WHUZZZ!
Sekelebat bayangan tiba-tiba muncul. Tangannya menggengam sebilah tombak bermata besi dengan ornamen tengkorak.Awan menarik tubuh She Xian dan menyembunyikan di balik tubuhnya."Siapa kau? Apa tujuanmu ke sini?" hardiknya."Membunuhmu." Tombak itu menghujam. Belum sempat menangkis serangan, Awan berbalik saat merasakan tusukan di pinggangnya."Maafkan aku ...," lirih She Xian gemetar."Dasar bodoh. Saatnya kau ke Neraka!" Tombak melesat menyerang Awan yang terpana.BLEEPP!!"Maaa!" Arumi histeris melihat layar TV yang tiba-tiba gelap."Apa?""Ini lagi seru-serunya. Pendekar Awan mau terbunuh. Cepat nyalakan tvnya," rengekny lagi."Bukannya kamu mau pergi ke Butik?""Masih ada waktu, Ma. Please ....""Kebanyakan drama kamu. Cepat. ini sudah mau jam empat.""Kasihan pendekar Awan, dihianati kekasih, hampir terbunuh lagi,"gerutunya pelan."Ooh ... mau ada pembunuhan juga di sini!" delik Mama menggesekkan remot TV ke lehernya. Arumi meringis lalu beringsut menuju kamar mandi.Tepat pukul setengah lima sore, Arumi sampai di depan Asoka Butiqe. Seorang gadis berambut pendek menyambutnya sambil tersenyum. Dia memperkenalkan diri sebagai Sinta."Silahkan duduk, Kak. Kami akan menyiapkan pakaiannya."Sambil menunggu, Arumi mengambil ponsel dan mencari kontak Ryan.Ryan adalah tunangan Arumi, mereka berteman sejak duduk di bangku SMA. Sifat Ryan yang playboy membuat Arumi sama sekali tidak meliriknya saat itu. Namun tiba-tiba saja Ryan berubah.Ketika Arumi mengalami cedera yang mengakibatkan karier atletnya terhenti, dia bak hero yang selalu ada untuk Arumi. Perhatiannya yang tulus perlahan membuat hati Arumi luluh."Silahkan dicoba gaunnya, Kak." Suara Sinta menyadarkan lamunannya."Nanti, Riri yang akan membantu." Gadis lain datang membawa gaun pilihan Arumi."Cantik sekali," bisiknya terpana setelah Arumi berganti pakaian. Tubuh langsing Arumi tentu padan memakai baju apa saja, leher jenjangnya semakin menonjol dengan kerah sabrina gaun yang dikenakannya.Riri membantu merapikan rambut Arumi, menyusunnya membentuk sanggulan sederhana."Sayang sekali pengantin pria belum datang. Pasti dia akan terpesona melihat penampilan Kak Arumi saat ini. " celetuknya riang."Benar juga, kemana Ryan?" Arumi meraih ponsel di meja lalu menelponnya."Halo.""Ryan, kamu di mana? Aku sudah di butik. Bukannya kita fitting baju pengantin hari ini?""Haloo ... Ryan?""Arumi ....""Kenapa?""Pernikahan ini batal. Maaf." Telpon dimatikan.Arumi tercengang, bisa-bisanya Ryan bercanda di saat seperti ini. Dia kembali menelpon, namun ponsel Ryan tidak aktif."Pernikahan batal? Haha, Siapa yang mengemis mengajak menikah 6 bulan lalu. Ryan sialan."Sinta dan Riri saling pandang mendengar umpatan Arumi. Lebih terkejut lagi saat tiba-tiba Arumi meninggalkan ruang itu tanpa bicara sepatah kata pun."Gawat. Dia membawa gaun itu," keluh Riri membayangkan jumlah potongan gaji yang harus diterimanya"Tenang saja. Mereka kaya. Jangankan membeli gaun-gaun ini, membeli Kau pun sanggup," tukas Sinta cuek sambari membersihkan meja.