"Sst. Ini aku, Ari." Pria itu membuka maskernya, bersamaan dengan lepasnya tangan yang sempat membungkamku bicara. "Ayo kita pulang, secepatnya," bisiknya tergesa.
Belum habis keterkejutanku, Ari sudah menarik tanganku--setengah menyeret-- hingga kami benar-benar berlari kencang menuju jalan raya. Motor King Cobra tua milik Ari telah menanti dan segera meraung membelah jalanan yang menanjak.
Saat itulah baru aku sempat menoleh ke belakang. Mencoba mencari jawab atas tanya yang sempat menyelinap ketika Ari menyeretku seperti kesetanan. Lima orang berbaju hijau daun serupa hansip baru saja muncul di pinggir jalan. Arahnya dari jalan setapak tempat aku masuk tadi.
Oh.
Sekarang aku merasa dadaku akan meledak oleh detak jantung yang memburu.
***
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?"
Berbanding terbalik dengan harapan setipis kertas serta ketegangan yang mencekik menjelang senja tadi, sekarang semangat dan kelegaan luar bisa memenuhi dadaku. Meski ini hanya sebatas harapan, tapi aku merasa baru saja bangkit dari kematian.
Dari dalam selongsong besi tua yang kuambil di sumur itu, aku berhasil menemukan sertifikat asli tanah dan rumah, dan surat wasiat orang tuaku. Semuanya tersimpan rapi dalam kotak persegi panjang yang lebih kecil dari selongsong berwarna perak. Kusangka bahannya alumunium, tapi Ari bilang itu terbuat dari baja. Sedemikian rupa, sehingga yang terlihat dari luar hanyalah sepotong besi tua tak berguna.
Ayah begitu rapi dan hati-hati menyimpan semuanya untukku. Membuat tekadku untuk mempertahankan milikku semakin kuat.
Bibi Sartika tak akan berkutik jika aku memperlihatkan surat ini. Dan tentu saja, aku tak boleh mengabaikan lima lelaki yang kulihat jelang senja tadi.
Tanahku terancam, dan sepertinya, nyawaku juga.
Tebakanku soal Bibi Sartika sengaja memprovokasi sepertinya benar. Membuat rasa hormat yang masih tersisa menguap begitu saja.
"Kamu sudah tahu semuanya, Ri. Tentu aku akan berjuang sampai akhir." Aku menjawab pertanyaan Ari sambil memindahkan surat itu ke dalam tas.
"Tapi ini berbahaya, Ra. Kamu bisa melihat ambisi bibimu. Apa tak sebaiknya kamu ikuti saja apa katanya?"
"Ari!" Aku melotot. "Kamu tahu itu melukaiku. Untuk apa kamu beri tahu aku jika endingnya begini?"
"Maaf, Hara. Aku sungguh khawatir. Dibanding keselamatanmu, semua tak ada artinya, Ra."
"Kenapa kamu takut? Aku memperjuangkan hakku. Dan aku yakin Tuhan punya cara untuk menolong orang yang benar-benar berusaha. Mungkin selama ini Bibi melihatku lemah hingga semena-mena, bahkan sampai memalsukan sertifikat ladang karet milikku. Sekarang aku tak bisa mengalah padanya lagi."
"Besok aku akan mendatangi orang yang membeli tanahku itu. Aku akan tunjukkan buktinya, sudah kukirim pesan dan foto sertifikat itu ke nomor email-nya. Semoga dia berbaik hati dan Bibi Sartika mau mengembalikan uang muka yang dia terima."
Lima belas tahun lalu, berkat usaha konstruksi yang ditekuninya, ayahku membeli kebun karet itu untuk masa depanku. Setahun kemudian, Ayah berhasil mendapat kursi di pemilihan legislatif. Sayang sekali, dua hari sebelum dilantik, ayahku meninggal karena kecelakaan. Autopsi mengatakan dia mengalami serangan jantung saat mengemudi hingga kehilangan kendali.
Kenyataan pahit yang mau tak mau harus kuterima. Setelah sebelumnya di umur tiga tahun, ibuku telah lebih dulu meninggal karena penyakitnya. Sejak saat itu, hak perwalianku jatuh pada Bibi Sartika--adik jauh Ayah. Ibunya dan ibu dari ayahku merupakan saudara sepupu.
"Jika kamu seyakin itu, aku bisa apa lagi selain mendukungmu, Ra. Semoga semua segera selesai," tanggap Ari. Pemuda berkulit sawo matang itu memberikan seulas senyuman menguatkan.
"Terima kasih, Ari. Maaf sudah mendiamkanmu. Kalau kamu tidak datang tepat waktu, aku tak tahu apa yang akan terjadi tadi. Tapi aku tetap marah kamu tidak memberi tahu keadaan Eyang Kakung padaku." Aku memang terlambat dua belas jam membaca pesan Ari karena sedang melancarkan aksi ngambek dia tak hadir di wisudaku. Siapa sangka itu malah membuatku nyaris kehilangan begitu banyak.
