Masuk
“Malam ini, ikut aku. Kita bermalam bersama, aku pastikan kamu dapat promosi lebih cepat dari yang kamu bayangkan.”
Darah Belva seketika berdesir dingin. Di depannya, manager hotel tempatnya bekerja terkekeh menyebalkan.
Belva mengepalkan tangan kuat-kuat.
“Kamu hanya lulusan D3. Itu yang bikin kamu susah naik level. Bandingkan dengan temanmu yang S1, wajar kan kalau mereka lebih cepat dipromosikan?”
Belva ingin protes, ingin mengatakan bahwa kinerja seharusnya lebih dihargai daripada sekedar ijazah. Namun lidahnya kelu. Ia butuh pekerjaan ini, butuh pemasukan tetap untuk biaya hidup dan hutang yang menumpuk.
“Kamu itu cantik, rajin pula. Aku akui itu.” Pak Surya berkata sambil memutar bolpoin di jarinya. Tatapannya bukan tatapan seorang atasan yang menghargai bawahan. Ada sesuatu di balik sorot matanya, sesuatu yang membuat Belva risih.
“Jadi, saya harus...?” Suaranya hampir berbisik.
Pak Surya berdiri dan berjalan mendekat. Senyumnya melebar, membuat Belva semakin tidak nyaman. Lelaki itu menyelipkan kartu akses kamar hotel ke saku jas Belva.
“Jangan pura-pura polos, Belva. Semua orang punya harga. Kamu tinggal pilih, mau tetap jadi staff selamanya atau naik jabatan dengan cepat. Aku bisa buat hidupmu lebih mudah.”
Detik itu juga, Belva merasa seluruh harga dirinya diinjak-injak. Air mata hampir pecah di sudut matanya, tapi ia menahannya mati-matian.
“Pikirkan baik-baik. Aku tunggu nanti malam.” Suara Pak Surya melembut membuat Belva mual.
Tanpa sepatah kata pun, Belva berdiri. Tangannya mengepal kuat, berusaha menahan gemetar. Ia keluar dari ruangan itu dengan langkah cepat, meninggalkan suara tawa rendah yang menjijikkan di belakangnya.
Malam itu Belva tidak muncul di kamar yang dipesan Pak Surya.
Tragisnya, sikap Pak Surya yang biasanya ramah kini berubah. Ia lebih sering mengomel, mencari kesalahan kecil, bahkan beberapa kali menegur Belva di depan karyawan lain.
Hari ini pun sama.
“Check-in tamu VIP tadi kenapa lama? Jangan bikin malu hotel!” hardiknya begitu Belva kembali ke meja.
Padahal, keterlambatan terjadi karena sistem komputer sempat error. Semua orang tahu itu, tapi hanya Belva yang disalahkan.
“Maaf, Pak.” Ia menunduk.
“Selalu ada alasan. Kalau kamu lebih pintar, pasti bisa atasi hal kecil begitu.” Tatapan tajam itu menusuk harga dirinya.
Namun begitu, Belva tetap tersenyum dan menunduk santun.
Ketika ia hendak pulang, HR memanggilnya. Selembar surat keputusan diletakkan di depannya.
“Mulai bulan depan, kamu tidak lagi berhak tinggal di apartemen karyawan. Perusahaan sudah evaluasi, fasilitas itu hanya untuk staf yang disiplin.”
Belva membeku. Apartemen itu satu-satunya tempat tinggal yang terjangkau baginya. Kalau harus cari kost lain di pusat kota, gajinya tak akan cukup.
“Apa… maksudnya saya tidak disiplin?” suaranya bergetar.
Staf HR menghela napas, seolah enggan bicara. “Kami hanya menjalankan instruksi manajemen. Katanya, kamu tidak menghormati atasan. Itu sudah cukup jadi alasan.”
Rasanya seperti langit runtuh menimpa kepala. Jadi, karena ia menolak tidur dengan manager, ia kini kehilangan hak tempat tinggal juga? Tapi, kalau ia berkata jujur, apa HR akan percaya?
Dengan tangan gemetar, Belva hanya bisa meremas surat itu. Matanya panas. Tapi ia menunduk dalam-dalam, menelan semua rasa pahit itu sendirian.
Belva keluar hotel dengan langkah gontai. Sepatu haknya membuat kakinya sakit, tapi rasa nyeri itu tidak sebanding dengan perih di dadanya.
“Ahh…” Belva meringis, tangannya meraba perut.
Seorang satpam hotel yang melihatnya langsung panik. “Mbak Belva, kamu kenapa? Tunggu, saya panggil taksi, ya. Kita ke rumah sakit sekarang.”
Belva ingin menolak, tapi sakitnya terlalu kuat. Dalam hitungan menit, ia sudah duduk di kursi belakang taksi, tubuhnya gemetar.
