Home / Romansa / TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN / 3. Pura-Pura Bertunangan

Share

3. Pura-Pura Bertunangan

Author: ReyNotes
last update Last Updated: 2025-10-30 15:19:07

Belva baru saja selesai mengganti kemeja Alvin dengan seragam staf hotel kala masalah datang.

Para staf berbisik-bisik membicarakan bahwa ada anak kecil yang berlari ke lobi hotel dan meminta bantuan karena ibunya sakit perut. Setelah dicek, ternyata ibu yang sedang hamil besar itu akan segera melahirkan.

Tanpa banyak bicara, Belva dan salah satu temannya mendekati anak kecil itu dan menenangkannya. Ia mendudukkan si anak, sementara staf lain mengambilkan minuman dan makanan ringan.

Dari arah pintu masuk lobi, Belva melihat salah satu staf berjalan cepat dengan lelaki yang ia kenal.

“Dokter Alvin.” Belva menghampiri Alvin yang berjalan cepat ke lift bersama seorang staff. “Dokter yang mau bantu lahiran tamu hotel?”

“Iya, tadi dapat telepon dari rumah sakit jadi langsung putar balik lagi.” Alvin segera masuk ke dalam lift begitu pintunya terbuka.

“Belva, kamu saja yang antar dokter dan bantu tamu yang akan melahirkan itu,” ucap supervisornya. “Biar kami yang menenangkan tamu-tamu di lobi ini karena Pak Surya nggak tau di mana.”

Belva mengangguk dan segera menyusul Alvin masuk ke dalam lift. Begitu pintu lift kembali terbuka, Belva segera menunjukkan jalan ke kamar tamu yang akan melahirkan.

Seorang wanita berbaring di tempat tidur hotel, wajahnya berkeringat deras, menahan nyeri hebat. Alvin segera memeriksa kondisi pasien, memberi instruksi cepat.

“Pembukaan sembilan.” Alvin berkata pada Belva. “Tolong bantu siapkan peralatan. Ibu ini akan melahirkan sebentar lagi.”

Belva menelan ludah, gugup tapi tangannya cekatan mengambil peralatan yang diminta Alvin. Setelahnya, Belva menemani dan menenangkan ibu yang akan melahirkan itu.

Sesekali mata Alvin melirik ke arah Belva. Caranya membantu dan menenangkan orang lain seolah ia sendiri tak punya masalah.

Beberapa menit kemudian, tangisan bayi memecah keheningan. Semua orang menghela napas lega. Alvin tersenyum pada Belva.

Tepat ketika itu, ambulance datang. Pasien, bayi dan anak perempuan yang menunggu di lobi dibawa ke rumah sakit.

Alvin menatap Belva. “By the way, terima kasih bantuannya. Kamu cukup cekatan.”

Belva hanya terkekeh. “Gugup banget. Ini kali pertama aku membantu orang melahirkan.”

Keduanya berjalan berbeda arah. Belva melirik Alvin yang tampak berjalan menuju restoran tak jauh dari lobi.

Jam kerja Belva sudah usai. Ia berkemas sebentar karena sudah diusir dari apartemen staf hotel. Sambil menggeret koper, Belva mengamati peta ke tempat kost terdekat.

“Belva!”

Sebelum menoleh, Belva mengembuskan napas kasar. Ia tahu suara siapa yang memanggilnya. Belva memaksakan senyum lalu berbalik badan.

“Pak Surya. Baru datang, Pak?” Sapaan itu sekaligus sindiran karena Surya baru muncul saat masalah selesai.

Surya mendengus kasar sebagai jawaban. “Kamu tidak bisa kabur lagi. Semakin menolak, aku semakin penasaran padamu!” Surya tiba-tiba mencengkram tangan Belva dan menariknya.

Belva berontak. Lalu, tepat saat itu, ia melihat Dokter Alvin yang berjalan ke parkiran.

“Hai... aku di sini!” teriak Belva sambil melambai pada pria itu.

Segera, Surya melepaskan cengkramannya. Dokter Alvin mendekat dan menatap Surya dan Belva bergantian.