**Kalap. Arumi melarikan mobilnya. Sudah beberapa tempat dia datangi untuk mencari keberadaan Ryan, namun batang hidung si brengsek itu belum ditemukan. Entah kemana dia bersembunyi.Sebuah tempat terlintas dikepalanya, Arumi memutar haluan menuju rumah pernikahan mereka. Benar saja, dari jauh mobil Ryan sudah tampak terparkir di halaman.Tunggu saja, Ryan. Aku akan memukulmu sampai kau berteriak minta ampun.Pemandangan yang terhampar saat dia membuka pintu sontak membuatnya terbelalak, bagaimana tidak, di sofa yang mereka pilih bersama, terlihat jelas Ryan tengah menempelkan daun telinganya pada perut seorang wanita.Sambil mengelus perut yang mulai membuncit, Ryan tersenyum sambil menggumamkan sesuatu. Seketika dada Arumi terasa di remas dan tertusuk berbarengan."Ryan .... "Pria itu terkesiap, ditatapnya Arumi yang berdiri di depan pintu, langkahnya yang terhuyung dengan gaun pengantin itu tampak rapuh.Rambutnya yang tersanggul tampak berantakan, beberapa rambut bahkan sudah tergerai dan menutupi pipinya.Gaun yg dikenakannya terlihat sangat kotor, sudah terbayangkan Arumi menyeretnya kemana-mana."Siapa wanita itu?" tanyanya parau, "Kau menghamilinya?" lirihnya menatap mata pria yang telah membersamainya 3 tahun ini. Namun dia kecewa saat mata itu berpaling dengan bibir terkatup , memaksa Arumi mengalihkan pandangan pada wanita yang tertunduk di sebelahnya"Apa kau tahu kalau kami akan menikah? Ka-""Aru. Tolong mengerti."Deg. Sebuah batu seakan menghantamnya dengan keras"Baik. Tolong jelaskan apa yang harus aku mengerti saat melihat kau menempelkan telingamu pada perut buncit seorang wanita."Dia menatap tajam perempuan dengan daster merah bermotif kembang sepatu di atas lutut. Mengapa mudah baginya berbalut kain tipis di depan Ryan. Apa mereka tinggal bersama?"Kau siapa? saudaranya? temannya? pacar gelapnya? Apa Kalian kumpul ke-""Stop! Jangan menyalahkan Aira!" Potong Ryan membuat Arumi ternganga, belum pernah Ryan membentaknya seperti ini. Ryan yang dikenalnya tidak pernah berkata keras apa lagi sampai membentak."Dia kekasihku." Ryan merangkul wanita yang mulai menangis, "Jangan sakiti dia. Dia mengandung anakku. Pergilah."Deg. Batu besar itu kembali menghantamnya dengan kuat. Hingga membuatnya sesak dan sulit bernafas. Tubuhnya hampir limbung, namun dia tidak ingin kalah, mati-matian dia berusaha menahan diri dengan bersandar pada dinding."Aku menolak. Ini rumahku!" ujarnya menggeleng dengan kaki gemetar."Kau." Tunjuk Ryan dengan wajah merah. "Keluar dari sini!""Tidak." Tolak Arumi keras saat Ryan menyeret tubuhnya, pria berkacamata itu berdecak geram."Aku sebenarnya tidak ingin menyakitimu, tapi kau keras kepala." Ryan mendorongnya keluar lalu menutup pintu."Ryan! Ryan!!" Arumi mendobrak rumah mewah itu, namun tentu saja usahanya sia-sia."Bulan madu nanti, kamu mau ke mana, Sayang? Ayo kita pergi ke tempat yang kamu inginkan?" Sepasang mata teduh itu menatapnya lembut, sesekali jemarinya bergerak menyelipkan rambut Arumi yang tergerai ke balik telinga sambil menggodanya.Gadis tertawa sambil menjauhkan diri karena garukan di belakang kupingnya. Dia merasa panas, geli sekaligus malu. Namun tangan kekar itu secepat kilat merengkuhnya. Mengungkungnya dengan erat."Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Selamanya."TIN.TIINN!!Arumi tersentak. Suara klakson motor yang melintas membuatnya tersadar, dia tak tahu bagaimana dia berkendara karena saat ini dia sudah berada di jembatan Kapuas.JELEGERR!!!Langit tampak bergetar membiaskan warna kemerahan. Sayup terdengar suara adzan maghrib.Air matanya terus mengalir, lagi dan lagi. Entah sudah berapa kali dia menghapusnya, menekan kuat kelopak matanya agar berhenti membuat genangan air yang sudah tak bisa dibendung lagi.Dia benci harus menangis meratapi laki-laki yang bahkan sudah meninggalkannya. Benci harus terlihat lemah. Benci karena telah dipermalukan.Wajah itu kian muram, matanya kuyu dan meredup. Terseok dia melangkah menuju dinding jembatan. Entah apa yang merasukinya hingga memanjat pagar dan berdiri di sana.Arumi bersiap-siap menunggu jemputan dari Jendral Jiao. Setelah ditinggalkan Kai begitu saja, dia merasa sebatang kara, dan bingung harus kemana. Beruntung Jendral Jiao menawarkan solusi untuk menetap di kediamannya sementara sampai Arumi lebih sehat sambil memikirkan arah tujuannya. Awalnya dia berniat tinggal di penginapan Niu, namun kepingan uangnya menipis. Tawaran yang diajukan Jendral Jiao sangat menarik. Dia akan merasa aman bersama petugas pemerintah itu, selain itu tentu dia tidak perlu repot mengeluarkan uang untuk membayar penginapan dan makanan. Ini sangat luar biasa, hanya orang bodoh yang akan menolaknya."Nona, jemputan anda sudah datang." Suara laki-laki terdengar setelah ketukan pintu. Rupanya orang yang akan membawanya ke kediaman Jendral Jiao sudah tiba. Memang tadi dia meminta izin kepada Jendral Jiao untuk mengambil pakaian dan Barang-barangnya dari wisma Niu sebelum mereka berangkat ke kediaman Jendral Jiao. Jendral Jiao mengiyakan dan berkata akan mengatur or
Tubuh itu terbungkuk, dahi dan pipinya mengernyit, darah tersembur dari mulut, namun kedua tangannnya masih mengontrol gelembung udara yang menyelimuti Qui dan Chyou. melihat musuhnya tak bergeming, She Xian kembali mencungkil perut Yeye, menusukkan kelima jari runcing ke dalam perut Yeye dan mengeruk darah dari lubang itu.Air mata menetes dari pelupuk mata Qui, hatinya terasa tertusuk ribuan jarum melihat Yuze yang berjuang sekuat tenaga, mengobarkan nyawa demi melindungi mereka. Mata itu terpejam, tak sanggup melihat ketiadaan Yuze yang sangat menyakitkan.Balon udara terangkat dan terbang menjauh, melindungi mereka dari serangan Hei An. Setelah menerbangkan gelembung udara, lutut pria tua itu terjatuh, nafasnya tersengal, tangannya lunglai se lunglai tubuhnya yang kehabisan tenaga, darah membanjiri tubuh bagian bawah. Dia tidak mati sia-sia karena berhasil menyelamatkan Amethyst, kedua saudaranya dan Lien Hua. Dia sudah menang. Senyum terukir dari bibirnya yang dipenuhi darah,
"Di mana Amethystku." Hawa tiba-tiba terasa panas, mereka sontak menoleh, pria besar berambut merah menatap garang. Bola mata berwarna merah darah itu menguliti satu persatu wajah kelelahan di hadapannya. "Siapa kau?" tanya Qui menatap tak kalah tajam, tubuhnya bersiaga, hawa panas yang menyertai kedatangan pria bermata merah itu membawa kesuraman.Ujung matanya melihat dedaunan yang menguning lalu layu seketika, bahkan kuncup bunga menghitam dan kering. "Aku pemilik Amethyst, cepat serahkan padaku, dan jadilah hambaku. Maka kalian akan kuampuni" Dia mengangkat telapak tangan, percikan api muncul yang kelamaan membentuk gumpalan bola api. Sambil menyeringai memperlihatkan giginya yang runcing, Hei An mempermainkan bola api di telapak tangannya memantul dan berputar-putar mengelilingi mereka satu persatu. Bola api pecah dan menyebar ke segala penjuru saat Hei An menjentikkan jemari. Percikan menghantam dan membakar segala sesuatu yang mengenainya. "Lien Hua, cepat pergi." Yeye men
