Share

2. KEUNTUNGAN BESAR

"Maaf, Nona. Sesuai perintah beliau, Nona datang saja ke alamat ini." Salim merogoh sesuatu dari balik celananya dan menyodorkan padaku. Sebuah kartu nama.

Ingin sekali aku menumpahkan kekesalan, tapi kutahan sekuat tenaga karena tak ada gunanya. Aku harus segera mencari Bibi Sartika, pangkal utama masalah ini dan bertanya apa maksud dia melakukan semuanya.

***

Seharusnya, aku datang ke kampung ini dengan berjuta rindu yang siap menemui tepi, tapi nyatanya masalah ini sudah menguapkan semuanya. Entah apa yang dipikirkan Bibi Sartika. Bahkan kepulanganku setelah dua tahun di rumahku sendiri seperti tamu tak diundang.

"Kenapa kau semarah itu, Hara? Bukankah ini justru keuntungan besar?  Kebunmu sudah terbengkalai dan tak menghasilkan lagi. Harga panen rendah sekali ditambah pohon-pohon itu juga sudah tua. Kalaupun kau tebangi dan menanam pohon baru, siapa yang akan mengurusnya? Bibi sudah tua, Hara." Wanita di depanku ini begitu tenang berucap, seolah yang dilakukannya hanyalah menjual sebuah gerobak tua.

"Bahkan jika lahan itu harus menjadi hutan, aku tak apa-apa, Bi," sahutku serak, tapi masih berusaha sabar. Tenggorokanku begitu kering. Sedari Subuh, hanya air kemasan gelas yang mengisi perutku. Sementara ini sudah pukul setengah satu siang.

"Berpikirlah lebih pintar, Hara. Apa gunanya kau kuliah jauh-jauh ke kota jika tak bisa menghitung untung rugi? Percuma kau pertahankan kebunmu itu, sampai mati pun kau menanamnya, tak akan terkumpul uangmu lima miliar. Lima miliar, Hara. Itu uang yang sangat banyak dan kau tinggal menikmati saja."

"Lalu apa Bibi kira orang-orang itu bodoh dengan membeli sebuah ladang gersang seharga lima miliar?" Demi Bapak Ahzan Malik yang telah membuat aku ada di dunia ini, emosi yang sudah sampai batang leher, kuturunkan kembali ke perut dengan sepenuh kekuatan.

Lima miliar terlalu murah untuk bukit yang memiliki kandungan emas. Namun, bisa jadi Bibi Sartika memang tak tahu apa-apa karena Ayah dulu sengaja merahasiakan hal itu. Makanya angka lima miliar sudah membuatnya gelap mata. Sementara aku, meski triliunan rupiah, aku tidak akan rela menukarnya sedikitpun.

"Tentu saja mereka bisa melakukan apa saja karena mereka mempunyai uang, Hara. Bayangkan jika kau sendiri yang mengelola, kau tebang pohon itu dan tanam yang baru, kapan akan panen hasil? Sekian tahun waktumu hanya menunggu saja, iya kalau panenmu bertemu harga bagus. Kalau seperti yang sudah berlalu bagaimana? Sampai ubanan kau tidak akan pernah bertemu uang miliaran, Hara."

"Tapi aku tidak ingin menjualnya, Bibi. Tak ada alasan aku harus menjualnya. Aku tidak tergiur uang lima miliar, dan aku masih bisa menghidupi diri sendiri dengan bekerja. Kenapa aku harus menjual warisan ayahku?" 

"Keras kepala, kau, Hara! Apapun alasannya aku sebagai walimu dari kecil sudah setuju lahan itu dijual. Kau tinggal terima hasil dan berterima kasih padaku. Dasar gadis bodoh." Wanita lima puluhan itu berdiri, sepertinya hendak meninggalkanku begitu saja.

"Aku tidak setuju, Bibi. Aku ulangi, aku tidak setuju," tekanku. Dadaku membara mendengar perkataan Bibi Sartika.

"Kau ingin kurang ajar, Hara? Siapa yang membesarkanmu selama ini? Hanya karena aku memikirkan kebaikanmu kau menjadi durhaka padaku? Aku ini bibimu, Hara. Mana mungkin aku menjerumuskanmu." Suaranya yang lemah lembut jauh berbeda dengan kata-kata yang diucapkannya. Bibi Sartika memang sangat pandai memainkan emosinya.

"Tolong jangan mengungkit jika tidak ingin kuungkit juga, Bibi Sartika. Anda melewati batas dan aku tidak akan diam lagi!"

Membesarkanku katanya? Sejak dua belas tahun lalu, aku tahu siapa dia. Hanya karena tidak ingin ribut saja makanya aku diam. Tapi kali ini aku tidak akan membiarkannya lagi.

"Oh. Rupanya Hara sudah besar. Aku mengerti." Tiba-tiba nada suara Bibi Sartika melunak. "Aku paham gejolak emosimu. Anak muda seumuranmu memang suka menurutkan kata hati tanpa berpikir jangka panjang. Karena itulah bibi melakukan ini, Nak. Kau boleh protes sampai emosimu reda. Setelahnya kau akan menyadari apa yang kulakukan ini benar."

"Batalkan semuanya, Bibi!" teriakku tak tahan lagi melihat wanita itu melenggang ke arah kamarnya. Bukan. Kamar yang selama ini ditempatinya. Ini rumahku dan Bibi Sartika tinggal di sini dengan alasan lebih leluasa merawatku.

"Tidak bisa, Hara. Bibi sudah menerima uang muka. Dan ya ... surat jual beli yang sah secara hukum sedang diurus. Jadi sepertinya kamu terlambat datang, Sayang."

Bagaimana bisa dia menjual tanpa sertifikat asli? Aku ingat betul di mana sertifikat tanah itu tersimpan. Apakah Bibi Sartika sudah melakukan sesuatu?

Saat aku sedang berusaha mengendalikan diri, Bibi Sartika keluar dari kamar dan meletakkan sesuatu di depanku, lalu menyelipkan pulpen di antara jemariku.

"Ayo, Hara. Mumpung kau datang, biar semuanya lebih cepat. Tanda tangan di sini. Percayalah, ini demi masa depanmu, Sayang."

"Bibi!" 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status