda tak suka.

“Ayang kesel ya, karena bajunya aku buka?” katanya.

“Ayang kesel ya, karena di telanjang in?”

“Ayang juga kesel ya, karena bajunya diganti in?” katanya terus meledek.

“Iyalah kesel, aku marah itu enggak sopan Yang?” kataku kemudian

“ Ahhahahahhah ....” tertawanya semakin keras menggema ditelinga, seraya mengeratkan pelukannya padaku.

“Ayang kan tahu, menghormati perempuan itu penting, dan kehormatan paling besar wanita itu ada di seluruh tubuhnya. Terutama kesuciannya. Apa kata orang nanti, aku sudah enggak suci lagi.” kataku sedih, hatiku terasa sakit.

“Masa masih perawan, tapi sudah pernah ditelanjangi laki-laki. Siapa yang percaya kalo begitu? “ lanjutku menitikkan air mata.

“Ahhahahahhah ... iya ya, mana ada yang percaya kalo Ayang bilang, Ayang masih perawan tapi udah pernah ditelanjangi orang.” katanya.

“Tuh, Ayang tahu, terus kenapa laku in itu?” tanyaku.

“Kenapa laku in itu??” Ucapnya rendah, menatapku dengan tatapan menggoda. Alisnya terangkat bersamaan dengan senyum tipisnya yang mengembang sebelah. Sudut bibir satunya lebih tinggi sudut lainnya.

“Ahhahahahhah ....” Ia kembali tertawa, tawanya lepas. Sepertinya ia sangat puas, tertawa diatas kegelisahan dan amarahku. Aku semakin sebal ketika menyadari kenyataan itu. Harga diriku terluka, aku merasa tak berharga.

“Kok malah ketawa sih, orang lagi serius juga!“ kataku semakin sedih dan marah. Aku bangkit keluar dari dalam pelukannya.

“Ayang nanya benaran nih? kenapa aku laku in itu?”

“Iyalah ....” kataku mulai meninggikan nada suaraku, aku benar-benar kesal dan marah saat itu.

“Sini, aku jawab!” katanya memberi isyarat dengan tangan. Agar aku kembali mendekat.

“Tapi sebelum aku jawab, mulai sekarang panggil aku Ayah ya!” pintanya lembut mengecup punggung tanganku. Kemudian meraih tubuhku kembali masuk dalam dekapannya.

“Bisa ya? panggil aku Ayah!” lanjutnya lagi dipegangnya daguku menghadap wajahnya.

“Bisa panggil Ayah?” tanyanya sekali lagi, aku jawab dengan anggukan kepala. Aku terhipnotis, pandangan sejuk dan sendunya membuatku tak dapat menolak pesonanya. Aku takut juga terpesona secara bersamaan.

“Ayah melakukan itu, nelanjangin kamu, buka in baju kamu, ganti in baju kamu .... “ Jedanya menghembuskan nafas di wajahku.

 “Karena sekarang ayah adalah suami kamu?, suami Ayang.” katanya alisku terangkat bingung.

“Tidak ingat?” katanya bertanya.

“Kita sudah resmi menikah, sekarang Ayang milik Ayah seutuhnya. Ayang istri Ayah sekarang, Is-tri A- yah.” katanya penuh penekanan.

“ Ayah bebas melakukan apa saja, termasuk nelanjangin Ayang kapan pun Ayah mau.“ lanjutnya lagi pipiku merona antara malu dan grogi, pikiranku melayang, ingatan dikepala kembali menayangkan cerita masa lalu. Data penyimpanan dalam memory memutar semua kejadian hari kemarin. Film kisah hidupku berputar seluruhnya menyadarkanku akan kejadian sebenarnya.

“Sudah ingat?” tanyanya, aku jawab dengan anggukan kepala. Aku malu, ingin rasanya aku benamkan tubuh ini ke dasar bumi, lagi-lagi aku membuat malu diriku sendiri.

“Kok bisa lupa sih!” Kicauku lemah memukul jidatku sendiri. Aku tertunduk tak berani menatap wajahnya.

“Jadi tak akan ada yang menyangsikan atau bertanya jika Ayang bilang. Ayang masih perawan tapi sudah pernah ditelanjangi Ayah.” Katanya berbisik ditelinga, mengangkat wajahku dengan tangannya agar kami saling bertatapan.

“Kalaupun Ayang cerita sama orang-orang, soal itu Ayah yakin tak akan ada yang peduli. Mereka tidak akan menganggap Ayang rendah karena, yang melakukan itu sama Ayang adalah suami Ayang sendiri.“ jelasnya membuatku semakin grogi. Apalagi ketika kurasakan bibirnya semakin mendekat ke bibirku.

“Ayang, sekarang Ayah panggil Bunda ya?” katanya semakin mendekatkan bibirnya.

“I love you “ katanya kemudian menyatukan bibir kami berdua. Aku terdiam seketika menutup mata.

Ada rasa yang tak dapatku jelaskan, rasanya melayang seperti ada banyak kupu-kupu terbang dalam perut. Jantungku memompa darah semakin cepat, detaknya lebih cepat dari detak jam didinding rumah.

“Inikah kenikmatan dunia?“ tanyaku dalam hati seraya menikmati apa yang terjadi.

Mataku terbuka, ketika aku rasakan bibirnya menjauh. Seperti anak kecil yang kehilangan permen kesukaannya, ada yang menghilang dalam diriku, ketika ia melakukan itu.

“Kita sudah suami istri ....” katanya.

“I-iya ....” jawabku terbata-bata. Menyembunyikan wajahku kembali ke dalam dada bidangnya. Dipeluknya diriku lebih erat seraya mengecup pucuk kepalaku yang terbenam dalam pelukannya. Ia tersenyum kecil lalu tertawa.

“Maaaf ... aku lupa Ayah ....” kataku lagi, ia kembali mengecup pucuk kepalaku dengan lembut.

“Nda tahu enggak?” tanyanya.

Kutengadahkan kepalaku melihatnya, wajahku mengisyaratkan tanya apa untuk pertanyaannya.

“Kamu ngegemesin banget tahu ... pengen banget ayah makan sekarang juga ....” katanya pelukannya erat, seerat pelukan seorang gadis saat memeluk boneka Teddy kesayangannya, gerakannya pun seperti gadis itu memeluk mencium seraya menggoyang-goyang gemas.

Hatiku bahagia, sebait puisi mampir hinggap dikepala. Aku seperti penyair, melantunkan puisi kala bahagia.

Aku bahagia

Aku terharu

Aku malu

Aku juga tersipu

Cinta ini nyata

Manis

Dan kualami

Semoga cinta kami

Abadi hingga akhir nanti

“Terima kasih ya Sayang!” kataku membalas pelukannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status