Pintu rumah panggung bergaya lama itu terbuka seiring munculnya seraut wajah dibaliknya. Bukan Ari yang menyambutku, melainkan perempuan tua dengan tubuh masih terlihat bugar. Aku menghela napas berat, berusaha untuk tidak terlalu kecewa.
"Nona Hara?"
"Ari, ada, Bu?" tanyaku pada Bu Sarmiah. Asisten rumah tangga yang telah berkerja puluhan tahun di rumah Ari, sahabatku.
Rasanya bertemu Ari akan membuat semua kelelahan dan sesak ini terobati. Ari yang memberitahuku tentang kabar penjualan lahan itu, dia yang tak hadir di wisudaku kemarin dan membuatku sedikit menyimpan kekecewaan. Namun, hari ini semuanya menguap begitu saja.
"Den Ari sempat singgah, Non. Tapi kemarin sore sudah pergi lagi. Mbah Kakung meninggal dan Den Ari belum kembali."
Aku terduduk di undakan tangga dengan tenaga yang terkikis habis. Lemas seluruh tulang belulangku. Sedih, haus, lapar, lelah dan pusing semua menjadi satu.
"Mbah Kakung?" Kesedihan menyapu dadaku. Terbayang wajah tua yang ikut mewarnai masa kanak-kanakku dengan senyuman ompongnya. Lelaki tua yang hangat, yang memperlakukan aku tak ada beda dengan Ari.
Pantas saja nomor Ari tak aktif-aktif, Desa Sungayang tempat tinggal Mbak Kakung belum dijamah jaringan.
"Eh, masuk dulu, Nona. Ayo ke dalam. Istirahat di kamar saja. Nona Hara baru saja pulang, bukan? Nona pasti capek habis perjalanan jauh."
Aku menurut ketika Bu Sarmiah memapahku masuk dan mengantarku ke sebuah kamar. Kamar yang biasa kutempati jika bertamu ke sini. Kamar Ari.
Kupindai sejenak ruangan ini sebelum menjatuhkan bobot tubuh di ranjang kayu. Aroma dan susunan benda-benda di kamar ini tak pernah berubah. Dulu sekali, jika aku tidur di rumah ini, Ari akan menjadi pengungsi dengan tidur di ruang keluarga. Dia akan mengomel panjang pendek, tapi tidak tega jika aku yang harus tidur di luar.
Dari ranjang ini aku bisa langsung melihat ke halaman lewat jendela yang terbuka. Terlihat masih sama, pohon palem dan mangga yang semakin tua serta halaman berumput jepang yang tertata rapi. Kenangan masa kecil berlarian di ruang mataku.
"Ini minum dan makanannya, Nona. Dimakan, ya. Biar tenaganya cepat pulih."
Bu Sarmiah datang lagi lalu meletakkan nampan berisi hidangan di atas meja. Aku menganggukkan kepala penuh terima kasih."Terima kasih, Bu."
Ini bukan rumahku. Aku hanya tamu, tapi di sini aku diperlakukan lebih manusiawi. Di bangunan yang kusebut rumah, tak ada suguhan, tak ada sapaan, bahkan tak ada senyuman. Kuraih nampan itu, rasa lapar tak bisa kusembunyikan lagi.
Selesai makan, air mataku menitik satu-satu. Teringat akhir dari pertemuanku dengan Bibi Sartika. Aku merobek kertas yang diberikannya, dan dia menamparku. Setelah itu aku pergi dari sana dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan.
Sikapnya memberi tahu jika yang dia lakukan sebenarnya adalah untuk dirinya sendiri. Bukan untukku seperti kata manisnya.
Kelelahan, aku tertidur tanpa sempat mengganti baju. Ketika terbangun, cahaya matahari sore menerobos lewat jendela. Aku bergegas mandi dan mengganti pakaian dengan setelan olahraga. Lalu kembali ke kebunku yang berjarak satu setengah kilometer dari rumah Ari ini. Sementara jarak rumahku dan Ari hanya sekitar lima ratus meter.
Sepeda tua Ari membantuku mempersingkat waktu. Tanpa ketakutan, walau sudah dua tahun aku tak pernah ke sini lagi, aku masuk ke dalam ladang melalui jalan setapak yang mulai bertaut oleh belukar. Meski setahun belakangan ladang ini tak lagi menghasilkan, aku tetap membayar orang secara berkala untuk merawat pondok kayu di punggung bukit. Satu lagi kenangan yang tersisa dari masa kecilku yang ingin terus kulestarikan.
Aku sampai di pondok kayu berukuran empat kali enam meter itu. Ribuan kenangan menghantam saat pintu kayu kubuka. Rasanya ingin berlama-lama mengeja masa lalu, tapi aku tengah berburu dengan waktu.
Segera kututup pintu setelah sejenak menatap ruangan yang berdebu. Lalu berpindah ke arah belakang pondok, dan masuk ke dalam bilik bambu yang dulu kami gunakan sebagai kamar mandi.
Sumur tua dalam bilik itu dipenuhi jaring laba-laba. Lantai papannya sudah lapuk dimakan usia. Tak menunggu lama, aku mengambil ember yang tersampir di salah satu sisi sumur, menurunkan katrol yang masih bagus, dan menarik seember air dari dalam sana.
Kucuci muka dengan air itu, mengusap rambut berkali-kali agar kesegarannya meresap dan menenangkan debar jantungku yang gemuruh. Setelah itu, dengan sedikit gemetar, aku menarik besi bulat seukuran kepalan--pemberat ember agar mudah tenggelam di permukaan air-- lalu memotong kawat pengikatnya dengan gunting besi yang telah kusiapkan dari rumah.
Semenit kemudian, aku telah berlari menyusuri jalan pulang secepat yang bisa kulakukan. Sengaja kuambil jalan pintas meski belukarnya lebih tinggi dari jalan utama. Golok di tangan kupegang erat, sementara dadaku begitu riuh oleh debaran jantung.
Seakan-akan, seseorang tengah mengintaiku. Entah dari sudut mana, tapi tubuhku mulai meremang oleh kecemasan tak bersebab.
"Hara."
Saat baru saja beberapa meter meninggalkan sungai kecil berbatu-batu, Di antara ketegangan yang berlipat, sebuah panggilan mengklimaks-kan semuanya. Aku bahkan terpekik ketika dari arah depan, satu sosok berbaju serba hitam menerobos semak menuju ke arahku.
"Jangan mendekat!" Aku merasa sudah berteriak. Namun, sepertinya hanya suara parau tak bertenaga yang keluar dari tenggorokanku.
Pria di depanku berhenti. Wajahnya ditutupi masker dan topi, aku mengacungkan golok dengan gemetar.
Apa dia suruhan Bibi Sartika?
Detik itu juga aku merasa telah masuk perangkap.
Bisa jadi sertifikat yang diperlihatkan padaku tadi adalah palsu, semata untuk memancing reaksiku. Untuk menggiringku mengeluarkan sertifikat yang asli.
Oh, sepertinya aku memang sebodoh itu.
"Pergi--!" Kalimatku tak sampai selesai, ketika tangan lelaki itu telah membekap mulutku.
"Sst. Ini aku, Ari." Pria itu membuka maskernya, bersamaan dengan lepasnya tangan yang sempat membungkamku bicara. "Ayo kita pulang, secepatnya," bisiknya tergesa.Belum habis keterkejutanku, Ari sudah menarik tanganku--setengah menyeret-- hingga kami benar-benar berlari kencang menuju jalan raya. Motor King Cobra tua milik Ari telah menanti dan segera meraung membelah jalanan yang menanjak. Saat itulah baru aku sempat menoleh ke belakang. Mencoba mencari jawab atas tanya yang sempat menyelinap ketika Ari menyeretku seperti kesetanan. Lima orang berbaju hijau daun serupa hansip baru saja muncul di pinggir jalan. Arahnya dari jalan setapak tempat aku masuk tadi.Oh.Sekarang aku merasa dadaku akan meledak oleh detak jantung yang memburu.***"Jadi, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" Berbanding terbalik dengan harapan setipis kertas serta ketegangan yang mencekik menjelang senja tadi, sekarang semangat dan kelegaan luar bisa memenuhi dadaku. Meski ini hanya sebatas harapan, tapi
"Hara Kayyisa Malik?" Aku lebih terkejut lagi ketika dia memanggil nama lengkapku, seiring dengan tubuh jangkungnya yang memangkas jarak antara kami. "Kak ... Sananta?" ulangku ragu. Kemudian menyadari sesuatu. Kami tidak pernah berkenalan secara langsung, kenapa saling sapa satu sama lain seperti teman yang lama tak bertemu? Uluran tangan kokoh di depanku membuatku salah tingkah. Pertemuan telapak tangan kami mengirimkan sensasi panas ke wajahku. Tanpa bisa dicegah, pipiku merona merah jambu. *** Aku ingat sekali, bagaimana sosok itu hadir pertama kali dan kesan yang ditinggalkannya. Saat menjadi mahasiswa baru, Kak Sananta telah berada di tingkat akhir. Dia mengambil jurusan teknik sipil dan selalu mendapat IPK tertinggi di tiap semester. Satu malam di tengah meriahnya pentas seni, resleting gaunku melorot di belakang punggung. Aku yang sedang bersama beberapa pemuda pengisi acara lainnya, malu setengah mati dan panik mau minta tolong pada siapa. Sementara hanya ada aku yang
Hara 6 "Benar, Ayah. Aku sudah menunggunya selama tiga tahun, bukankah sekarang adalah waktu yang tepat?" Tunggu! Apa ini? Apa yang dikatakan Kak Sananta pada ayahnya sehingga kata-kata ini yang kudengar? "Miss Malik, apakah Anda benar-benar menyukainya juga?" Mata pria setengah baya itu menyipit. Tatapannya mengintimidasi. "Saya ...." Aku benar-benar terkejut. Ini di luar prediksiku. Aku datang ke sini untuk negosiasi soal penjualan tanahku, bukan untuk pertanyaan aneh seperti ini. Kualihkan pandangan pada Kak Sananta. Dia terlihat begitu tenang tanpa membalas tatapanku. "Haruskah Ayah menanyakan itu padanya? Dia pasti malu, Ayah." Kak Sananta menjawab pertanyaan itu dengan ringan. Dibalas oleh Tuan Saddil dengan senyuman tipis yang tak bisa kuartikan. Pria gundul itu terlihat mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan sofa. "Hmm ... bisakah kau beri aku waktu beberapa menit untuk bicara dengannya?" "Tentu saja, Ayah." Suara Kak Sananta terdengar yakin. Membuat praduga semakin m
TPD 7Setengah terhuyung aku keluar dari rumah besar itu. Kakiku terasa begitu ringan sementara otakku dipenuhi pikiran-pikiran yang tumpang tindih."Ingat saja, Bi. Jika ada gangguan pada perjalanan kami lagi atau sesuatu terjadi pada Hara, Bibi akan jadi orang pertama yang dicari polisi." Langkahku melambat mendengar Ari yang sedang memunggungiku. Dia sedang menelepon dan mendengar kata bibi, aku rasa dia sedang bicara dengan Bibi Sartika."Kenapa tidak? Aku sudah melaporkan dua plat motor yang mengikuti kami tadi ke polisi dan meminta perlindungan perjalanan. Bibi diam, atau bibi terancam." Ari terlihat kesal ketika mematikan ponselnya, lalu terkejut ketika aku sudah berada di belakangnya."Bagaimana? Berhasil, tidak?" Aku mengembangkan senyum lebar seraya mengangguk. Ari mengepalkan tangan senang. Dia segera membuka pintu mobil dan memintaku masuk."Syukurlah, kukira kita akan kesulitan menyelesaikan apa yang
