"Di mana Amethystku." Hawa tiba-tiba terasa panas, mereka sontak menoleh, pria besar berambut merah menatap garang. Bola mata berwarna merah darah itu menguliti satu persatu wajah kelelahan di hadapannya. "Siapa kau?" tanya Qui menatap tak kalah tajam, tubuhnya bersiaga, hawa panas yang menyertai kedatangan pria bermata merah itu membawa kesuraman.Ujung matanya melihat dedaunan yang menguning lalu layu seketika, bahkan kuncup bunga menghitam dan kering. "Aku pemilik Amethyst, cepat serahkan padaku, dan jadilah hambaku. Maka kalian akan kuampuni" Dia mengangkat telapak tangan, percikan api muncul yang kelamaan membentuk gumpalan bola api. Sambil menyeringai memperlihatkan giginya yang runcing, Hei An mempermainkan bola api di telapak tangannya memantul dan berputar-putar mengelilingi mereka satu persatu. Bola api pecah dan menyebar ke segala penjuru saat Hei An menjentikkan jemari. Percikan menghantam dan membakar segala sesuatu yang mengenainya. "Lien Hua, cepat pergi." Yeye men
Tubuh itu terbungkuk, dahi dan pipinya mengernyit, darah tersembur dari mulut, namun kedua tangannnya masih mengontrol gelembung udara yang menyelimuti Qui dan Chyou. melihat musuhnya tak bergeming, She Xian kembali mencungkil perut Yeye, menusukkan kelima jari runcing ke dalam perut Yeye dan mengeruk darah dari lubang itu.Air mata menetes dari pelupuk mata Qui, hatinya terasa tertusuk ribuan jarum melihat Yuze yang berjuang sekuat tenaga, mengobarkan nyawa demi melindungi mereka. Mata itu terpejam, tak sanggup melihat ketiadaan Yuze yang sangat menyakitkan.Balon udara terangkat dan terbang menjauh, melindungi mereka dari serangan Hei An. Setelah menerbangkan gelembung udara, lutut pria tua itu terjatuh, nafasnya tersengal, tangannya lunglai se lunglai tubuhnya yang kehabisan tenaga, darah membanjiri tubuh bagian bawah. Dia tidak mati sia-sia karena berhasil menyelamatkan Amethyst, kedua saudaranya dan Lien Hua. Dia sudah menang. Senyum terukir dari bibirnya yang dipenuhi darah,
Arumi bersiap-siap menunggu jemputan dari Jendral Jiao. Setelah ditinggalkan Kai begitu saja, dia merasa sebatang kara, dan bingung harus kemana. Beruntung Jendral Jiao menawarkan solusi untuk menetap di kediamannya sementara sampai Arumi lebih sehat sambil memikirkan arah tujuannya. Awalnya dia berniat tinggal di penginapan Niu, namun kepingan uangnya menipis. Tawaran yang diajukan Jendral Jiao sangat menarik. Dia akan merasa aman bersama petugas pemerintah itu, selain itu tentu dia tidak perlu repot mengeluarkan uang untuk membayar penginapan dan makanan. Ini sangat luar biasa, hanya orang bodoh yang akan menolaknya."Nona, jemputan anda sudah datang." Suara laki-laki terdengar setelah ketukan pintu. Rupanya orang yang akan membawanya ke kediaman Jendral Jiao sudah tiba. Memang tadi dia meminta izin kepada Jendral Jiao untuk mengambil pakaian dan Barang-barangnya dari wisma Niu sebelum mereka berangkat ke kediaman Jendral Jiao. Jendral Jiao mengiyakan dan berkata akan mengatur or
WHUZZZ!Sekelebat bayangan tiba-tiba muncul. Tangannya menggengam sebilah tombak bermata besi dengan ornamen tengkorak. Awan menarik tubuh She Xian dan menyembunyikan di balik tubuhnya. "Siapa kau? Apa tujuanmu ke sini?" hardiknya. "Membunuhmu." Tombak itu menghujam. Belum sempat menangkis serangan, Awan berbalik saat merasakan tusukan di pinggangnya. "Maafkan aku ...," lirih She Xian gemetar. "Dasar bodoh. Saatnya kau ke Neraka!" Tombak melesat menyerang Awan yang terpana. BLEEPP!! "Maaa!" Arumi histeris melihat layar TV yang tiba-tiba gelap. "Apa?""Ini lagi seru-serunya. Pendekar Awan mau terbunuh. Cepat nyalakan tvnya," rengekny lagi. "Bukannya kamu mau pergi ke Butik?""Masih ada waktu, Ma. Please ....""Kebanyakan drama kamu. Cepat. ini sudah mau jam empat.""Kasihan pendekar Awan, dihianati kekasih, hampir terbunuh lagi,"gerutunya pelan. "Ooh ... mau ada pembunuhan juga di sini!" delik Mama menggesekkan remot TV ke lehernya. Arumi meringis lalu beringsut menuju ka
