Share

6. NEGOSIASI

Author: Marigold112
last update Last Updated: 2023-10-24 22:55:03

Hara 6

"Benar, Ayah. Aku sudah menunggunya selama tiga tahun, bukankah sekarang adalah waktu yang tepat?"

Tunggu!

Apa ini?

Apa yang dikatakan Kak Sananta pada ayahnya sehingga kata-kata ini yang kudengar? 

"Miss Malik, apakah Anda benar-benar menyukainya juga?" Mata pria setengah baya itu menyipit. Tatapannya mengintimidasi.

"Saya ...." Aku benar-benar terkejut. Ini di luar prediksiku. Aku datang ke sini untuk negosiasi soal penjualan tanahku, bukan untuk pertanyaan aneh seperti ini.

Kualihkan pandangan pada Kak Sananta. Dia terlihat begitu tenang tanpa membalas tatapanku.

"Haruskah Ayah menanyakan itu padanya? Dia pasti malu, Ayah." Kak Sananta menjawab pertanyaan itu dengan ringan. Dibalas oleh Tuan Saddil dengan senyuman tipis yang tak bisa kuartikan. Pria gundul itu terlihat mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan sofa.

"Hmm ... bisakah kau beri aku waktu beberapa menit untuk bicara dengannya?"

"Tentu saja, Ayah." Suara Kak Sananta terdengar yakin. Membuat praduga semakin menjadi-jadi dalam hatiku. Namun, aku berusaha menahan diri, mencoba memahami dulu apa yang sebenarnya terjadi.

Aku mengangguk pelan ketika Kak Sananta pamit meninggalkan kami berdua. Tinggal aku dan Tuan Saddil dengan kecanggungan yang mengungkung.

Lalu aku teringat tujuan utamaku ke sini. Membuatku kembali fokus dan melupakan pertanyaan-pertanyaan yang sempat mencuat dalam kepala.

"Bisa saya lihat langsung surat-surat yang Anda kirim fotonya semalam ke email saya?" 

Sebelum aku bersuara, Tuan Saddil telah lebih dulu bertanya. Sungguh to the point. Lagi aku terkejut dengan pengalihan topik yang tiba-tiba. Sepertinya ayah dan anak sama saja. Bedanya, aura dingin dari Tuan Saddil lebih mendominasi. 

"Bisa, Tuan." Aku segera mengeluarkan surat berharga itu dari dalam tas yang sejak semalam telah kusiapkan sedemikian rupa.

"Apakah Sananta tahu soal ini?"

"Tidak, Tuan."

Tuan Saddil mengangguk dengan ekspresi datar yang terjaga.

Surat itu berpindah tangan. Sementara aku menunggu dengan tegang, berharap penuh tak ada kejadian tidak menyenangkan, seperti Tuan Saddil menahan surat itu atau semacamnya.

"Hmm. Jadi benar surat dari Nyonya Sartika itu palsu. Terima kasih sudah memberi tahu. Ini sangat membantu mencegah huru-hara di kemudian hari."

Aku mengangguk lega. Merasa bersyukur Tuan Saddil tidak seperti yang kupikirkan.  Sepertinya dia cukup kooperatif menyikapi hal ini. Mungkin karena bisa jadi hal semacam ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi pengusaha tambang sepertinya. 

"Lalu bagaimana dengan wali Anda ini? Dia sudah menipu saya, menipu Anda juga. Dia juga sudah menerima uang muka. Tindakan apa yang akan Anda ambil?"

"Bisakah Tuan memberi saya waktu untuk mengembalikan semuanya? Saya akan transfer kembali uang itu sejumlah yang Bibi Sartika terima. Saya mohon kemurahan hati Tuan untuk tidak membawa kasus ini ke yang berwajib."

Tak ada riak di wajah Tuan Saddil hingga aku tak bisa menebak-nebak apa yang ada di dalam pikirannya. Dia menarik satu tangannya yang sedari tadi bertengger di lengan sofa, lalu menegakkan punggungnya yang bersandar.

"Bagaimana jika kesepakatannya adalah, wali Anda bebas tanpa syarat tetapi sertifikat asli ini menjadi milik saya?"

Meski sudah memasukkan ini dalam kemungkinan reaksi sang bos tambang, tetap saja, tenggorokanku terasa seperti gurun Sahara mendengarnya--kering kerontang.

