Hara mengira, pernikahannya akan membawanya pada babak baru yang penuh bahagia. Lepas dari bibi serakah bernama Sartika, serta mengamankan tanah warisannya. Ternyata, bahtera yang ditawarkan Sananta harus ditukar Hara dengan kehilangan segalanya. ______ Tak ada cinta suci di mata seorang tuan tambang bernama Saddil. Hara adalah menantunya yang sengaja menolak tawarannya menjadi milyarder. Gadis itu bahkan dengan sukarela memasuki keluarganya atas nama cinta. Bukan salahnya jika kemudian Hara harus menderita.
Lihat lebih banyak"Berhenti kalian semua!"
Aku sungguh menyesal tidak membawa pengeras suara, hingga harus berteriak-teriak di siang terik yang panas ini. Sementara empat lelaki yang sempat kulihat mengenakan helm kuning khas proyek terus menghilang dalam kedalaman kebun karet yang belukarnya sudah setinggi dada.
Aku terseok dalam belukar mengikuti jejak kaki yang masih tertinggal. Semak-semak dan kayu kering berpatahan tanda seseorang baru saja menginjaknya. Dengan terengah aku mempercepat langkah, tak peduli peluh bercucuran serta tas di punggung yang beratnya entah kenapa terus saja bertambah. Beberapa kali sepatuku terpuruk dalam celah semak kering yang sudah mati.
Akhirnya aku berhenti mengikuti jejak itu, merasa jadi orang paling bodoh begitu menyadari apa yang kulakukan. Segera aku berputar arah.
"Hei! Bapak-bapak yang sedang mengukur, berhenti!!"
Dari bagian cukup tinggi yang susah payah kudaki, aku berteriak kencang. Suaraku menggema dalam keheningan lahan yang luasnya lebih kurang dua ratus hektar.
"Tolong dengarkan ini. Aku, Hara, pemilik lahan ini melarang siapapun melakukan sesuatu di sini tanpa persetujuanku! Apa yang kalian lakukan sekarang ilegal dan aku tidak akan tinggal diam!" teriakku sekuat tenaga.
Tak ada sahutan, tapi aku yakin mereka mendengar suaraku karena di bawah sana, satu helm kuning mencuat di antara semak. Namun, kepala itu hilang lagi dan tak ada tanda-tanda mereka akan meresponku.
"Keluar kalian sekarang juga, atau mobil bak terbuka di pinggir jalan sana akan menjadi abu, dan aku akan melaporkan kalian ke polisi!"
"Ini bukan ancaman semata! Kutunggu di mobil itu dalam setengah jam!"
Aku sudah nekad. Jika mereka tak peduli, aku benar-benar akan membakar mobil itu untuk memberi mereka pelajaran. Masalah setelah itu tak kupikirkan, karena tak ada masalah yang lebih besar selain tanahku yang dijual tanpa sepengetahuanku.
***
Mataku membola demi mendapati tanda tangan Bibi Sartika di lembar yang disodorkan oleh salah satu lelaki berhelm kuning itu. Persetujuan jual beli kebun karetku!
"Siapa bos kalian? Kenapa gegabah seperti ini? Apa kalian tahu jika pemilik kebun ini bukan perempuan yang tanda tangannya ada di sini? Ini kebunku! Ayahku yang membelinya!" geramku marah.
"Tapi wanita itu mengatakan jika hak perwalian Anda ada padanya. Kami hanya bekerja sesuai arahan, Nona."
"Sebentar lagi aku sudah dua puluh satu tahun, Pak. Hak wali apa lagi?" Ingin rasanya menjerit keras, panas dan kesal luar biasa membuat emosiku tak terkendali.
"Lagipula surat-surat tanah ini atas namaku, dan bos kalian tidak mengetahui itu? Ya, Tuhan."
"Maaf, kami kurang tahu soal itu, Nona. Kami harus tetap melakukan pekerjaan ini. Jika ada komplain sebaiknya Nona bicara dulu dengan pemilik tanda tangan itu."
"Setapak lagi kalian mengukur ladang itu, kaca mobil ini hancur," ancamku sembari mengayun tongkat besi yang kebetulan sekali kutemukan di dalam bak terbuka kendaraan proyek ini.
Saat keluar dari ladang, aku sudah membaca situasi dan bersiap. Bahaya juga karena aku sendirian dan pekerja itu lebih dari satu orang. Aku segera mencari cara untuk berjaga-jaga.
Entah. Aku bahkan kehilangan rasa takut saat tahu tanah warisan orang tuaku dijamah orang-orang tak dikenal ini. Kenangan tentang keluarga dan amanat Ayah, aku akan memegang itu sampai akhir.
Keempat pria itu berpandangan, lalu berdiskusi tak jauh dariku. Wajah mereka terlihat kesal dan berkali-kali melemparkan tatapan tak suka. Sengaja aku berdiri dengan melipat dua tangan di dada, lalu bersandar di badan mobil dengan tatapan tajam.
Satu dari lelaki itu menelepon seseorang. Tak lama mereka kembali mendekat.
"Untuk hari ini, kami akan pulang dan memberi Anda waktu. Tolong selesaikan masalah internal keluarga Anda secepatnya agar tidak mengganggu pekerjaan kami."
"Jangan berani lagi datang ke lahan ini. Sampai kapanpun tanah ini tidak dijual," ucapku tetap waspada.
"Maaf, Nona. Mungkin ada kesalahpahaman di sini, tapi Anda harus menyelesaikannya dengan pihak keluarga Anda terlebih dahulu."
"Ya, tentu saja. Saya akan menyelesaikannya dan artinya itu Anda semua tak perlu datang kemari lagi. Suruh bos Anda membatalkan niatnya dan mencari tanah lain untuk dia garap."
"Aku suka cara gadis itu, Salim. Berikan saja alamatku dan suruh dia datang untuk negosiasi soal tanahnya."
Aku terperanjat ketika satu suara berat keluar dari telepon genggam pria ketua tim. Rupanya lelaki itu sengaja membiarkan ponselnya terus tersambung dan menyalakan loudspeaker-nya.
"Apakah itu bos kalian? Aku ingin bicara dengannya!"
"Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra
TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik
TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m
"Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara
Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind
"Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen