Share

3. HAL PENTING

Pintu rumah panggung bergaya lama itu terbuka seiring munculnya seraut wajah dibaliknya. Bukan Ari yang menyambutku, melainkan perempuan tua dengan tubuh masih terlihat bugar. Aku menghela napas berat, berusaha untuk tidak terlalu kecewa.

"Nona Hara?" 

"Ari, ada, Bu?" tanyaku pada Bu Sarmiah. Asisten rumah tangga yang telah berkerja puluhan tahun di rumah Ari, sahabatku.

Rasanya bertemu Ari akan membuat semua kelelahan dan sesak ini terobati. Ari yang memberitahuku tentang kabar penjualan lahan itu, dia yang tak hadir di wisudaku kemarin dan membuatku sedikit menyimpan kekecewaan. Namun, hari ini semuanya menguap begitu saja.

"Den Ari sempat singgah, Non. Tapi kemarin sore sudah pergi lagi. Mbah Kakung meninggal dan Den Ari belum kembali."

Aku terduduk di undakan tangga dengan tenaga yang terkikis habis. Lemas seluruh tulang belulangku. Sedih, haus, lapar, lelah dan pusing semua menjadi satu.

"Mbah Kakung?" Kesedihan menyapu dadaku. Terbayang wajah tua yang ikut mewarnai masa kanak-kanakku dengan senyuman ompongnya. Lelaki tua yang hangat, yang memperlakukan aku tak ada beda dengan Ari.

Pantas saja nomor Ari tak aktif-aktif, Desa Sungayang tempat tinggal Mbak Kakung belum dijamah jaringan.

"Eh, masuk dulu, Nona. Ayo ke dalam. Istirahat di kamar saja. Nona Hara baru saja pulang, bukan? Nona pasti capek habis perjalanan jauh."

Aku menurut ketika Bu Sarmiah memapahku masuk dan mengantarku ke sebuah kamar. Kamar yang biasa kutempati jika bertamu ke sini. Kamar Ari.  

Kupindai sejenak ruangan ini sebelum menjatuhkan bobot tubuh di ranjang kayu. Aroma dan susunan benda-benda di kamar ini tak pernah berubah. Dulu sekali, jika aku tidur di rumah ini, Ari akan menjadi pengungsi dengan tidur di ruang keluarga. Dia akan mengomel panjang pendek, tapi tidak tega jika aku yang harus tidur di luar.

Dari ranjang ini aku bisa langsung melihat ke halaman lewat jendela yang terbuka. Terlihat masih sama, pohon palem dan mangga yang semakin tua serta halaman berumput jepang yang tertata rapi. Kenangan masa kecil berlarian di ruang mataku.

"Ini minum dan makanannya, Nona. Dimakan, ya. Biar tenaganya cepat pulih."

Bu Sarmiah datang lagi lalu meletakkan nampan berisi hidangan di atas meja. Aku menganggukkan kepala penuh terima kasih.

"Terima kasih, Bu."

Ini bukan rumahku. Aku hanya tamu, tapi di sini aku diperlakukan lebih manusiawi. Di bangunan yang kusebut rumah, tak ada  suguhan, tak ada sapaan, bahkan tak ada senyuman. Kuraih nampan itu, rasa lapar tak bisa kusembunyikan lagi.

Selesai makan, air mataku menitik satu-satu. Teringat akhir dari pertemuanku dengan Bibi Sartika. Aku merobek kertas yang diberikannya, dan dia menamparku. Setelah itu aku pergi dari sana dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan.

Sikapnya memberi tahu jika yang dia lakukan sebenarnya adalah untuk dirinya sendiri. Bukan untukku seperti kata manisnya.

Kelelahan, aku tertidur tanpa sempat mengganti baju. Ketika terbangun, cahaya matahari sore menerobos lewat jendela. Aku bergegas mandi dan mengganti pakaian dengan setelan olahraga. Lalu kembali ke kebunku yang berjarak satu setengah kilometer dari rumah Ari ini. Sementara jarak rumahku dan Ari hanya sekitar lima ratus meter.

Sepeda tua Ari membantuku mempersingkat waktu. Tanpa ketakutan, walau sudah dua tahun aku tak pernah ke sini lagi, aku masuk ke dalam ladang melalui jalan setapak yang mulai bertaut oleh belukar. Meski setahun belakangan ladang ini tak lagi menghasilkan, aku tetap membayar orang secara berkala untuk merawat pondok kayu di punggung bukit. Satu lagi kenangan yang tersisa dari masa kecilku yang ingin terus kulestarikan.

Aku sampai di pondok kayu berukuran empat kali enam meter itu. Ribuan kenangan menghantam saat pintu kayu kubuka. Rasanya ingin berlama-lama mengeja masa lalu, tapi aku tengah berburu dengan waktu.

Segera kututup pintu setelah sejenak menatap ruangan yang berdebu. Lalu berpindah ke arah belakang pondok, dan masuk ke dalam bilik bambu yang dulu kami gunakan sebagai kamar mandi.

Sumur tua dalam bilik itu dipenuhi jaring laba-laba. Lantai papannya sudah lapuk dimakan usia. Tak menunggu lama, aku mengambil ember yang tersampir di salah satu sisi sumur, menurunkan katrol yang masih bagus, dan menarik seember air dari dalam sana.

Kucuci muka dengan air itu, mengusap rambut berkali-kali agar kesegarannya meresap dan menenangkan debar jantungku yang gemuruh. Setelah itu, dengan sedikit gemetar, aku menarik besi bulat seukuran kepalan--pemberat ember agar mudah tenggelam di permukaan air-- lalu memotong kawat pengikatnya dengan gunting besi yang telah kusiapkan dari rumah. 

Semenit kemudian, aku telah berlari menyusuri jalan pulang secepat yang bisa kulakukan. Sengaja kuambil jalan pintas meski belukarnya lebih tinggi dari jalan utama. Golok di tangan kupegang erat, sementara dadaku begitu riuh oleh debaran jantung. 

Seakan-akan, seseorang tengah mengintaiku. Entah dari sudut mana, tapi tubuhku mulai meremang oleh kecemasan tak bersebab.

"Hara."

Saat baru saja beberapa meter meninggalkan sungai kecil berbatu-batu, Di antara ketegangan yang berlipat, sebuah panggilan mengklimaks-kan semuanya. Aku bahkan terpekik ketika dari arah depan, satu sosok berbaju serba hitam menerobos semak menuju ke arahku.

"Jangan mendekat!" Aku merasa sudah berteriak. Namun, sepertinya hanya suara parau tak bertenaga yang keluar dari tenggorokanku. 

Pria di depanku berhenti. Wajahnya ditutupi masker dan topi, aku mengacungkan golok dengan gemetar.

Apa dia suruhan Bibi Sartika? 

Detik itu juga aku merasa telah masuk perangkap. 

Bisa jadi sertifikat yang diperlihatkan padaku tadi adalah palsu, semata untuk memancing reaksiku. Untuk menggiringku mengeluarkan sertifikat yang asli.

Oh, sepertinya aku memang sebodoh itu.

"Pergi--!" Kalimatku tak sampai selesai, ketika tangan lelaki itu telah membekap mulutku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status