Pertanyaan Ari membuatku menoleh cepat. Pandangan kami bersirobok. Dan aku tak kuasa menentang tatapan matanya. Kepalaku tertunduk dengan wajah bersemu merah. Aku lupa jika Ari begitu gampang membacaku. "Kapan?""Siapa?""Kenapa kamu tak pernah cerita jika kamu menjalin hubungan dengan seseorang?" Pertanyaan beruntun Ari persis seperti wawancara. Dia bertanya, aku menjawab apa adanya. "Kukira kamu akan jadi perawan tua selamanya." Kali ini suaranya terdengar mencemooh, seperti orang yang dibohongi. Aku mendelik. Dia pasti menyindirku soal ketidaktertarikanku pada laki-laki selama ini."Kamu cinta dia?" Yang ini terdengar begitu tajam, sekaligus begitu dalam."Aku ...." Benarkah aku mencintai Kak Sananta? Atau itu hanyalah sebuah perasaan kagum semata? Semacam obsesi yang bertahan sekian tahun karena tak pernah berkesempatan dekat dengannya? Lalu apa namanya ini. Poros dunia yang
TDP 9Ari bilang pengakuan Kak Sananta hanya alibi, agar aku masuk perangkap mereka dengan sukarela. Sementara aku berusaha menjelaskan karena dari apa yang kulihat dan kudengar, Kak Sananta tak tahu apa-apa soal tanah warisanku. Dia murni terlihat --jika boleh berlebihan-- seperti pungguk menemukan bulan."Ayo ke rumahku." Aku terperanjat kaget saat wajah Ari muncul begitu aku membuka pintu."Aku minta maaf untuk semalam. Aku terlalu over thinking." Senyuman Ari terukir. "Sekarang ayo pulang. Kamu harus istirahat." Pemuda itu menarik tanganku. Aku tersaruk mengikutinya."Terima kasih, Ari. Maaf, perasaanku membuat aku menjadi begitu keras kepala dan egois begini." Jujur, aku mulai memikirkan prasangka Ari dengan intens. Aku mengenal Ari hampir seumur hidup, sementara Kak Sananta? Bahkan kemarin adalah kali pertama kami berkenalan. "Aku yakin kamu tidak akan salah jatuh cinta, Hara. Maafkan aku yang memandangmu sebagai anak ke
TDP 10Kata-kata Ferdinand membuatku terus berpikir. Matanya, caranya bicara, entah kenapa aku merasa lelaki itu tengah menyembunyikan sesuatu. Sepanjang malam aku tak bisa tidur dan hanya berguling-guling di pembaringan.Mereka tidak akan menyerah dengan mudah. Itulah yang kupikirkan. Aku merasa mereka memiliki rencana tapi entah apa.Paginya, aku kesiangan bangun dan memutuskan ke taman belakang sebentar untuk menghirup udara segar yang lama tak kurasakan di sana."Bodoh sekali kita harus mengembalikan satu miliar, oh tidak, semuanya. Hara itu aset kita dan sebagaimana aset, ia tak boleh jatuh ke tangan siapapun."Aku tercekat sembari cepat menyelinap ke balik rumpun bunga dahlia yang sedang mekar. Setahuku Bibi Sartika tak pulang tadi malam, tapi tak jauh di depan, wanita itu sedang duduk di kursi taman entah dengan siapa.Kapan wanita itu kembali? Dan, oh ... kata-katanya terdengar menakutkan."Tapi dia berkata akan
TDP 11"Dengarkan aku sekarang." Wanita itu mendekat. Ekspresinya tak tertebak."Aku akan mengembalikan uang muka itu. Tak peduli seberapa besar kau mempermalukan aku, aku akan menuruti kehendakmu kali ini.""Baguslah kalau begitu." Aku coba mengabaikan sikapnya yang playing victim."Tapi kau harus menuruti kata-kataku ini, Hara. Aku tak tenang melihat sikapmu yang keras kepala. Aku tak tahu berapa lama lagi aku akan hidup, karena diagnosa dokter mengatakan aku terkena stroke ringan. Aku takut kalau aku sakit atau meninggal tak ada yang akan menjagamu dan harta peninggalan orang tuamu.""Kau harus segera menikah, Hara. Hanya dengan itu Bibi akan tenang. Walau kau menganggapku jahat tapi aku tak pernah berhenti memikirkanmu, Hara. Jika kau menikah, kau akan memiliki seseorang yang akan sehidup semati denganmu. Melindungimu dan mempertanggungjawabkanmu."Oh. Bibi Sartika memang punya rencana luar biasa untukku."Kenap