Share

6. NEGOSIASI

Hara 6

"Benar, Ayah. Aku sudah menunggunya selama tiga tahun, bukankah sekarang adalah waktu yang tepat?"

Tunggu!

Apa ini?

Apa yang dikatakan Kak Sananta pada ayahnya sehingga kata-kata ini yang kudengar? 

"Miss Malik, apakah Anda benar-benar menyukainya juga?" Mata pria setengah baya itu menyipit. Tatapannya mengintimidasi.

"Saya ...." Aku benar-benar terkejut. Ini di luar prediksiku. Aku datang ke sini untuk negosiasi soal penjualan tanahku, bukan untuk pertanyaan aneh seperti ini.

Kualihkan pandangan pada Kak Sananta. Dia terlihat begitu tenang tanpa membalas tatapanku.

"Haruskah Ayah menanyakan itu padanya? Dia pasti malu, Ayah." Kak Sananta menjawab pertanyaan itu dengan ringan. Dibalas oleh Tuan Saddil dengan senyuman tipis yang tak bisa kuartikan. Pria gundul itu terlihat mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan sofa.

"Hmm ... bisakah kau beri aku waktu beberapa menit untuk bicara dengannya?"

"Tentu saja, Ayah." Suara Kak Sananta terdengar yakin. Membuat praduga semakin menjadi-jadi dalam hatiku. Namun, aku berusaha menahan diri, mencoba memahami dulu apa yang sebenarnya terjadi.

Aku mengangguk pelan ketika Kak Sananta pamit meninggalkan kami berdua. Tinggal aku dan Tuan Saddil dengan kecanggungan yang mengungkung.

Lalu aku teringat tujuan utamaku ke sini. Membuatku kembali fokus dan melupakan pertanyaan-pertanyaan yang sempat mencuat dalam kepala.

"Bisa saya lihat langsung surat-surat yang Anda kirim fotonya semalam ke email saya?" 

Sebelum aku bersuara, Tuan Saddil telah lebih dulu bertanya. Sungguh to the point. Lagi aku terkejut dengan pengalihan topik yang tiba-tiba. Sepertinya ayah dan anak sama saja. Bedanya, aura dingin dari Tuan Saddil lebih mendominasi. 

"Bisa, Tuan." Aku segera mengeluarkan surat berharga itu dari dalam tas yang sejak semalam telah kusiapkan sedemikian rupa.

"Apakah Sananta tahu soal ini?"

"Tidak, Tuan."

Tuan Saddil mengangguk dengan ekspresi datar yang terjaga.

Surat itu berpindah tangan. Sementara aku menunggu dengan tegang, berharap penuh tak ada kejadian tidak menyenangkan, seperti Tuan Saddil menahan surat itu atau semacamnya.

"Hmm. Jadi benar surat dari Nyonya Sartika itu palsu. Terima kasih sudah memberi tahu. Ini sangat membantu mencegah huru-hara di kemudian hari."

Aku mengangguk lega. Merasa bersyukur Tuan Saddil tidak seperti yang kupikirkan.  Sepertinya dia cukup kooperatif menyikapi hal ini. Mungkin karena bisa jadi hal semacam ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi pengusaha tambang sepertinya. 

"Lalu bagaimana dengan wali Anda ini? Dia sudah menipu saya, menipu Anda juga. Dia juga sudah menerima uang muka. Tindakan apa yang akan Anda ambil?"

"Bisakah Tuan memberi saya waktu untuk mengembalikan semuanya? Saya akan transfer kembali uang itu sejumlah yang Bibi Sartika terima. Saya mohon kemurahan hati Tuan untuk tidak membawa kasus ini ke yang berwajib."

Tak ada riak di wajah Tuan Saddil hingga aku tak bisa menebak-nebak apa yang ada di dalam pikirannya. Dia menarik satu tangannya yang sedari tadi bertengger di lengan sofa, lalu menegakkan punggungnya yang bersandar.

"Bagaimana jika kesepakatannya adalah, wali Anda bebas tanpa syarat tetapi sertifikat asli ini menjadi milik saya?"

Meski sudah memasukkan ini dalam kemungkinan reaksi sang bos tambang, tetap saja, tenggorokanku terasa seperti gurun Sahara mendengarnya--kering kerontang.

"Maaf, Tuan. Tapi saya sudah bertekad untuk tidak menjualnya atau menjadikannya area pertambangan. Itu adalah warisan dan kenang-kenangan dari almarhum orang tua saya."