Cahaya lampu jalan berganti-ganti di matanya yang berat. Ia hanya bisa meremas perutnya erat-erat, berdoa agar sakit itu segera hilang.
Belva ingat sebelum pintu IGD terbuka, ia melihat seragam putih seorang suster yang sigap menyambut. Sebelum hilang kesadaran, sayup-sayup terdengar suara lain.
“Cepat, panggil Dokter Single. Ada pasien pendarahan!”
Dua jam di rumah sakit, Belva diperbolehkan pulang. Ia mendapat rujukan untuk kembali memeriksakan diri.
“Minggu depan kontrol ke Dokter Single, eh, maksudnya Dokter Alvin.” Suster meralat sambil memberikan resep. “Kami biasa memanggilnya Dokter Single.”
Belva tersenyum sedikit. “Apa bisa pindah ke dokter wanita?”
“Dokter wanita kebetulan cuma satu dan beliau sedang cuti melahirkan.”
Sebenarnya, Belva risih dengan dokter lelaki. Tetapi, apa boleh buat. Kepalanya mengangguk.
Belva berjalan memegang surat rujukan dan plastik obat sambil melamun. Lalu, tak sadar ia menabrak dada kokoh di depannya.
“Aduh!” Belva segera membungkuk untuk mengambil obatnya yang terjatuh. “Ma-maaf.”
Lelaki yang ditabrak Belva juga spontan menjulurkan tangan hingga akhirnya tangan mereka bersentuhan. Belva langsung menarik tangannya dan mendongak.
Di depannya lelaki berjas putih dokter tersenyum sedikit. Lalu memberikan obat Belva dan membaca sekilas kertas rujukan.
“Semoga cepat sembuh. Selamat bertemu minggu depan.”
Saat semua orang bergembira dan menjabat tangan Edo dan Arumi bergantian. Alvin terdiam sambil menatap Edo tanpa berkedip. Lalu, perlahan, ia menyeret Edo ke pojok ruangan.“Sejak kapan?” Alvin melipat kedua yang tangannya di perut sambil menatap Edo tanpa jeda.“Umm... maaf, Om. Kami semakin dekat saat kembali bersama ke luar negeri. Karena satu kampus juga, kami jadi sering bertemu.” Edo menjelaskan.“Kenapa kalian diam-diam? Belva tau?”Edo menggeleng. “Arumi bilang, kalau Belva tau, ia akan langsung cerita pada Om. Arumi mau ini menjadi kejutan.”“Oh yaa.” Alvin mendelik. “Aku memang sangat terkejut.”Edo menunduk santun. “Maaf, Om.”Lalu, Alvin teringat sesuatu. “Belva pernah bilang kamu sudah memiliki kekasih.”“Kami tidak berjodoh.” Edo menghela napas. “Kami sudah putus sebelum aku memutuskan sekolah lagi.”“Begitu.”“Aku minta restu, Om.”Alvin mendekat ke telinga Edo dan mengancam, “Kupatahkan lehermu kalau sampai menyakiti putriku!”Setelahnya, Alvin bergabung pada keluargan
Pagi itu datang dengan situasi yang berbeda. Alvin memeluk dan mengelus punggung Belva yang terbuka. Wanita itu masih nyaman tidur dalam dekapan.“Sayang, aku harus siap-siap ke rumah sakit,” ucap Alvin.“Umm... aku masih mau dipeluk begini.” Belva menggumam sambil mengeratkan pelukannya.Alvin terkekeh. “Lima menit lagi. Oke?”Tidak ada jawaban. Hingga lima menit berikutnya, Alvin mengangkat tubuh Belva dan membopongnya ke kamar mandi.“Aku masih mau tiduran.” Belva merengut kala Alvin melepas pakaiannya.“Sekalian aku mandi, Sayang. Setelah aku berangkat, kamu bisa tidur lagi.”Akhirnya, Belva pasrah dimandikan sang suami. Dengan manja, Belva mengalungkan lengannya di leher Alvin saat tangan lelaki itu mengusap sabun ke seluruh tubuh istrinya. Mereka bertatapan, berciuman hingga kedua kaki Belva kini naik ke pinggang Alvin.Sambil menjaga keseimbangannya di lantai yang basah, Alvin membantu Belva bergerak di atas tubuhnya. Setelah sama-sama mendapat pelepasan, Belva menjejakkan kaki