"Lupakan, Hara. Aku mengerti kamu begitu kecewa, tapi tak bisa memberi tahu alasan yang sebenarnya, karena jika kamu tahu Eyang Kakung sakit keras, pasti akan merusak momen wisudamu." Mata sipit Ari kini bersorot sendu.
"Kenapa kamu singgah dulu di sini, hingga tak sempat bertemu Eyang Kakung di akhir hidupnya?" Ari memang sudah bercerita jika dia juga terlambat datang di desa tempat Eyang Kakung menghabiskan masa tuanya.
"Eyang minta aku untuk membawakan makanan dari Bu Sarmiah serta pakaian mendiang Mbah Putri. Saat itulah aku mendengar berita itu dan menghubungimu. Mungkin sudah jalannya juga agar kamu bisa mengetahui masalah ini."
"Ibumu bagaimana? Apa beliau baik-baik saja?"
"Ibu sangat terpukul, tapi aku tahu Ibu akan berhasil melewatinya."
Aku mengangguk pelan seraya mengusap sudut mata. Satu persatu mereka yang kami sebut sebagai orang tua berpulang, meninggalkan aku dan Ari yang bahkan harus terpisah pula oleh ratusan kilometer takdir kehidupan. Sementara aku masih kuliah, Ari sudah bekerja di cabang perusahaan konstruksi di kota sebelah.
"Semoga Eyang Kakung dan semua orang tua kita beristirahat dengan tenang dan mendapat tempat terbaik di sisi-Nya."
Hening menyelimuti kami yang melarung duka dengan cara masing-masing. Sepoi angin malam menggoyangkan bohlam kamar Ari. Pria itu kemudian berdiri.
"Tidurlah, Ra. Besok aku akan mengantarmu. Jika ada apa-apa, panggil saja aku."
Aku mengangguk lagi dan ikut berdiri untuk mengunci pintu. Setelahnya bersiap untuk tidur. Saat hendak merapikan gorden jendela, aku sempatkan mengintip sejenak. Pengalaman dibuntuti tadi bagaimanapun menyisakan kecemasan dalam hatiku.
Kulihat di pagar depan, Ari tengah bicara dengan dua orang penjaga rumahnya. Oh, bukan dua, tapi ada empat orang dengan seragam yang sama. Hatiku tiba-tiba tergelitik. Apakah Ari sengaja meningkatkan keamanan rumahnya buntut kejadian tadi?
Tengah malam aku terbangun karena haus. Perjalanan jauh dan rangkaian kejadian yang aku alami tadi siang sepertinya membuatku kekurangan cairan. Aku berjingkat keluar kamar.
"Hara? Ada apa? Apa terjadi sesuatu?"
Aku terpaku begitu membuka pintu. Ari menggelinjang bangun dan memberondongku dengan pertanyaan.
"Aku cuma haus. Kamu kenapa tidur di sini, Ari?" Kutatap kasur dan bantal yang melintang di depan pintu.
"Menjagamu," sahutnya sambil menyingkir ke pinggir. Matanya kembali terpejam, nampak sekali dia sangat mengantuk.
"Tak harus tidur di depan pintu juga, Ari." Untuk pertama kalinya setelah hari yang melelahkan itu aku tersenyum.
"Tak tahu kenapa kepikiran begini. Takut kamu diculik orang suruhan bibimu itu. Sudahlah, cepat ambil minum atau mau kutemani?"
Aku tersenyum semakin lebar. Ari, teman paling tulus yang kumiliki. Dia menungguiku kembali dan kemudian menggulung tubuhnya dengan selimut.
***
"Kamu tunggu aku di sini saja, Ari. Aku akan masuk ke dalam sana."
Sulit dipercaya, setelah sempat seperti maling ketika keluar dari kampung sendiri, aku dan Ari sampai juga di alamat yang diberikan pekerja kemarin. Lebih setengah hari perjalanan dengan mobil sewaan. Kini kami berdebat di depan pos sekuriti bangunan yang serupa istana ini.
"Tak bisa, Hara, aku harus menemanimu kemanapun."
"Tapi kamu dengar sendiri jika hanya aku yang boleh masuk. Tak apa, Ari. Aku akan baik-baik saja. Mengingat reputasinya, orang kaya ini tentu tak akan bertindak jauh-jauh, lagipula kalau terjadi sesuatu, aku pasti akan segera menghubungimu."
Susah payah kuyakinkan Ari, sampai akhirnya dia mengalah. Bisa kulihat sorot tak rela yang begitu kentara di matanya, sehingga aku menimbun kegugupan jauh-jauh agar Ari lebih tenang.
Kini aku telah duduk di ruang tamu rumah megah ini setelah sebelumnya diantar seorang asisten rumah tangga. Udara sejuk dengan wangi terapi bukannya menenangkan, malah semakin membuat sekeliling dipenuhi ketegangan.
Detik-detik menunggu yang sangat lamban. Hingga mataku terpaku pada kehadiran seseorang di ujung ruangan.
Bagai alarm, jantungku kembali gemuruh tak beraturan. Sementara mataku mengerjap beberapa kali, untuk memastikan penglihatan.
"Kak Sananta?"
***
"Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra
TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik
TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m
"Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara
Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind
"Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi