Share

TERALIS WAKTU
TERALIS WAKTU
Penulis: UmuSaBiQa

Ketika Cinta

Bab 1 .

KETIKA CINTA

Waktu berjalan, pagi yang cerah menjelang bersama riuk pikuk persiapan pernikahan. Suasana begitu ramai  menghiasi tiap sudut ruangan. Dapur penuh dengan orang yang bercanda bersahutan, memasak menyiapkan hidangan pesta pernikahan. Wangi semerbak masakan bercampur dengan wangi bunga pelaminan. Menambah romantisme segala persiapan.

Hari ini hari Kamis, tanggal 02 April 2009, hari yang akan menjadi sejarah sepanjang hidupku. Sejarah sepanjang kisah cintaku. Aku duduk dengan jantung berdegup tak beraturan. Menatap cermin, menikmati setiap perubahan yang diciptakan perias pengantin yang sudah datang sejak pagi.  

Persiapan demi persiapan telah berlangsung sejak kemarin. Memberikan perasaan tersendiri padaku yang masih kelabu, ragu menatap waktu.

Aku termenung, menyaksikan setiap proses pemasangan tenda berhias background biru putih yang penuh dengan bunga pada Selasa malam. Indah menyilaukan mata. Bangku, meja, dan perabotan berdatangan, membuat sibuk barisan panitia yang dibentuk. Untuk memastikan semua sesuai pesanan.

Aku menatap syahdu rangkaian indah yang dengan kokoh terbentuk, menghias pelaminan coklat, kayu jati pilihan tempatku dan pujaan duduk melepas kerinduan.

Indah ...

Hai cinta

Lihatlah

Semua sudah siap

Menunggu ijab

Yang akan kau lantunkan

Lamunku, melantunkan sebait puisi yang terlintas di kepala. Aku tertawa sendiri.

“Jangan bengong Mbak, nanti juga ketemu sama dia.” Goda perias pengantin, saat mendapatiku melamun dalam senyuman. Wajahku merona malu karena jadi bahan tertawaan.

Suasana semakin riuh, panitia silih berganti membawa dekor yang akan dibuat di Mushola Baitul Ikhlas tempat dilangsungkannya acara akad. Mereka saling bersahutan bertanya memastikan semua sudah sesuai dengan kebutuhan dan rencana. Sesekali terdengar ocehan marah karena sebagian ternyata belum siap, ada saja kekurangan. Berbeda dengan barisan tukang masak, mereka sukses menyiapkan makanan yang sudah terhidang manis di meja prasmanan, menunggu tamu yang datang.

Semua bekerja keras memberikan yang terbaik untuk kelangsungan acara pernikahan. Mulai dari janur kuning, karpet selamat datang, tugu hias penuh bunga sebagai pintu masuk para undangan, hingga meja dan kursi yang di tata cantik dengan bajunya masing-masing, sama cantiknya dengan sekelompok remaja yang telah berdandan memakai baju kebaya yang sama. Siap  di pajang, menjadi penerima tamu dan pelayan di meja prasman. Aku bahagia keluargaku berkumpul seluruhnya. Berjuang mewujudkan pernikahan indah yang tak akan aku lupakan.

“Terima kasih.” kata yang terus aku ucapkan dalam hati selama proses persiapan pernikahan hingga hari ini. Aku tak sabar, waktu silih berganti dan jika tak ada aral melintang pukul 08.00 WIB nanti aku akan resmi menjadi seorang istri.

Wajahku merona membayangkan sakralnya ikatan cinta, jantungku berdegup semakin kencang. Aku gelisah,  tanganku berkeringat dibalik sarung tangan putih yang aku kenakan.

Riasan telah selesai menghiasi di wajah, jilbab putih berhias mahkota dan rangkaian indah bunga melati melengkapi seluruh kepala. Menampakkan wajah ayu yang tak seperti biasa.

Hari ini adalah hari istimewa untukku, hari di mana ikatan cinta aku dan sang kekasih bersatu, dalam suci ikatan cinta pernikahan.

Aku menunggu dalam kegamangan. Hatiku berbunga dengan segala rasa yang tak dapat aku ungkapkan dengan kata-kata. Waktu terus berjalan, semakin dekat dengan waktu yang di tentukan. Lamunanku melayang, sekali lagi sebait puisi melintas dikepala. Menari-nari untuk dilantunkan.

Aku bahagia

Jiwaku berbunga

Ragaku mendamba

Dia ...