“Sayang.” Belva berkata dengan nada manja, lalu memeluk Alvin mesra. “Terima kasih sudah jemput aku.”

Surya mengerutkan kening. Belva mengambil kesempatan itu dengan memperkenalkan Alvin yang sejak tadi hanya diam, seolah tengah membaca situasi.

“Ini Alvin, tunanganku.” Belva menatap Alvin lalu berkata, “Sayang, ini bosku, Pak Surya.”

Alvin terdiam sejenak. Tatapannya jatuh pada Belva yang tampak gugup, meski wajahnya dihiasi senyuman manis.

Tanpa diduga, lengan Alvin memeluk pinggang Belva mesra dan mengangguk. “Halo, Pak Surya. Salam kenal.”

Surya tersenyum tipis. Meski murka karena lagi-lagi hasratnya pada Belva tak tersalurkan, ia memasang wajah ramah pada Alvin.

“Aku baru tau Belva sudah bertunangan.”

“Mungkin karena sebelumnya, aku dinas di kota lain.” Alvin membalas, mengikuti sandiwara yang dibuat Belva. Lalu, Alvin menatap Belva dengan sorot mata lembut. “Pergi sekarang, Sayang?”

Belva mengangguk. Mereka berpamitan pada Surya. Sepanjang jalan Belva menggenggam erat tangan Alvin karena tau Surya masih memperhatikan mereka.

Setengah jam kemudian mereka sudah berada di kafe. Belva akhirnya menceritakan apa yang terjadi. Alvin mendengarkan dengan wajah serius.

“Maaf, ya, Dok. Aku terpaksa berpura-pura begitu.” Belva menutup wajahnya dengan kedua tangan karena malu.

Alvin tidak banyak berkomentar. Setelah mereka menghabiskan minuman masing-masing, Alvin berdiri dan berjalan di samping Belva.

“Sekarang, kamu ikut aku.”

Belva menolak. Tapi, Alvin bersikeras. Hingga kemudian mereka berada di ruang tamu apartemen.

“Ini apartemenku. Sementara, kamu tinggal di sini saja.”

Belva tersentak mendengarnya. Ia buru-buru menggeleng. “Aku nggak sanggup bayar kalau apartemen seperti ini, Dok.”

Alvin terdiam sejenak. Apartemennya bukan tempat sederhana. Apalagi tempat ini baru saja selesai direnovasi.

“Nggak papa. Kita bisa barter sebagai pembayaran sewanya. Bagaimana?”

“Barter? Dengan?” tanya Belva bimbang.

“Umm... Kamu harus menemaniku makan malam setiap hari.”

Gugup, Belva menggigit bibir bawahnya. Teringat ajakan managernya yang membuatnya trauma. Ia mundur beberapa langkah sambil menggeleng pelan.

“Maaf, Dok. Aku cari tempat lain saja.”

“Jangan sungkan, lagipula kita sudah bertunangan,” ujar Alvin, mengolok-olok Belva yang memberengutkan wajah.

“Kenapa dokter membantuku? Kita tidak kenal satu sama lain.”

Lelaki di depan Belva tersenyum samar. “Kita sudah bertemu empat kali. Aku prihatin dengan masalahmu. Tak ada salahnya membantu, bukan?”

Berbagai kemungkinan melintas di kepala Belva. Apa benar Dokter Alvin hanya merasa kasihan atau … ada niat lain padanya?

“Terima kasih, Dok. Ini hanya sementara sampai aku dapat tempat baru.”

Alvin mengangguk. “Istirahatlah. Aku pulang dulu.”

Alvin berjalan mendekati pintu. Belva menggeser kopernya yang menghalangi jalan. Lelaki itu membuka dan menutup pintu meninggalkan Belva yang masih terdiam.

Biasanya, Belva tak pernah mengalami kesulitan tidur. Rutinitasnya di hotel yang padat selalu membuat tubuhnya langsung tumbang begitu menyentuh kasur.