"Maaf, Tuan. Tapi saya sudah bertekad untuk tidak menjualnya atau menjadikannya area pertambangan. Itu adalah warisan dan kenang-kenangan dari almarhum orang tua saya."

"Bagaimana jika saya tidak setuju? Anda tentu tahu kasus penipuan ini sangat serius. Dana yang dilibatkan miliaran rupiah. Dan kredibilitas kami sebagai perusahaan besar juga akan dipertanyakan. Kepercayaan masyarakat dan pemerintah akan menurun dan itu memiliki dampak yang besar. Kami dirugikan begitu banyak."

"Jika begitu, saya tak bisa melakukan apapun, Tuan. Siapa yang berbuat dia yang bertanggung jawab. Jika Bibi Sartika terjerat hukum, itu karena perbuatannya sendiri." Aku terdiam beberapa lama sebelum berkata-kata. Keputusan yang berat untukku, tapi sejak awal Bibi Sartika tidak memberikanku pilihan.

"Lalu bagaimana dengan nama baik perusahaan kami?" 

"Maaf, Tuan. Tapi saya rasa kesalahannya bukan hanya pada Bibi Sartika saja. Anda tentu lebih tahu apa yang saya maksudkan."

Perusahaan sebesar SS Group kecolongan berkas? Kurasa aku belum sanggup disuruh berpikir kenapa itu bisa terjadi juga pada mereka.

Tawa Tuan Saddil dan tepuk tangannya mengagetkanku. Lalu dia memanggil putranya. 

"Aku suka cara gadis ini, Sananta." Suara Tuan Saddil membahana. Dia berdiri kemudian mengulurkan tangan padaku.

"Selamat datang di keluarga ini, Miss Malik," ucap pria itu bersemangat. Sepertinya dia hanya mengingat ujung namaku saja.

Aku linglung. Datang di keluarga ini?

"Tunggu, Tuan. Bagaimana dengan tanah saya?"

"Kenapa aku harus membeli tanah menantuku? Masih banyak tanah lain di muka bumi ini. Simpan sertifikatmu baik-baik dan di tempat yang paling aman." Dia menyodorkan sertifikat tanah ke pangkuanku dan berbalik.

"Segera tentukan tanggal pernikahan kalian dan kita akan bersenang-senang!" perintahnya riang sambil menjauh.

Pernikahan?

Kali ini, aku menatap lekat wajah Kak Sananta. Dia harus menjelaskannya sekarang.

"Maaf membuatmu terkejut, Hara, tapi aku serius." Kak Sananta menatapku dalam. Tak ada aroma bercanda atau keragu-raguan di sana. "Aku mengatakan pada Ayah bahwa seorang perempuan telah menarik hatiku, dan aku ingin menikah dengannya. Orang itu, kamu."

Aku terhenyak. Bagai gempa bumi, tak ada firasat, tak ada tanda-tanda, dan aku sedikit oleng dibuatnya.

"Tapi ... kenapa bisa, Kak?" Banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku, tapi akhirnya yang keluar hanya kata-kata serupa gumaman.

"Kata orang, tidak ada alasan yang pasti untuk jatuh cinta, Hara. Begitupun denganku."

Aku merasa tak percaya, curiga, sekaligus ... bahagia? Entah. Yang jelas, aku kerepotan membenahi debar jantungku yang menggedor-gedor dada.

"Okey ... tak ada alasan untuk jatuh cinta, itu bisa diterima. Tapi ... menikah?" Kueja kata menikah dengan penuh tekanan. "Bukankah itu terlalu cepat, Kak? Kita bahkan baru berkenalan hari ini."

Patut diacungi jempol keberaniannya bicara cinta tanpa takut penolakan sama sekali. Type pria yang tak ragu-ragu menentukan pilihannya.

"Untuk seseorang yang jatuh cinta sejak tiga tahun lalu, ini sudah sangat lama. Tapi untukmu yang mungkin baru tahu hari ini, silakan dipikirkan dulu, Hara." Senyum tipis Kak Sananta benar-benar menghancurkan pertahananku.

Sejak tiga tahun yang lalu? Apa sejak malam itu? Apa ini bukan gombalan?