Sang kekasih jiwa

“Cie ... cie ....” Goda Shinta sahabatku.

“Asik nih, nanti malam.“ Lanjut Yoga ikut menggoda.

“Jadi enggak sabar buat dengar ceritanya ....” kata Yoana juga ikut menggoda.

“Apaaan si ....” jawabku tertunduk malu merona, membuat mereka semua kompak tertawa.

“Wooooy ... udah saaaah!“ kata April tiba-tiba semakin memeriahkan suasana.

“Cie ... cie, sudah resmi nih jadi Nyonya Bahtiar Alviansyah.“ katanya lagi menggoda.

“Bakal seru dah pokoknya nanti malam. Ranjang berdenyit ‘krit ... krit’, hahahhahahh.“ kata Yoga kemudian penuh tawa, membuatku kembali merona seketika membayangkan.

“Enggak usah di bayang-in, di rasa-in saja ... -sakit enak deh pokoknya! “ Lanjut Sinta terkekeh.

“ Sakit ya Sin ...?” Tanya April polos kemudian. 

“ Banget Pril ....” jawab Sinta. 

April bergidik seraya berkata. “Iiiiiiikh ....” Tubuhnya bergerak lucu seperti benar merasakan.

“ Tapi nagih Pril ....” kata Sinta kemudian wajahnya lucu menggoda April yang tetap saja polos seperti biasa.

Kami pun tertawa bersama, ada sedikit kesedihan memenuhi relung dada. Aku takut, kebahagiaan bersama-sahabatku ini, akan hilang setelah aku menjalani keseharian dengan status baruku. Aku khawatir akan kehilangan mereka, kehilangan canda tawa bersama mereka.

“Kok menangis?” Kata Yoana mengheningkan suasana. Semua kompak melihat ke arahku. Menatap intens diriku yang tertunduk diam mengalirkan air mata.

“Tenang saja, meski loe sudah nikah ... kami semua tetap bakal jadi sahabat loe ... kita akan tetap berhubungan apa pun yang terjadi!“ katanya lagi dijawab dengan anggukan kepala semua sahabatku.

“Terima kasih ya ....” kataku merentangkan tangan, dan disambut oleh mereka satu persatu memberikan pelukan, kecuali Yoga, ... Ia sudah dewasa, jauh lebih dewasa dibanding pertama kali bertemu. Kini, ia tahu batasan dan sangat menjaga  perilakunya. Terutama perilakunya terhadap kami teman-teman perempuannya.

“ Yuk ... Kak!“  ajak adikku Ika, memanggil tiba-tiba. Kami tak menyadari kedatangannya karena asyik bercengkerama dalam keharuan.

Semua terkesiap, membantuku bersiap memastikan pengantin baru ini cantik luar dalam ,isyarat untuk tersenyum dan mengusap air mata diberikan agar aku tampil sempurna di depan seseorang yang kini syah menjadi suamiku. Mereka memperbaiki segala riasan yang sempat rusak karena air mata. Aku terharu, mengucap syukur karena memiliki teman-teman yang luar biasa perhatian kepadaku.

“Terima kasih ya Allah, -Kau selalu tahu apa yang terbaik bagiku!” kataku dalam hati penuh syukur.

Kami beranjak, keluar dari tempat semula. Semua bahagia mengantarku kehidupan baru, menyandang status baru dengan pasangan yang baru saja mengikat janji denganku.

Ritual pernikahan yang baru saja selesai, menunggu  diresmikan dengan bubuhan tanda tangan, penyematan mas kawin dan foto bersama.

Aku tersenyum penuh rasa syukur dan bahagia, aku telah resmi jadi ratu baginya. Kami berpandangan dalam bingkai rona malu dan kebahagiaan. Senyumku mengembang, hatiku membisikan sebait puisi yang aku tuliskan dalam selembar tisu yang aku pegang.

Hai mempelai

Sambutlah aku

 Dengan kebahagiaan

Sebab cinta kita telah di bubuhkan

“Lagi apa?” tanya seseorang yang kini resmi menjadi suamiku. Berbisik di telinga ketika kami telah duduk dalam pelaminan. Menyalami tamu satu persatu yang datang memberi doa dan restu.

Aku tersenyum, kemudian menyodorkan tisu yang aku pegang. Ia membacanya, tersenyum penuh cinta menatapku, tangannya aktif menggenggam tanganku yang kini halal baginya.

