Share

2. Sosok Penolong

Author: ReyNotes
last update Last Updated: 2025-10-30 15:06:15

Selang seminggu setelah Belva mengalami pendarahan, ia membawa surat rujukan untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Malu-malu, Belva menurunkan celananya, lalu berbaring kaku di ranjang. Ia menggigit bibir kala merasakan perut bawahnya ditekan.

“Tahan, ya. Akan sakit sedikit.”

Mendengar suara tegas itu, Belva mengangguk pelan. Ia menghela napas panjang, lalu meringis sedikit setelahnya.

“Maaf. Agak tidak nyaman memang.”

Deg. Belva menatap wajah di atasnya. Tampan dengan wajah proporsional. Tubuhnya juga bagus dan harum.

Dokter ini... dokter yang ia tabrak saat melamun di depan apotek. Belva sampai sulit mencerna apa yang diucapkan karena fokusnya pada wajah mempesona itu.

Belva menahan napas, tubuhnya masih kaku di ranjang. Wajahnya panas bukan hanya karena rasa tidak nyaman, tapi juga karena jarak yang begitu dekat.

“Sudah.” Alvin, dokter kandungan berusia empat puluh dua tahun, menarik alat pipih itu perlahan, lalu membersihkan gel dari perut bawah Belva dengan tisu medis seolah tak menyadari betapa degup jantung pasien mudanya semakin berantakan.

“USG-nya jelas. Tidak ada kelainan serius,” katanya sambil menatap layar sebentar, lalu menuliskan sesuatu di berkas pasien. “Kram yang kamu rasakan dan pendarahan yang terjadi lebih karena hormon dan siklus menstruasi yang tidak teratur.”

Dokter itu kembali menatap layar dan menjelaskan beberapa gambar pada Belva yang hanya bisa termangu.

“Aku akan berikan obat untuk menstabilkan hormon. Kita pantau satu bulan lagi.”

Belva berusaha mengangguk, meski pipinya masih memerah. Ia merasa malu sekali karena sejak tadi terlalu fokus pada wajah tampan dokter itu, sampai nyaris lupa kalau ini hanyalah pemeriksaan medis biasa.

Alvin menutup map berkasnya dan menatapnya lagi, kali ini lebih personal. “Pikiran juga mempengaruhi kondisi rahim.” Suaranya tetap datar namun entah mengapa membuat Belva salah tingkah.

Belva menghela napas lega, namun segera mendengar kalimat lanjutan.

“Jadi, kemungkinan siklus menstruasimu kacau karena faktor stres. Pikiranmu sedang berat akhir-akhir ini?”

Pertanyaan itu membuat matanya terasa panas. Ia menunduk, meremas ujung bajunya.

Stress. Kata itu menamparnya.

Bagaimana tidak?

Sejak ia menolak melayani atasannya, pekerjaannya sebagai staff hotel semakin menumpuk. Pak Surya menjelek-jelekkan kinerjanya di depan staff bahkan tamu hotel.

“Iya, Dok.” Suaranya bergetar. “Akhir-akhir ini memang banyak tekanan.”

Alvin menatapnya, sorot mata yang lembut membuat Belva membeku. “Kamu masih muda. Jangan biarkan masalah luar merusak tubuhmu. Kamu harus lebih sayang pada dirimu sendiri.”

Ucapan sederhana itu justru membuat dada Belva terasa hangat. Ada sesuatu yang berbeda. Sampai membuat jantung Belva berdebar tak karuan.

“Baik, Dok.” Ia buru-buru merapikan celananya, menghindari tatapan itu.

Dokter Alvin memberi resep untuk Belva. Konsultasi itu selesai. Belva dan Dokter Alvin saling bertatapan sejenak sebelum berpamitan.

Hujan petir menyambut Belva yang melangkah keluar dari rumah sakit. Tangannya masih memegang map hasil pemeriksaan, sementara pikirannya berputar pada kata-kata dokter Alvin. “Jangan biarkan masalah luar merusak tubuhmu.”

