Kami tiba di tempat parkiran motor, semua mata memandang ke arahku dan juga Firman, hal itu membuatku sedikit merasa tidak nyaman.Setelah Firman memarkirkan motornya dia bergegas menghampiriku. "Ayo, Mbak. kita cari bahan yang Mbak inginkan?!" ajaknya, menggenggam tanganku. Aku segera menepis tangannya, tak enak dengan tatapan orang-orang yang berada disana. Sepertinya mereka mengenaliku. Aku biasa di antar oleh Mas Hendra, namun kali ini malah di antar oleh laki-laki berbeda. "Tidak perlu, sebaiknya kau di sini saja, Firman." tukasku."Loh, kok begitu, Mbak? aku kan mau nganter Mbak Winda ke pasar, tentu saja aku harus ikut. Masa di sini terus, emangnya aku tukang ojek." Firman membuang pandangan ke arah lain, sepertinya dia merajuk.Aku menghembuskan napas kasar "Dasar Firman. Udah jangan ngambek begitu. Tapi nanti kamu jangan rewel ya.""Siap Bos!" Jawabnya memberi hormat. Firman nyengir ke arahku, memperlihatkan barisan giginya. Dia tersenyum sangat—manis.Deg Deg Deg!Jantungku
Aku menempelkan telingaku pada daun pintu. Suara itu semakin terdengar jelas."Ayo, Mas. Goyang yang cepat. Ahh!""Kau sangat nikm4t sayang."Tiba-tiba saja perasaanku mendadak tidak enak. Keringat dingin membanjiri pelipisku. Pikiranku berkecamuk memikirkan apa yang sedang terjadi di dalam sana.Aku segera mengetuk pintu dengan cepat, kemudian membukanya.BRAK!Mataku membulat sempurna, disana ada Mas Hendra dan seorang—wanita. Mereka terkejut melihat kehadiran ku. Mereka sedang berada dalam posisi sang wanita duduk di pangkuan suamiku. Dengan tangan yang melingkar di lehernya.Melihat kehadiranku Mas Hendra langsung mendorong wanita itu agar berdiri. Aku diam mematung, lidahku kelu tak mampu berucap sepatah katapun. Jadi benar dugaanku mengenai kontak bernama 'tukang servis' waktu itu. Apa itu kontak wanita yang sedang bermain dengan suamiku itu.Mas Hendra membetulkan celananya dengan cepat, kemudian berjalan menghampiriku yang masih diam mematung di daun pintu."Winda sayang, kau
Aku masuk ke dalam kamar hotel dengan ranjang berukuran big size. Firman hanya memesankan kamar untuk satu orang. Setelah memastikanku memiliki tempat menginap malam ini, dia bilang akan pulang. Aku duduk di pinggir ranjang dengan wajah tertunduk lesu."Mbak yakin tidak ingin pulang?" pertanyaan Firman membuyarkan lamunanku. Aku segera menggeleng, "Tidak," balasku."Sampai kapan?" Firman bertanya lagi. Aku menghembuskan napas kasar. "Entahlah, sampai kondisi hatiku membaik." jawabku."Baiklah, jika Mbak butuh seseorang untuk bercerita. Jangan sungkan padaku." ujarnya, aku tersenyum. "Terimakasih, Firman.""Tidak perlu berterima kasih. Mbak Winda adalah kakak iparku, aku pasti akan memastikan Mbak Winda baik-baik saja. Apalagi...." Firman menjeda ucapannya. Aku mendongak, menatap matanya lekat. "Apalagi?" tanyaku memastikan."Ah sudahlah, Mbak tidak perlu tau." katanya. Aku menautkan alis. "Apa Firman? Jangan membuat Mbak penasaran?!""Bukankah aku sudah pernah memberitahumu, bahwa—aku
Firman mendekat ke arahku. "Mbak. Apa kau butuh sesuatu? Kenapa wajahmu terlihat sendu?""Aku ingin pulang."Wajah Firman yang semula tersenyum berubah datar, "Pu—pulang?" tanya-nya. "Kenapa berubah pikiran, Mbak? Apa ada sesuatu yang membuat Mbak Winda nggak nyaman?" Aku menggeleng. "Tidak ada.""Lalu kenapa? Bukankah tadi Mbak memintaku untuk tidak memberitahukan keberadaan mu pada siapapun, termasuk Kak Hendra?" Firman menelisikku.Aku menunduk, "Tidak ada apa-apa, Mbak tidak ingin seperti ini terus. Mas Hendra harus bisa memutuskan kelanjutan tentang hubungan ini kedepannya mau seperti apa?!""Mbak Winda tak perlu khawatir, jika Kak Hendra tetap memilih wanita itu. Masih ada aku." ucapnya, tersenyum manis.Aku menatap Firman, mencari ketulusan di sana. Benarkah yang di ucapkannya. "Terimakasih,"Firman menghembuskan napas kasar. "Baiklah jika Mbak Winda ingin pulang, bersiap-siap lah. Aku akan mengurus sesuatu sebentar."Aku mengangguk.Firman keluar dari kamar hotel.***Kami pul