Dalam pesawat, Belva menggulir foto-foto bulan madunya. Ia tersenyum-senyum menatap kebersamaannya di kamar bersama Alvin.“Kita nggak bisa nunjukin foto-foto ini, lho.” Belva memperlihatkannya pada Alvin. “Bagaimana kalau ada yang tanya?”Alvin melirik layar ponsel Belva. Ia malah tertarik lalu meminjamnya. Lelaki itu tersenyum melihat dirinya dan Belva di ranjang dengan tubuh bagian atas polos, hanya tertutup selimut tipis.“Aku suka foto-fotonya. Terlihat benar-benar penampakan bulan madu.”“Iyaa. Tapi kalau Arumi tanya gimana?”“Lagian kenapa kamu selalu pakai lingerie?” Alvin menggoda sang istri. “Padahal nggak pakai apa-apa juga akan lebih bagus.”“Hei! Bukan aku yang packing. Isi koper itu sebagian dari Arumi dan Kak Estella.” Belva mencebik. “Dan memang lingerie itu percuma karena kamu selalu membukanya.”“Karena aku juga nggak pakai apa-apa.” Alvin berbisik di telinga Belva.Tangan Belva terjulur mengusap rahang Alvin yang masih sibuk menggulir foto dari ponsel Belva. “Mana m
Villa yang Alvin sewa berdiri terpisah dari keramaian, menghadap laut biru yang tenang. Tirai putih bergoyang pelan tertiup angin, suara ombak menjadi satu-satunya pengingat waktu yang terus bergerak.Saat tiba di kamar, Alvin langsung mendekap Belva. Memberinya ciuman di detiap inci kulit dan merayu Belva.“Aku sudah sangat menginginkan ini.” Alvin mendesah di ceruk leher Belva. “Aku ingin berbaring di sampingmu tanpa selembar benang pun di tubuh kita.”Tubuh Belva rasanya ikut terbakar mendengar rayuan Alvin. Belva membiasakan matanya dengan pemandangan Alvin yang sedang membuka pakaian.Lalu, lelaki itu kembali memagut bibir Belva. Mereka bahkan melakukannya sambil melepas semua kain yang menempel di tubuh.Sepasang tangan Alvin penuh keyakinan dan tau apa yang harus dilakukan. Sangat terarah, tidak asal jamah dan penuh perasaan.Ciumannya amat dalam, melihatkan setiap bagian dari mulut mereka. Bibir Alvin menggumamkan sesuatu sebelum menghujani dada Belva dengan sejuta ciuman.Ber
Suasana haru terasa kala Arumi mengungkapkan perasaannya. Wanita muda itu menatap sahabatnya dan sang papa bergantian.“Papa dan sahabatku saling mengisi kehampaan di hati masing-masing. Jadi, bagaimana mungkin aku tidak merestuinya?”Pernyataan itu mendapat tepuk tangan meriah. Satu persatu, tamu yang pernah memiliki pengalaman tentang cinta ikut angkat bicara.“Cinta sejati tidak peduli pada usia. Cinta sejati hanya peduli pada hubungan antara dua manusia.”“Ketika kamu menemukan cinta, perbedaan usia hanya lah detail kecil dalam skema besar.”“Hati menginginkan apa yang dibutuhkan termasuk pasangan tanpa kenal batas usia.”Musik lembut mengalun indah. Alvin dan Belva berdansa di tengah ruangan dengan tatapan tamu-tamu yang tersenyum merasakan kebahagiaan pengantin.Lalu, Fredy mengajak Yarra ke tengah untuk ikut berdansa. Beberapa pasang tamu juga akhirnya bergabung.“Hai.” Hendra menyapa Estella. “Aku Hendra. Teman sekampung Belva.”Estella menatap wajah lelaki di depannya. “Kamu?
Belva mengerti arah pembicaraan Alvin. Terkadang, ia memang merasakan terlarut dalam keromantisan mereka. Namun, lelaki itu selalu menahan diri.Pintu kamar terbuka perlahan.Tangan mereka masih saling menggenggam ketika melangkah keluar. Genggaman yang tenang—tidak tergesa, tidak ragu—seolah keputusan di dalam kamar tadi telah memberi mereka pijakan yang kokoh.Belva menarik napas pelan. Beban di dadanya terasa jauh lebih ringan. Ketika mengangkat wajah, ia tidak lagi menunduk. Senyum kecil muncul dengan sendirinya saat matanya bertemu pandang dengan Fredy dan Yarra.Tatapan itu tidak lagi setajam sebelumnya. Orang tua Alvin itu malah tersenyum menatap Belva.Percakapan di ruang tengah terhenti. Estella menghentikan kalimatnya di tengah, sementara Arumi yang duduk di lantai langsung berdiri dengan mata berbinar.“Kami sudah bicara,” ujar Alvin akhirnya, suaranya mantap. “Dan kami sepakat untuk segera menikah.”Sepersekian detik ruangan membeku.Lalu suara itu meledak.“SEGERA?!” Arum