Termenung, ia berdiri di halte, menunggu bis yang tak kunjung datang. Angin membawa air hujan, membuat pakaiannya basah.

Dua puluh dua tahun hidupnya hanya dikelilingi masalah. Ibunya meninggal saat ia berusia lima tahun. Ayahnya pun menyusul pergi saat ia SMP dengan meninggalkan hutang pengobatan di rumah sakit.

Suara deru mesin mobil membuatnya menoleh. Sebuah sedan hitam berhenti tepat di depannya. Kaca jendela perlahan turun, menampilkan sosok yang sama sekali tidak ia sangka.

“Sendirian?” suara itu menyapanya tegas.

Belva terperangah. Lelaki yang membuka kaca jendela mobil itu adalah dokter yang barusan memeriksanya. “D-Dr. Alvin?”

Alvin mencondongkan sedikit tubuh, tatapannya lurus padanya. “Kamu mau pulang? Ayo, biar aku antar. Sudah malam, tidak aman menunggu di jalan.”

Belva buru-buru menggeleng. “Tidak usah, Dok. Aku bisa naik bis—”

“Tapi bis-nya lama.” Alvin memotong cepat. Tatapannya serius, nyaris membuat Belva tak berkutik. “Hujannya juga semakin deras.”

Sejenak, keheningan menggantung. Belva bisa merasakan jantungnya memukul di dada.

Lalu, Alvin menambahkan dengan suara yang lebih dalam. “Aku tidak akan tenang kalau membiarkanmu pulang sendiri malam-malam begini.”

Belva mengumpat dalam hati saat telah duduk di dalam mobil. Kenapa ia bisa mudah sekali menerima perhatian dari lelaki yang baru ia kenal?

“Ke mana?” Suara Dokter Alvin memecah keheningan.

Spontan, Belva menoleh. “Oh. Hotel Imperial Queen, Dokter. Aku bekerja di sana.”

Dokter itu memutar kendaraannya tanpa berkomentar lagi.

Kepala dan tubuh Belva basah karena air hujan. Ia mulai menggigil. Dokter Alvin mengatur suhu di dalam mobil, namun tetap saja Belva merasa kedinginan.

“Kamu lompat ke belakang. Di dalam tas, ada kemejaku. Pakai saja daripada kamu sakit karena pakaianmu basah.”

Kepala Belva segera menggeleng. “Tidak perlu, Dok. Terima kasih.”

“Jangan membantah. Perjalanan kita masih jauh. Ganti pakaian basahmu.”

Lagi-lagi, Belva menurut. Di kursi belakang, ia menunduk serendah-rendahnya untuk berganti pakaian. Setelahnya, ia kembali ke kursi depan.

“Terima kasih, Dokter.”

“Tak masalah. Aku memang selalu membawa pakaian ganti di mobil. Jangan salah sangka, baru kali ini juga saya mengangkut pasien.”

Belva mengangguk pelan. Hingga mobil akhirnya tiba di gedung apartemen pegawai hotel. Hujan masih sangat deras.

“Pakai ini. Jangan keras kepala. Psikismu sedang tidak baik-baik saja. Paling tidak jangan menambah sakit tubuhmu.” Dokter Alvin memberikan jas hujan dari bawah kursinya.

Belva terpaku. Jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan kehangatan tubuh Alvin. Aroma maskulin bercampur wangi antiseptik khas dokter menyusup ke inderanya. Jantungnya berdetak tak karuan lagi.

“Terima kasih, Dokter…,” suaranya hampir berbisik.

Tidak ada balasan. Belva segera menggunakan jas hujan. Mobil itu langsung pergi begitu ia keluar.

Bagi Belva, Dokter Alvin adalah sosok penolong.