"Bagaimana jika saya tidak setuju? Anda tentu tahu kasus penipuan ini sangat serius. Dana yang dilibatkan miliaran rupiah. Dan kredibilitas kami sebagai perusahaan besar juga akan dipertanyakan. Kepercayaan masyarakat dan pemerintah akan menurun dan itu memiliki dampak yang besar. Kami dirugikan begitu banyak."

"Jika begitu, saya tak bisa melakukan apapun, Tuan. Siapa yang berbuat dia yang bertanggung jawab. Jika Bibi Sartika terjerat hukum, itu karena perbuatannya sendiri." Aku terdiam beberapa lama sebelum berkata-kata. Keputusan yang berat untukku, tapi sejak awal Bibi Sartika tidak memberikanku pilihan.

"Lalu bagaimana dengan nama baik perusahaan kami?" 

"Maaf, Tuan. Tapi saya rasa kesalahannya bukan hanya pada Bibi Sartika saja. Anda tentu lebih tahu apa yang saya maksudkan."

Perusahaan sebesar SS Group kecolongan berkas? Kurasa aku belum sanggup disuruh berpikir kenapa itu bisa terjadi juga pada mereka.

Tawa Tuan Saddil dan tepuk tangannya mengagetkanku. Lalu dia memanggil putranya. 

"Aku suka cara gadis ini, Sananta." Suara Tuan Saddil membahana. Dia berdiri kemudian mengulurkan tangan padaku.

"Selamat datang di keluarga ini, Miss Malik," ucap pria itu bersemangat. Sepertinya dia hanya mengingat ujung namaku saja.

Aku linglung. Datang di keluarga ini?

"Tunggu, Tuan. Bagaimana dengan tanah saya?"

"Kenapa aku harus membeli tanah menantuku? Masih banyak tanah lain di muka bumi ini. Simpan sertifikatmu baik-baik dan di tempat yang paling aman." Dia menyodorkan sertifikat tanah ke pangkuanku dan berbalik.

"Segera tentukan tanggal pernikahan kalian dan kita akan bersenang-senang!" perintahnya riang sambil menjauh.

Pernikahan?

Kali ini, aku menatap lekat wajah Kak Sananta. Dia harus menjelaskannya sekarang.

"Maaf membuatmu terkejut, Hara, tapi aku serius." Kak Sananta menatapku dalam. Tak ada aroma bercanda atau keragu-raguan di sana. "Aku mengatakan pada Ayah bahwa seorang perempuan telah menarik hatiku, dan aku ingin menikah dengannya. Orang itu, kamu."

Aku terhenyak. Bagai gempa bumi, tak ada firasat, tak ada tanda-tanda, dan aku sedikit oleng dibuatnya.

"Tapi ... kenapa bisa, Kak?" Banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku, tapi akhirnya yang keluar hanya kata-kata serupa gumaman.

"Kata orang, tidak ada alasan yang pasti untuk jatuh cinta, Hara. Begitupun denganku."

Aku merasa tak percaya, curiga, sekaligus ... bahagia? Entah. Yang jelas, aku kerepotan membenahi debar jantungku yang menggedor-gedor dada.

"Okey ... tak ada alasan untuk jatuh cinta, itu bisa diterima. Tapi ... menikah?" Kueja kata menikah dengan penuh tekanan. "Bukankah itu terlalu cepat, Kak? Kita bahkan baru berkenalan hari ini."

Patut diacungi jempol keberaniannya bicara cinta tanpa takut penolakan sama sekali. Type pria yang tak ragu-ragu menentukan pilihannya.

"Untuk seseorang yang jatuh cinta sejak tiga tahun lalu, ini sudah sangat lama. Tapi untukmu yang mungkin baru tahu hari ini, silakan dipikirkan dulu, Hara." Senyum tipis Kak Sananta benar-benar menghancurkan pertahananku.

Sejak tiga tahun yang lalu? Apa sejak malam itu? Apa ini bukan gombalan?

"Ba ... bagaimana jika aku menolak, Kak?" Ketenanganku telah menguap, aku tergagap.

"Itu hakmu, Hara. Tapi, tolong pertimbangkan dulu. Oh ya, agar lebih jelas, aku memintamu untuk menjadi istriku, bukan untuk jadi kekasih."

Sebuah kotak berludru berisikan cincin bermata putih di angsurkan Kak Sananta, membuat semua perbendaharaan kataku lenyap tak bersisa.

Pas pula, di balkon lantai dua, Tuan Saddil tengah menatapku lekat, membuat hawa panas ikut menyerbu mukaku.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status