"Akhirnya kamu datang juga, Ny. Tapi sayang… semuanya sudah terlambat."
Suara Clara terdengar ringan namun mengandung racun, seperti pisau yang dibungkus senyum. Anya berhenti di ambang pintu ruang kerja Dio, napasnya masih tersengal karena berlari—dan karena amarah. Tapi pemandangan di depannya membuat tubuhnya mendadak membeku. Clara duduk di pinggir meja Dio, terlalu dekat, tangannya menyentuh lengan pria itu dengan intim. Dio tersenyum, tidak terganggu sedikit pun. Bahkan seolah menikmati kehancuran yang sedang menimpa Anya. Anya menatap mereka lalu melempar tumpukan dokumen ke meja Dio. Tangannya bergetar, tapi matanya tajam menusuk. “Ini apa? Dana perusahaan dipindahkan ke rekening pribadi kamu dan... Clara?!” Beberapa jam sebelumnya, Anya mendapat kabar dari divisi keuangan bahwa perusahaannya, Ardistya Corp, resmi dinyatakan bangkrut karena penghasilannya minus membuat para investor menarik diri. Selain itu, berbagai asetnya juga banyak yang dibekukan, menambah beban di perusahaannya untuk bangkit. Belum lepas dari keterkejutan itu, Anya mendapati hal yang janggal di laporan trasnfer keuangan. Ketika ia mengeceknya, ternyata ada sejumlah uang ratusan juta yang selama ini diam-diam mengalir ke rekening Dion Mahesa, pacarnya, dan Clara Oktaviani, sahabatnya. Oleh karena itulah, ia bergegas menuju ruangan Dion untuk meminta klarifikasi tapi malah mendapati keduanya sedang bermesraan. Membuat Anya buru-buru melabrak masuk ruangan Dion. Dio tidak tampak panik. Ia malah menyandarkan punggung ke kursi, ekspresinya santai. Clara berdiri dengan angkuh, menyilangkan tangan di depan dada. “Kamu terlalu sibuk jadi superwoman,” ujar Clara datar. “Kami cuma ambil alih sebelum semuanya benar-benar hancur.” “Ambil alih?” Anya tertawa kering. “Kalian nyolong uang perusahaan! Mengkhianati aku di belakang! Itu yang kalian sebut ambil alih?” Clara mengangkat bahu. “Kami cuma menyelamatkan yang tersisa dari puing-puingmu.” Anya menatap Dio, hatinya nyaris runtuh ketika melihat senyum tipis pria yang ia cintai selama empat tahun itu. “Dan tidur bersama?” bisik Anya dengan suara tercekat. “Itu bagian dari penyelamatan juga?” Tak ada jawaban. Hanya senyuman sinis. Amarah Anya mendidih. Tapi bukan hanya karena dikhianati, melainkan karena diremehkan. Ia melangkah mendekat. “Kalian pikir aku bakal diam?” Dio tertawa pelan, meremehkan. “Apa yang bisa kamu lakukan dengan posisimu sekarang, Anya?” katanya, “Kami hanya mempercepat proses yang memang akan terjadi.” Anya menampar Dio. Keras. “Selamat,” ucapnya getir. “Kalian berhasil membunuh satu-satunya hal yang aku cintai selain kalian berdua.” Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan ruangan tanpa menoleh. Tapi air mata tak sempat jatuh. Tidak di depan pengkhianat. -- Beberapa jam kemudian – Bar di pusat kota Langit Jakarta meneteskan gerimis, tidak cukup untuk menenangkan pikiran Anya yang sedang berdiam diri di bar. Anya duduk di pojok dekat jendela. Gaun hitamnya masih terpasang rapi, makeup-nya belum luntur, tapi sorot matanya mati. Ia menyulut rokok, mengisapnya dalam, lalu menatap gelas whiskey yang belum tersentuh. Lalu—CRANG! Suara pecahan gelas dari sisi ruangan membuatnya menoleh refleks ke sumber suara. Anya melihat seorang pria tinggi