"Ba ... bagaimana jika aku menolak, Kak?" Ketenanganku telah menguap, aku tergagap.

"Itu hakmu, Hara. Tapi, tolong pertimbangkan dulu. Oh ya, agar lebih jelas, aku memintamu untuk menjadi istriku, bukan untuk jadi kekasih."

Sebuah kotak berludru berisikan cincin bermata putih di angsurkan Kak Sananta, membuat semua perbendaharaan kataku lenyap tak bersisa.

Pas pula, di balkon lantai dua, Tuan Saddil tengah menatapku lekat, membuat hawa panas ikut menyerbu mukaku.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   89. Hai, Ini Paman.

    "Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   88. BERTAHANLAH

    TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   87. AMBRUK

    TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   86. IDE

    "Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   85. FERDINAND

    Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   84. RAHASIA

    "Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   83. HUBUNGAN

    "Aku menemukannya." Seusai sarapan, aku menghampiri Ari di ruang tengah tempat dia biasa membuka laptop. Di samping pria itu terdapat sepiring cemilan dan cangkir kopi."Apa?" tanggapnya tanpa menoleh."Ini." Kusodorkan foto lama yang bahkan warnanya mulai memudar. Ari mengerutkan keningnya sejenak. Tentu saja dia tak akan mengenali orang itu dengan mudah. Dia tak pernah bertemu langsung dan hanya sempat melihatnya di galeri ponsel fotoku beberapa kali. Lagipula, penampilannya sangat jauh berbeda dengan yang sekarang."Siapa?" Ari menyerah. "Tuan Saddil." Ari membesarkan bola matanya, lantas mengambil foto yang kuletakkan di atas meja dan mendekatkan ke wajahnya. "Kenapa beda sekali?""Tentu saja. Yang ini dia gondrong, yang sekarang botak. Ini juga pakai kumis, sekarang semuanya licin."Di samping Tuan Saddil, ayahku nampak tersenyum lebar. Dan ini bukan hanya foto satu-satunya bersama Tuan Saddil.

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   82. ALBUM

    Cukup lama kami berada di gudang itu. Mungkin sudah lebih satu jam. Aku sudah mendapatkan setumpukan benda yang akan kubawa. Kunaikkan kembali kardus-kardus itu ke tempatnya. Tapi perutku yang besar sedikit membuatku kerepotan. Beban pas mengangkat tidak sama ketika hanya mengambilnya turun.Sementara Bu Sarmiah yang lebih pendek dariku merapikan rak yang lebih rendah."Biar aku saja." Ari mendekat. Aku sedikit bergeser ke samping. Pemuda itu lincah menaikkan beberapa kardus ke atas. Prang.Suara benda bersenggolan terdengar seiring sesuatu menimpa pucuk kepalaku."Aduh." Aku menjengit, sakit dan kaget. Sepertinya sesuatu tersenggol oleh kardus yang dinaikkan Ari hingga isinya berhamburan di lantai disertai suara berisik."Nona!""Kamu tak apa?" Ari tergopoh mendekat. Memeriksa kepalaku dengan raut cemas."Tak apa. Cuma sedikit kaget. Apa sih itu tadi?" Puncak kepalaku terasa panas dan perih. Aku bahk

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   81. GUDANG

    Sambungan di ujung telepon hening sesaat. Sebelum akhirnya beberapa detik kemudian terdengar lagi suara."Tak ada tanggapan sama sekali?" Suara Kak Sananta terdengar hilang-hilang timbul. Jaringan nampak sekali tidak stabil. "Tidak. Pihak pertambangan menutup akses untuk bertemu dengan masyarakat. Aku tidak tahu akan separah ini. Apakah dunia tambang memang seperti ini?" Aku mengembuskan napas pelan. "Biasanya tidak seperti ini. Tetap ada dana khusus yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Nanti aku akan mengurusnya lagi. Kamu tenang saja."Percakapan kami kemudian beralih lagi ke hal remeh temeh. Rasanya cukup lega mengetahui Kak Sananta tiba dengan selamat. Dia sudah langsung terjun ke proses pengolahan lahan hingga kami tak memiliki banyak waktu luang untuk bercerita. Kubayangkan jika Kak Sananta yang mengepalai proses pertambangan kebunku. Tapi kemudian andaian itu segera kuenyahkan. Jika Kak Sananta ya

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status