“Jangan lupa cerita ya, bagaimana nanti malam!” Bisik Yoga ketika berpamitan.

“Sialan loe ....” kataku refleks menghantam wajahnya dengan buket bunga yang aku pegang. Semua tertawa, menertawakan tingkah kami berdua.

“ Titip ya Bro, ... cengeng banget anaknya!“ Lanjutnya lagi ketika berpamitan pada suamiku, dia masih saja cengengesan. Membuatku sebal.

“hahahahahhah,” Tawa mereka bersamaan.

“Titip ya Bro, tolong di jaga baik-baik, ... Dia salah satu yang berharga buat gw!” katanya ketika berhenti tertawa.

“Jangan di sakit-in, apalagi sampai loe telantar-in.” katanya, wajahnya sangat serius memandangku, kemudian bergantian memandang Sinta. Tersirat sedih mendalam dari kata-katanya. Kami terdiam, tak mengerti harus bagaimana.

“Siap brooow ....” Jawab suamiku memecah keheningan, tangannya memberi hormat, dengan sifat sempurna khas sikap tentara. Sekali lagi mereka tertawa bersama.

“Tapi tetap bantu-in gw ya!”

“Berhubung tadi loe bilang dia cengeng, jadi rada takut gw jadinya ... Loe harus bantu gw! Kalo gw butuh balon buat diemin dia!” katanya lagi, membuat semua teman-temanku tertawa.

Mereka berjabat tangan bersalaman khas pertemanan laki-laki kebanyakan.

“Selamet dah pokoknya, biar langgeng sampai jompo ya pada.” katanya lagi berpelukan dan

“Kita pulang ya sayang, selamet sekali lagi .....” kata sahabat-sahabatku berpamitan.

“ Terima kasih  ya buat segalanya.” jawabku mengharu biru, menyambut pelukan mereka satu persatu.

“Tuh liat kan Bro, kayak mau berangkat perang! Pamitan aja pake ada air mata!” Ledek Yoga, tak kami pedulikan.

“ Apa pun yang terjadi nanti ke depannya jangan ragu buat cerita ya sayang!” kata Sinta pelukannya dieratkan kemudiannya diarahkan wajahnya mencium pipiku kiri dan kanan, kurasakan kekhawatiran di wajahnya. Ia takut melepasku dalam dunia baruku, dunia yang penuh liku, dunia rumah tangga.

Aku tahu berkeluarga tidaklah mudah, menyatukan dua orang dengan segala karakternya masing-masing sanggatlah sulit apalagi harus bertahan hingga maut memisahkan, pastilah bukan hal yang mudah sebab dia sudah lebih dulu merasakannya dan kegagalanlah yang menimpanya. Aku mengerti benar bagaimana dia. Seseorang dengan jiwa keibuan paling melekat di di antara kami semua, dia dan Yogalah yang selalu menjaga kami dari kejamnya dunia kerja hingga percintaan.

“ Take care ya honey ... love yon and congratulation for you.” 

“ Selamet ya sayang, selamat menempuh hidup baru.”

“Jangan lupa ya cerita, Bagaimana malam pertamanya?” kata mereka bersamaan berbisik sambil cekikikan.

Wajahku merona, membayangkan segala kenikmatan cinta yang tergambar. Puas aku mendengar semua nasihat dan pengalaman.

Ibu ayahku setiap hari menjejali dengan segala nasihat rumah tangga sejak lamaran dan waktu pernikahan ditetapkan.

Sahabat-sahabatku yang lebih tua selalu berbagi cerita mulai dari pengalaman malam pertama hingga biduk dan kerumitan berumah tangga.

Tetanggaku juga ambil bagian berbagi cara dan pengalaman mereka dalam menjalani bahtera cinta dan rumah tangga.

Semua berbagi karena aku adalah pendengar yang baik hingga mereka senang menceritakan semuanya secara gamblang tanpa saringan.

Aku ngeri membayangkan rasa sakit yang mereka gambarkan, tapi tubuhku juga mendamba rasa yang membuat mereka ketagihan. cerita malam pertama lebih banyak aku dengar, semua berlomba menceritakan pengalaman mereka dan aku senang mendengarnya.

Aku bahkan tak ragu menceritakannya lagi pada calon suamiku...hingga ia menggoda untuk melakukannya lebih dulu.

“Hahahaha” tawaku selalu menggema tiap kali itu ia katakan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status