Namun malam ini berbeda. Bayangan tentang Alvin dan kebaikannya terus berputar di kepala, membuat matanya sulit terpejam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
uvuvwevwevwe osas
untung ada dokter Alvin. surya bener2 yaa
goodnovel comment avatar
Hanum Layla
oh secepat itu kalian bertunangan, tapi masih belum mengalahkan Dylano Goldson yang menikahi Arvina Whitney dipertemuan pertama, kalo Aldric dan Sandra langsung buat anak wkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   98. Rahasiakan Dulu

    Pernikahan Estella dan Hendra berlangsung meriah.Tamu-tamu memenuhi area resepsi—wajah-wajah yang datang dari dua dunia yang berbeda namun malam itu menyatu dengan alami. Staf kesehatan dengan setelan rapi berbincang hangat di satu sisi, sementara para model dan rekan industri kreatif Estella menambah kilau dengan gaun dan jas yang elegan. Tidak ada jarak yang terasa canggung. Semua hadir dengan satu tujuan yang sama: merayakan cinta.Upacara sakral telah selesai. Doa-doa terucap khidmat. Ketika pasangan pengantin melangkah keluar dengan senyum lega, tepuk tangan mengalun panjang. Setelah itu, suasana berubah menjadi lebih ringan. Musik mengalir—band kenamaan tampil di panggung, membawakan lagu-lagu yang mengundang tamu bergoyang kecil sambil menikmati hidangan.Di antara keramaian itu, Belva memilih duduk di meja VIP. Tidak berusaha menarik perhatian. Piringnya terisi secukupnya. Ia makan dengan tenang, menikmati jeda yang jarang ia dapatkan di tengah pesta besar. Sesekali matanya m

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   97. Rumah Baru

    “Apa kata Mamamu? Kok kamu matikan teleponnya?” Belva bertanya pada Arumi yang sudah menurunkan ponsel dari telinganya.Arumi menatap Belva, lalu menunduk. “Mama cuma langsung bilang minta dibayar tebusannya biar bisa keluar dari penjara.”Belva dan Edo saling bertatapan sejenak, lalu mengembuskan napas berat. Mereka membiarkan Arumi yang termangu sendiri menatap ke luar jendela.Hingga akhirnya mereka tiba di apartemen, Arumi segera minta waktu bicara dengan Alvin berdua saja. Belva meninggalkan mereka dan masuk ke kamarnya. Sementara Edo pun langsung berpamitan.“Ada apa, Arumi?”Selama putrinya bercerita, Alvin menatapnya dengan ekspresi datar. Hingga akhirnya Arumi berhenti dan memeluk Alvin sambil terisak.“Aku nggak tau harus bagaimana, Pa?”Sejenak Alvin hanya diam. Lalu perlahan, tangannya mulai mengelus punggung sang putri. Ia mengurai pelukan Arumi dan menatap wajahnya.“Kenapa Mama bisa sampai seperti ini?” Arumi balas menatap mata Alvin.Sebelum menjawab, Alvin menghela na

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   96. Anak Baik

    Musim semi menyambut keluarga yang berkumpul lengkap di luar negeri untuk menghadiri wisuda Arumi dan Edo yang hanya selisih satu hari.Di halaman kampus yang luas, toga-toga hitam bergerak seperti gelombang kecil. Fredy dan Yarra berdiri berdampingan, wajah mereka dipenuhi senyum yang tidak dibuat-buat. Belva berdiri di sisi Alvin, tangannya sesekali merapikan kerah jas suaminya—kebiasaan kecil yang kini terasa wajar.“Papa, Belva,” panggil Arumi dari kejauhan.Ia melangkah mendekat dengan senyum lebar, toga membingkai wajahnya yang matang. Di sampingnya, Edo berjalan dengan langkah tenang. Mereka berhenti tepat di depan keluarga.“Selamat, Rumi,” ucap Fredy, suaranya berat namun hangat.Yarra memeluk cucunya lama. “Kami bangga sekali.”Belva tersenyum bahagia lalu menggenggam kedua tangan Arumi. “Gimana? Sudah lega?”Arumi tertawa kecil dan mengangguk. “Aku akhirnya selesai.”Edo menunduk sopan. “Terima kasih sudah datang.”Alvin menepuk bahu Edo singkat. Tidak banyak kata, tapi isy