Belva bahkan berharap bisa bertemu lagi dengan dokter itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
ktsn-
semoga beneran baik ini dokter yaa
goodnovel comment avatar
happyface
tampan dan penolong. cocok
goodnovel comment avatar
Yiming
ummm aku punya tuh om Umur 40an tp msh kek muda gituu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   96. Anak Baik

    Musim semi menyambut keluarga yang berkumpul lengkap di luar negeri untuk menghadiri wisuda Arumi dan Edo yang hanya selisih satu hari.Di halaman kampus yang luas, toga-toga hitam bergerak seperti gelombang kecil. Fredy dan Yarra berdiri berdampingan, wajah mereka dipenuhi senyum yang tidak dibuat-buat. Belva berdiri di sisi Alvin, tangannya sesekali merapikan kerah jas suaminya—kebiasaan kecil yang kini terasa wajar.“Papa, Belva,” panggil Arumi dari kejauhan.Ia melangkah mendekat dengan senyum lebar, toga membingkai wajahnya yang matang. Di sampingnya, Edo berjalan dengan langkah tenang. Mereka berhenti tepat di depan keluarga.“Selamat, Rumi,” ucap Fredy, suaranya berat namun hangat.Yarra memeluk cucunya lama. “Kami bangga sekali.”Belva tersenyum bahagia lalu menggenggam kedua tangan Arumi. “Gimana? Sudah lega?”Arumi tertawa kecil dan mengangguk. “Aku akhirnya selesai.”Edo menunduk sopan. “Terima kasih sudah datang.”Alvin menepuk bahu Edo singkat. Tidak banyak kata, tapi isy

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   95. Restu

    Saat semua orang bergembira dan menjabat tangan Edo dan Arumi bergantian. Alvin terdiam sambil menatap Edo tanpa berkedip. Lalu, perlahan, ia menyeret Edo ke pojok ruangan.“Sejak kapan?” Alvin melipat kedua yang tangannya di perut sambil menatap Edo tanpa jeda.“Umm... maaf, Om. Kami semakin dekat saat kembali bersama ke luar negeri. Karena satu kampus juga, kami jadi sering bertemu.” Edo menjelaskan.“Kenapa kalian diam-diam? Belva tau?”Edo menggeleng. “Arumi bilang, kalau Belva tau, ia akan langsung cerita pada Om. Arumi mau ini menjadi kejutan.”“Oh yaa.” Alvin mendelik. “Aku memang sangat terkejut.”Edo menunduk santun. “Maaf, Om.”Lalu, Alvin teringat sesuatu. “Belva pernah bilang kamu sudah memiliki kekasih.”“Kami tidak berjodoh.” Edo menghela napas. “Kami sudah putus sebelum aku memutuskan sekolah lagi.”“Begitu.”“Aku minta restu, Om.”Alvin mendekat ke telinga Edo dan mengancam, “Kupatahkan lehermu kalau sampai menyakiti putriku!”Setelahnya, Alvin bergabung pada keluargan

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   94. Dua Wisuda

    Pagi itu datang dengan situasi yang berbeda. Alvin memeluk dan mengelus punggung Belva yang terbuka. Wanita itu masih nyaman tidur dalam dekapan.“Sayang, aku harus siap-siap ke rumah sakit,” ucap Alvin.“Umm... aku masih mau dipeluk begini.” Belva menggumam sambil mengeratkan pelukannya.Alvin terkekeh. “Lima menit lagi. Oke?”Tidak ada jawaban. Hingga lima menit berikutnya, Alvin mengangkat tubuh Belva dan membopongnya ke kamar mandi.“Aku masih mau tiduran.” Belva merengut kala Alvin melepas pakaiannya.“Sekalian aku mandi, Sayang. Setelah aku berangkat, kamu bisa tidur lagi.”Akhirnya, Belva pasrah dimandikan sang suami. Dengan manja, Belva mengalungkan lengannya di leher Alvin saat tangan lelaki itu mengusap sabun ke seluruh tubuh istrinya. Mereka bertatapan, berciuman hingga kedua kaki Belva kini naik ke pinggang Alvin.Sambil menjaga keseimbangannya di lantai yang basah, Alvin membantu Belva bergerak di atas tubuhnya. Setelah sama-sama mendapat pelepasan, Belva menjejakkan kaki