berjas hitam berdiri di dekat seorang hostes muda yang tampak gemetar, wajahnya memucat. Posisi tubuh hostes itu agak terhimpit ke dinding dan dari sudut pandangnya, pria itu terlihat mendominasi situasi. Tangan hostes itu menutupi dadanya, seolah sedang mempertahankan diri. Tanpa berpikir panjang, Anya bangkit dari sofa. Kepalanya berat karena alkohol, emosinya masih membara. Ia menghampiri mereka dengan langkah cepat. “HEI!” teriaknya, “Apa kamu pikir wanita itu barang, hah?! Dasar laki-laki brengsek!” Sebelum siapa pun sempat bereaksi, Anya meraih gelas whiskey di meja terdekat dan menyiramkannya tepat ke wajah pria itu. Hostes menjerit kaget, beberapa tamu menoleh. Musik berhenti. Keheningan menyelimuti bar. Pria itu mengangkat wajahnya perlahan. Tetesan whiskey menetes dari dagunya. Matanya—gelap dan dingin—menatap Anya dalam diam. Tatapan itu… membuat jantung Anya berdegup keras. Ada sesuatu di balik sorot mata pria itu yang membuatnya membeku di tempat. Tatapan penuh kendali. Penuh ancaman. Tapi juga tanpa ekspresi—membuatnya semakin tidak bisa menebak. Tiba-tiba hostes itu berkata terbata, “Ma-maaf, Bu. Bukan salah dia. Tadi saya yang salah langkah, saya hampir jatuh, dan dia… menahan saya…” Darah Anya mengalir surut. Astaga. Perlahan, wajahnya memucat. Ia baru saja mempermalukan pria yang salah. Tanpa menunggu lebih lama, Anya langsung berbalik dan berjalan cepat ke luar bar. Diterpa angin malam dan rasa bersalah yang samar, ia menghilang di balik kabut gerimis, tak tahu bahwa pria yang barusan ia siram adalah… --- Keesokan harinya – Kantor Andinata Corp Anya berdiri di depan cermin, wajahnya tegang. Rambutnya disanggul rapi, makeup-nya sempurna. Tapi matanya masih menyimpan bayangan kemarin malam. Ia menghela napas, menggenggam map proposal kerja sama yang bisa jadi satu-satunya harapan menyelamatkan hidupnya. Di ruang rapat eksekutif, langkahnya terdengar menggema di antara dinding kaca dan furnitur mewah. Pintu terbuka. Sosok pria berjas gelap berdiri membelakanginya, membalik badan dengan tenang. Tatapan mereka bertemu. Anya berhenti bernapas. Dia. Pria dari bar. Yang ia siram whiskey di depan publik. Reynard Andinata. CEO Andinata Corp. Dingin. Dominan. Tak tertebak. “Jadi kamu yang datang ingin kerja sama?” suaranya datar, “Sebelum kita bicara bisnis… bagaimana kalau kita selesaikan dulu urusan pribadi kita?” Anya berdiri membeku. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar kehilangan kata. Dan ia sadar—ia baru saja memulai babak baru yang jauh lebih berbahaya.Pagi itu, langit Jakarta seperti kain satin kelabu—lembut, tapi menyimpan badai. Suite hotel terasa dingin dan hening. Anya berdiri di depan cermin, menyisir rambut perlahan, setiap gerakan seperti persiapan menuju ring tinju. Reynard berdiri di belakangnya. Kemeja putih, lengan tergulung, jam tangan hitam mencolok di pergelangan. “Siap?” tanyanya tanpa menatap. Anya menoleh sekilas. “Kau selalu menyambut pagi seolah akan menyerbu pasar saham?” “Ini bukan pagi biasa.” Suaranya datar. “Ini meja makan Nyonya Besar. Dan di meja itu… banyak orang tumbang.” --- Restoran Privat, Lantai Bawah Langkah mereka berhenti di ambang ruangan. Nyonya Besar duduk di tengah meja panjang, bak ratu tua yang masih memegang seluruh catur hidup keluarga. Di kanan-kirinya: Felicia si sepupu licik, Axel si adik sarkastik, Bibi Grace dan Paman Harun, memandang mereka seperti tatapan audit. Meja penuh makanan mahal—tapi atmosfernya setajam pisau steak. “Duduklah,” ujar Nyonya Besar. Nada suaranya t
Satu jam setelah kontrak diteken, Anya berdiri di penthouse Reynard. Ruangan itu terlalu sunyi untuk sebesar itu.Putih. Bersih. Rapi. Seperti hidup yang tak pernah disentuh kesalahan.Dan pria itu berdiri di sana, setenang patung marmer. Tapi matanya menatapnya tajam seolah mengulitinya. “Kita harus terlihat nyata.”Suaranya dalam. Dingin, tapi menyentuh sisi kulit yang tak tertutup logika.“Mulai dari genggaman tanganmu… sampai caramu memandangku, seolah aku pusat duniamu.”Anya menyipit. Bibirnya melengkung sedikit.“Latihan... jadi kekasih? Kau bercanda?”Reynard melangkah pelan. Tanpa suara, tapi menghantam udara di antara mereka.Aroma aftershave-nya menyusup halus, seperti bayangan yang terlalu dekat.Tangannya terangkat dan di pinggang Anya. “Belajarlah menatapku,” bisiknya nyaris tak terdengar,“Seolah hanya aku yang bisa membuatmu tetap utuh.”Anya menahan napas. Bukan karena gugup tapi karena sistem alarm dalam dirinya meraung. Meski begitu, ajahnya tetap datar. Tapi det
2. Takdir Diatas Kertas Menatap Anya tajam seperti singa yang tahu mangsanya tak bisa lari. Anya memasang wajah datar. “Saya datang untuk—” “Diam.” Suaranya tajam. Tegas. “Sebelum kita bicara bisnis, kau berutang penjelasan.” Anya mengangkat dagu sedikit. “Saya rasa Anda salah orang. Saya—” Reynard tertawa pendek. Dingin. Kosong. “Kau kira aku main-main?” Tatapannya makin tajam, “Kau siram wajahku lalu lari seperti tikus. Sekarang kau datang ke wilayahku, membawa proposal usang, berharap aku menyelamatkan bangkai perusahaanmu.” Anya tak menjawab. Dia tidak bisa—tidak ketika udara mendadak terasa berat seperti diinterogasi mafia kelas atas. Reynard mendekat. Meja di antara mereka tak berarti apa-apa saat pria itu berdiri di depan Anya, hanya beberapa jengkal darinya. “Aku bisa menyingkirkan seluruh nama keluargamu dari daftar bisnis kota ini,” ucapnya datar, “Dalam dua hari. Tanpa sisa.” Anya mengepal jemarinya. “Kalau Anda merasa dirugikan, saya minta maaf. Tapi saya tidak da
"Akhirnya kamu datang juga, Ny. Tapi sayang… semuanya sudah terlambat." Suara Clara terdengar ringan namun mengandung racun, seperti pisau yang dibungkus senyum. Anya berhenti di ambang pintu ruang kerja Dio, napasnya masih tersengal karena berlari—dan karena amarah. Tapi pemandangan di depannya membuat tubuhnya mendadak membeku. Clara duduk di pinggir meja Dio, terlalu dekat, tangannya menyentuh lengan pria itu dengan intim. Dio tersenyum, tidak terganggu sedikit pun. Bahkan seolah menikmati kehancuran yang sedang menimpa Anya. Anya menatap mereka lalu melempar tumpukan dokumen ke meja Dio. Tangannya bergetar, tapi matanya tajam menusuk. “Ini apa? Dana perusahaan dipindahkan ke rekening pribadi kamu dan... Clara?!” Beberapa jam sebelumnya, Anya mendapat kabar dari divisi keuangan bahwa perusahaannya, Ardistya Corp, resmi dinyatakan bangkrut karena penghasilannya minus membuat para investor menarik diri. Selain itu, berbagai asetnya juga banyak yang dibekukan, menambah beban di pe