"Ayah,ini calon istriku." Tiba-tiba Chen Yu datang memperkenalkan seorang wanita cantik, menurutnya, meskipun perkenalan mereka singkat namun sudah membuatnya mantap menjadikan Li Wei sebagai wanita yang akan mendampinginya sampai akhir usia. 'Apa kau yakin dengan keputusanmu Chen-chen?" tanya Yuze setelah Li Wei pulang. Meski sudah dewasa dia tetap memanggil anak semata wayangnya itu dengan nama Chen-Chen, Nama panggilan yang diberikan mending istrinya."Kenapa Ayah berkata seperti itu? Apa karena dia terlalu cantik?"Yuze tertawa spontan, "Apa yang kau katakan," tanyanya merasa geli. "Ayah tidak menyukainya karena dia terlalu cantik dari Ibu," rajuk anak itu kesal. "Kau ini." Yuze menepak bahu anaknya ringan. "Tidak ada yang lebih cantik dari Ibumu.""Kalau begitu apa karena dia bangsa siluman? bukankan aku juga setengah siluman?" Pria bermata sipit dengan alis tegas itu menatap Yuze penasaran. "Bukan seperti itu, Ayah tidak pernah mempermasalahkan soal status dan lain sebagainy
"Ada apa?"tanya Arumi saat gadis itu tampak kebingungan. Dia terlihat tidak fokus dan selalu menoleh ke samping."Sepertinya, ada sesuatu. Sebentar."Lien Hua berdiri dan membawa serta cermin hingga Arumi ikut melihat. " Paman, siapa mereka?""Wanita tidak tahu diri," jawab paman Li dengan suara dingin. Arumi sempat terkejut mendengar jawaban itu karena paman Li menurutnya adalah orang yang paling sabar di Wangliang. "Arumi apa kau penasaran siapa wanita itu?" bisik Lien Hua dengan muka jahil seperti biasa. "Aku penasaran," sahut Arumi cekikikan. Suara tawa itu memaksa Zhan An, Jiao Yu dan Ming Hao memberinya tatapan heran. "Apa yang membuatmu gembira?" Zhan An mendekat dan melihat apa yang mereka bicarakan. "Wanita tidak tahu diri." "Wanita tidak tahu diri?" Zhan An mengamati wajah sesorang wanita yang tampak lewat cermin ajaib, seketika wajahnya mengeras. Secara kasar dia merampas cermin dan melemparkannya hingga berkeping. Sontak Arumi melongo dan merasa aneh dengan tindakan
Arumi terdesak, tubuhnya jatuh terduduk dan terpojok di dinding. Pria bercadar itu menarik tombak lantas menekannya pada leher Arumi. Gadis itu meringis, ujung tombak yang tajam menggores kulit dan menimbulkan sensasi nyeri. "Kau tidak bisa membunuhku," ujarnya menantang, balas menatap tajam, "Aku tidak mau mati di sini."Tubuh tegap itu berhenti, seakan kalimat yang keluar dari mulut Arumi mengusiknya. Melihat hal itu Arumi mengedarkan pandangan, dia harus mencari sesuatu untuk melepaskan diri. Tiba-tiba seekor srigala berjalan dari arah sel, matanya memantau Arumi yang tampak sangat terkejut. Srigala itu mendekat lalu terbang melompat ke arah mereka. "Dibelakangmu!" seru Arumi dengan mata melotot, sontak Yongshen melepaskannya dan menahan serangan srigala dengan tombaknya. Tubuh Yongshen terjepit, dia mengumpulkan kekuatan di kaki dan menghantam perut binatang buas itu, lalu berputar dan melepaskan diri. Matanya mencari keberadaan Arumi namun gadis itu telah menghilang. Gadis ya