Suara iqamat kembali terdengar sayup dari Masjid tak jauh dari jembatan tempatnya berdiri. Arumi tersadar dan kaget melihat dirinya berdiri di tepian pagar. Gelagapan mencari pijakan kokoh dan berpegangan."Hei .... " Arumi mendongak, seorang pria berdiri menatap dari balik pagar tempatnya berpijak. Cahaya temaram membuat wajahnya tak terlihat jelas, tapi terasa familiar. "Kai?" tanyanya ragu. Kenapa dia bisa ada di sini? "Kau mengenalku? Bagus sekali. Ambillah." Dia melemparkan sesuatu, secara refleks Arumi menangkapnya, ternyata sebuah pedang yang sangat berat. "Heii!"Arumi limbung, tubuhnya meluncur jatuh ke sungai.Sebelum tubuhnya menyentuh air, sepasang tangan merengkuh dan membawanya jatuh lebih dalam. ***Arumi mengerjap, Sinar matahari yang masuk melalui jendela cukup mengganggu matanya yang terpejam. Dia membuka mata lebar-lebar. Aneh. Ruangan ini terlihat sangat asing. Perlahan dia menggerakkan lehernya ke samping dan memindai ruangan berdinding kayu itu.Aroma kayu
"Hei, apa kau mendengarkan?" Lien Hua melambaikan tangannya kesal, bukannya mendengarkan keluh kesahnya gadis itu malah melamun. jadi sejak tadi dia bicara dengan siapa? dengan angin? huh. menjengkelkan. "Y-ya. Kau yang menemukanku?""Benar. Malam itu aku hendak mencuri ikan-ikan pak tua, bukannya berhasil aku malah melihatmu tersangkut di batang pohon yang hanyut. Mengapa kau bisa ada di situ, sih?""Aku tidak tahu.""Apa kau kehilangan ingatanmu?" Melihat Arumi menggeleng, gadis berambut cepol itu bergidik, sepertinya perempuan muda itu tidak waras. Pakaian yang dikenakan gadis itu saat ditemukan juga aneh. Rasanya belum pernah dia melihat pakaian seperti itu di kota Wangliang. Baju berwarna putih tulang dengan banyak sekali bebatuan yang menempel. Apa tidak terasa berat? Sejak kapan orang membuat pakaian yang digantungi batu kecil? iih. Sangat merepotkan. Apa bebatuan itu juga yang membuatnya nyaris tenggelam? ck. benar-benar tidak berguna. "Lien Hua. Apa Kau mengacau lagi?"
PRANGG!! Mangkuk berisi bubur jatuh dan pecah seketika. Sebuah tangan mencengkram bahunya, tampak guratan urat yang menonjol di sisi punggung tangan yang berwarna pucat. Arumi terjepit. Salah sedikit, sudah dipastikan lehernya akan tergorok. Dinginnya benda logam itu terasa menggerogoti lehernya. "Tunjukkan di mana kau menyembunyikan benda berharga.""Aku tidak tahu," cicitnya gemetaran. "Jangan berbohong. Apa kau ingin mati.""Ti-tidak.""Tunjukkan sekarang."Jantung Arumi mencelos, baru gagal menikah, tercebur dan masuk antah berantah, kini dia sudah berada di ambang kematian. ya Tuhan, berat sekali cobaan-Mu pada hamba yang cantik dan lemah ini. Dia baru saja membuka mata. Sama sekali tidak tahu tentang apapun, apalagi soal harta.Pasrah ditunjuknya lemari kayu. Pastilah terdapat benda berharga didalamnya. Entah uang atau apapun, terserah saja. Yang penting dia terbebas. Pria itu menyeretnya menuju lemari lalu menendang pintu dengan sebelah kaki hingga terbuka dan menggeled
Pemuda itu menyipit saat melihat seorang pria tua yang tengah berbelanja, dia menurunkan caping yang dipakainya untuk menyembunyikan wajah, lalu perlahan menyingkir dan menjauh. Pak tua itu keliatan baik-baik saja, dia terlihat begitu tenang seakan tidak terjadi sesuatu, apa rencananya tidak berhasil? Dia menggigit bibir gelisah. Sebuah anak panah melesat, pria bercaping waspada dan menghindar, lalu berlari menuju tempat sepi. "Sial. Apa pasukan lembah hitam sudah mengetahui keberadaanku. Baru 3 hari yang lalu aku mengelabui mereka dan sekarang mereka sudah menemukanku. Ck. Merepotkan."Dia mengeluarkan pedang dari tangannya lalu bersiap sedia dengan serangan yang akan diterimanya. Pria berkepala botak menebaskan pedangnya, pria muda itu menangkis lalu menendangnya hingga terpental. Tiga orang maju serentak mengayunkan kapak, dia berkelit, menangkis serangan di tengah dan menendang serangan dari kanannya. Lalu dia melompat, berlari terbang menendang orang-orang yang berlarian me