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   93. Mengukir Kenangan

    Dalam pesawat, Belva menggulir foto-foto bulan madunya. Ia tersenyum-senyum menatap kebersamaannya di kamar bersama Alvin.“Kita nggak bisa nunjukin foto-foto ini, lho.” Belva memperlihatkannya pada Alvin. “Bagaimana kalau ada yang tanya?”Alvin melirik layar ponsel Belva. Ia malah tertarik lalu meminjamnya. Lelaki itu tersenyum melihat dirinya dan Belva di ranjang dengan tubuh bagian atas polos, hanya tertutup selimut tipis.“Aku suka foto-fotonya. Terlihat benar-benar penampakan bulan madu.”“Iyaa. Tapi kalau Arumi tanya gimana?”“Lagian kenapa kamu selalu pakai lingerie?” Alvin menggoda sang istri. “Padahal nggak pakai apa-apa juga akan lebih bagus.”“Hei! Bukan aku yang packing. Isi koper itu sebagian dari Arumi dan Kak Estella.” Belva mencebik. “Dan memang lingerie itu percuma karena kamu selalu membukanya.”“Karena aku juga nggak pakai apa-apa.” Alvin berbisik di telinga Belva.Tangan Belva terjulur mengusap rahang Alvin yang masih sibuk menggulir foto dari ponsel Belva. “Mana m

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   92. Bulan Madu

    Villa yang Alvin sewa berdiri terpisah dari keramaian, menghadap laut biru yang tenang. Tirai putih bergoyang pelan tertiup angin, suara ombak menjadi satu-satunya pengingat waktu yang terus bergerak.Saat tiba di kamar, Alvin langsung mendekap Belva. Memberinya ciuman di detiap inci kulit dan merayu Belva.“Aku sudah sangat menginginkan ini.” Alvin mendesah di ceruk leher Belva. “Aku ingin berbaring di sampingmu tanpa selembar benang pun di tubuh kita.”Tubuh Belva rasanya ikut terbakar mendengar rayuan Alvin. Belva membiasakan matanya dengan pemandangan Alvin yang sedang membuka pakaian.Lalu, lelaki itu kembali memagut bibir Belva. Mereka bahkan melakukannya sambil melepas semua kain yang menempel di tubuh.Sepasang tangan Alvin penuh keyakinan dan tau apa yang harus dilakukan. Sangat terarah, tidak asal jamah dan penuh perasaan.Ciumannya amat dalam, melihatkan setiap bagian dari mulut mereka. Bibir Alvin menggumamkan sesuatu sebelum menghujani dada Belva dengan sejuta ciuman.Ber

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   91. Pernikahan

    Suasana haru terasa kala Arumi mengungkapkan perasaannya. Wanita muda itu menatap sahabatnya dan sang papa bergantian.“Papa dan sahabatku saling mengisi kehampaan di hati masing-masing. Jadi, bagaimana mungkin aku tidak merestuinya?”Pernyataan itu mendapat tepuk tangan meriah. Satu persatu, tamu yang pernah memiliki pengalaman tentang cinta ikut angkat bicara.“Cinta sejati tidak peduli pada usia. Cinta sejati hanya peduli pada hubungan antara dua manusia.”“Ketika kamu menemukan cinta, perbedaan usia hanya lah detail kecil dalam skema besar.”“Hati menginginkan apa yang dibutuhkan termasuk pasangan tanpa kenal batas usia.”Musik lembut mengalun indah. Alvin dan Belva berdansa di tengah ruangan dengan tatapan tamu-tamu yang tersenyum merasakan kebahagiaan pengantin.Lalu, Fredy mengajak Yarra ke tengah untuk ikut berdansa. Beberapa pasang tamu juga akhirnya bergabung.“Hai.” Hendra menyapa Estella. “Aku Hendra. Teman sekampung Belva.”Estella menatap wajah lelaki di depannya. “Kamu?

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status