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   95. Restu

    Saat semua orang bergembira dan menjabat tangan Edo dan Arumi bergantian. Alvin terdiam sambil menatap Edo tanpa berkedip. Lalu, perlahan, ia menyeret Edo ke pojok ruangan.“Sejak kapan?” Alvin melipat kedua yang tangannya di perut sambil menatap Edo tanpa jeda.“Umm... maaf, Om. Kami semakin dekat saat kembali bersama ke luar negeri. Karena satu kampus juga, kami jadi sering bertemu.” Edo menjelaskan.“Kenapa kalian diam-diam? Belva tau?”Edo menggeleng. “Arumi bilang, kalau Belva tau, ia akan langsung cerita pada Om. Arumi mau ini menjadi kejutan.”“Oh yaa.” Alvin mendelik. “Aku memang sangat terkejut.”Edo menunduk santun. “Maaf, Om.”Lalu, Alvin teringat sesuatu. “Belva pernah bilang kamu sudah memiliki kekasih.”“Kami tidak berjodoh.” Edo menghela napas. “Kami sudah putus sebelum aku memutuskan sekolah lagi.”“Begitu.”“Aku minta restu, Om.”Alvin mendekat ke telinga Edo dan mengancam, “Kupatahkan lehermu kalau sampai menyakiti putriku!”Setelahnya, Alvin bergabung pada keluargan

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   94. Dua Wisuda

    Pagi itu datang dengan situasi yang berbeda. Alvin memeluk dan mengelus punggung Belva yang terbuka. Wanita itu masih nyaman tidur dalam dekapan.“Sayang, aku harus siap-siap ke rumah sakit,” ucap Alvin.“Umm... aku masih mau dipeluk begini.” Belva menggumam sambil mengeratkan pelukannya.Alvin terkekeh. “Lima menit lagi. Oke?”Tidak ada jawaban. Hingga lima menit berikutnya, Alvin mengangkat tubuh Belva dan membopongnya ke kamar mandi.“Aku masih mau tiduran.” Belva merengut kala Alvin melepas pakaiannya.“Sekalian aku mandi, Sayang. Setelah aku berangkat, kamu bisa tidur lagi.”Akhirnya, Belva pasrah dimandikan sang suami. Dengan manja, Belva mengalungkan lengannya di leher Alvin saat tangan lelaki itu mengusap sabun ke seluruh tubuh istrinya. Mereka bertatapan, berciuman hingga kedua kaki Belva kini naik ke pinggang Alvin.Sambil menjaga keseimbangannya di lantai yang basah, Alvin membantu Belva bergerak di atas tubuhnya. Setelah sama-sama mendapat pelepasan, Belva menjejakkan kaki

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   93. Mengukir Kenangan

    Dalam pesawat, Belva menggulir foto-foto bulan madunya. Ia tersenyum-senyum menatap kebersamaannya di kamar bersama Alvin.“Kita nggak bisa nunjukin foto-foto ini, lho.” Belva memperlihatkannya pada Alvin. “Bagaimana kalau ada yang tanya?”Alvin melirik layar ponsel Belva. Ia malah tertarik lalu meminjamnya. Lelaki itu tersenyum melihat dirinya dan Belva di ranjang dengan tubuh bagian atas polos, hanya tertutup selimut tipis.“Aku suka foto-fotonya. Terlihat benar-benar penampakan bulan madu.”“Iyaa. Tapi kalau Arumi tanya gimana?”“Lagian kenapa kamu selalu pakai lingerie?” Alvin menggoda sang istri. “Padahal nggak pakai apa-apa juga akan lebih bagus.”“Hei! Bukan aku yang packing. Isi koper itu sebagian dari Arumi dan Kak Estella.” Belva mencebik. “Dan memang lingerie itu percuma karena kamu selalu membukanya.”“Karena aku juga nggak pakai apa-apa.” Alvin berbisik di telinga Belva.Tangan Belva terjulur mengusap rahang Alvin yang masih sibuk menggulir foto dari ponsel Belva. “Mana m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status