Aku mengangguk. Setelah Mas Hendra mengemudikan mobilnya dan berjalan menjauh, aku masuk ke dalam rumah, kemudian menutup pintu. Namun saat berbalik aku di kejutkan dengan Firman yang berdiri di belakangku."Firman!" pekikku terkejut. Firman malah tersenyum kemudian menarik pinggangku."Mbak, aku kangen banget, padahal baru tadi pagi kita berpisah." ucap Firman yang langsung memelukku.Aku berusaha untuk melepaskan diri, namun Firman semakin memelukku dengan erat. Aku menghembuskan napas kasar membiarkannya. Aku membalas memeluk Firman, nayatanya aku pun sangat merindukannya.Perasaan apa ini? Benarkah aku telah jatuh cinta padanya.Firman mengendurkan pelukannya, kemudian menatap wajahku. Aku membalas menatapnya. "Kenapa tadi kau bersikap dingin padaku? Bahkan kau sama sekali tidak melihat ke arahku. Aku salah apa?"Firman menangkup wajahku. "Tidak ada yang salah, Mbak. Aku hanya menjaga jarak saat ada Kak Hendra. Aku tidak ingin dia curiga."Aku mengulum b1bir, kata-kata Firman meny
"Mas, sudah kubilang—" Aku berbalik menghadapnya, dengan tangan yang masih melingkar di pinggangku. Mataku mengerjap melihat pria yang kini berada di hadapanku."Firman!"Sstttt! Firman menaruh jari telunjuknya pada bi birku. Kemudian tersenyum. Firman menarik pinggangku hingga aku tersentak.Kami saling memandang, jantungku berdegup kencang saat melihat manik mata Firman, apalagi senyumnya yang menawan. Firman mengusap pipiku kemudian menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. "Mbak Winda sangat cantik." bisiknya. Aku memalingkan wajah ke samping masih merasa kesal terhadap ulahnya tadi. Firman malah mencondongkan wajahnya kemudian meng?cup pipiku. Mataku membola, aku langsung menatapnya dengan sangar. Padahal dalam hatiku berbunga-bunga. Firman sungguh sangat romantis.Namun seketika aku teringat pada Mas Hendra yang berada di rumah juga, spontan aku mendorong Firman sekuat tenaga. Firman yang mendapat dorongan dariku tak seimbang dia menabrak rak dan terjatuh. Sebuah piring jatuh
KREK! pintu kamar terbuka, kini Firman berdiri di hadapanku. Dengan mata berkaca-kaca aku menatap wajahnya. Firman mendekat kemudian, "Bukan karena Mbak telah jatuh cinta padaku?" ujarnya. Membuatku menelan ludah.Glek!Firman mendekat ke arahku, aku menunduk. Mulutku terkatup rapat, sulit untuk mengatakan perasaanku. Aku merasa malu mengingat statusku adalah kakak iparnya."Katakan Win, Winda. Tak perlu malu, disini hanya ada kita berdua." bisik Firman. Aku mendongak menatapnya, saat panggilan dirinya terhadapku telah berubah."Se—sebenarnya aku... Aku memang, E—" Aku tergagap. "Apa, Hem?" Firman menarik pinggulku hingga jarak kami semakin dekat. Dalam posisi ini aku sangat merasa malu, jantungku berdegup semakin kencang.Deg deg deg.Firman meraih wajahku yang semula menunduk, agar mendongak menatap wajahnya. Firman meng3lus wajahku. Aku memejamkan mata, s?ntuhan ini sangat ku rindukan.Mataku terbuka. "Aku tau ini salah, tapi aku tak bisa membohongi diriku lagi. Aku .... Mencintai
Hari ini, cuaca sangat cerah, secerah hatiku. Tadi pagi mendapatkan kecupan dari kekasih hati, meskipun secara sembunyi-sembunyi. Aku jadi tambah bersemangat untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Aku pergi ke pasar tanpa di temani oleh siapapun. Firman dan Mas Hendra tidak ada di rumah. Mereka sudah pergi bekerja sejak pagi tadi. Jadi aku hanya sendiri di rumah.Di pasar aku tak sengaja berpapasan dengan kakak iparku—Mbak Santi.BRUK!"Ahh!" Aku memekik saat seseorang seperti sengaja menabrakku. Barang-barang belanjaan yang ku bawa jatuh. Berserakan di tanah. Begitu juga dengan milik si penabrak."Makanya kalo jalan itu liat-liat!" ujarnya. Aku seperti mengenali suaranya kemudian mendongak melihatnya. "Mbak Santi!" kataku.Mbak Santi membuang pandangan saat aku menyapanya. "Mbak Santi apa kabar? Terakhir aku dengar dari Mas Hendra katanya Mbak mencret-mencret, ya. Sampe masuk rumah sakit, masuk doang. Abis itu balik lagi soalnya gak bawa BPJS." Mbak Santi tersenyum miring, "Iya. Itu s