Share

5. KONEKSI

Penulis: Marigold112
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-24 22:52:38

"Hara Kayyisa Malik?"

Aku lebih terkejut lagi ketika dia memanggil nama lengkapku, seiring dengan tubuh jangkungnya yang memangkas jarak antara kami.

"Kak ... Sananta?" ulangku ragu. Kemudian menyadari sesuatu. Kami tidak pernah berkenalan secara langsung, kenapa saling sapa satu sama lain seperti teman yang lama tak bertemu?

Uluran tangan kokoh di depanku membuatku salah tingkah. Pertemuan telapak tangan kami mengirimkan sensasi panas ke wajahku. Tanpa bisa dicegah, pipiku merona merah jambu.

***

Aku ingat sekali, bagaimana sosok itu hadir pertama kali dan kesan yang ditinggalkannya.

Saat menjadi mahasiswa baru, Kak Sananta telah berada di tingkat akhir. Dia mengambil jurusan teknik sipil dan selalu mendapat IPK tertinggi di tiap semester.

Satu malam di tengah meriahnya pentas seni, resleting gaunku melorot di belakang punggung. Aku yang sedang bersama beberapa pemuda pengisi acara lainnya, malu setengah mati dan panik mau minta tolong pada siapa. Sementara hanya ada aku yang perempuan di ruang tunggu ini. Persis pula ketika itu MC memanggil namaku untuk membacakan puisi.

Kegelisahanku ketika sudah dua kali MC memanggil namaku, berganti terkejut saat menyadari seseorang sudah membenarkan resleting gaunku setelah membisikkan kata maaf. Kemudian mendorongku pelan menuju pentas.

Aku ingat betul wajah dan ekspresi itu. Wajahnya tidak mencolok, tidak bisa juga dibilang jelek, menurutku dia menarik. Wajahnya datar cenderung membuang muka. Tak ada senyum ataupun godaan di matanya. Kaku. Dan entah kenapa ketika itu dadaku justru berdebar kencang.

Debar yang kemudian selalu hadir saat sesekali aku melihatnya dari kejauhan. Bahkan hanya dengan mengingatnya, pipiku memanas dan aku tahu virus cinta tengah melanda.

Cinta yang hanya bisa kupendam dalam hati karena sulitnya interaksi antara kami.

Aku tak punya keberanian lebih untuk mencari informasi tentangnya. Akhirnya perasaan itu tersimpan begitu saja tanpa ada muaranya.

"Apa kabar?" Pertanyaan yang membuyarkan lamunanku tentangnya. Baru aku sadari kami sama-sama terdiam canggung beberapa saat lamanya.

"Sehat, Kak," jawabku senatural mungkin. Jika dijawab baik, jelas aku tidak dalam keadaan baik-baik saja. 

"Selamat untuk wisudanya," ujar Kak Sananta lugas, membuat ketenangan yang susah payah kubangun porak-poranda. 

Pria ini tahu wisudaku?

"Terima kasih, Kak."

"Bunganya diterima dengan baik, bukan?" 

Pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak. Ingatanku kembali pada momen wisuda. Banyak bunga yang kuterima, dan ada satu yang tak bernama. Kukira hadiah tambahan dari Ari setelah sebelumnya sebuket besar cokelat bertuliskan namanya kuterima. 

Apa itu dari Kak Sananta?

Jika benar ....

"Terima kasih banyak, Kak." Pipiku kembali merona dengan tak tahu diri. Tiga tahun tanpa kabar, lalu sebuket bunga datang di hari penting untukku. Bolehkah aku merasa tersanjung?

Obrolan kami terputus ketika satu orang berseragam yang sama dengan orang yang menyambutku di depan pintu mendekat.

"Maaf, Nona. Tuan mungkin akan pulang malam. Beliau minta Nona pulang saja dan kembali besok pagi sebelum Tuan berangkat kerja."

Aku mengangkat wajah seraya menahan kecewa yang menyeruak. Apa gunanya aku disuruh masuk jika orang yang hendak kutemui tidak ada di rumah? 

Sepertinya birokrasi berbelit-belit tentang orang penting dan yang punya kepentingan kini sedang menjeratku.

Tuan Saddil Ramdan. Pemilik perusahaan tambang SS Group. Aku terlalu bersemangat untuk bertemu langsung secepat mungkin dengannya.

"Sayang sekali," desahku tanpa sadar. Ingin sedikit bernegosiasi tapi aku sadar asisten rumah tangga di depanku ini tak punya kuasa apapun. 

Perempuan itu berlalu dan aku mengembuskan napas panjang. Tak ada gunanya aku di sini. Aku harus segera mencari penginapan untuk beristirahat.

Saat menoleh hendak pamit, kutemukan mata tajam Kak Sananta tengah menatapku intens. 

"Jika boleh tahu, kamu ada perlu apa dengan Ayah?" 

Fakta yang baru saja terungkap dari bibir Kak Sananta itu membuatku tertegun sejenak. Sungguh tak kusangka dia putra Tuan Saddil. Kupikir dia seseorang yang sama denganku--memiliki urusan dengan bos tambang itu--.

"Itu ...." Aku kebingungan memilih kata. 

"Siapa tahu aku bisa membantumu bertemu Ayah lebih cepat."

Kak Sananta menawarkan koneksi?

***

Aku memperbaiki posisi duduk untuk ke sekian kali. Jemariku bertaut di atas lutut, berusaha mengusir ketegangan karena udara yang kembali penuh tekanan.

Kak Sananta tetap menelepon ayahnya meski aku menolak menceritakan. Pria itu menyuruhku menunggu beberapa waktu lagi.

Berdua di ruangan elegan dengan Kak Sananta, sungguh aku tak pernah memimpikan itu. Fakta jika dia mengirim bunga di hari wisudaku, serta bantuan untuk bertemu dengan ayahnya. Sebuah kejutan besar ketika Kak Sananta ternyata mencari tahu tentang aku.

Dadaku kembali berdebar oleh prasangka. Sesuatu yang menurutku datang di waktu yang kurang tepat. Kecemasan yang membawaku ke sini, begitu bertolak belakang dengan percikan-percikan kecil yang terus saja berpijar di hatiku sejak melihat Kak Sananta.

Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Aku permisi sebentar untuk menjawab panggilan.

"Kamu baik-baik saja, Ra? Kenapa lama sekali?" Pertanyaan bertubi dari Ari begitu aku terhubung dengannya.

"Aku baik, Ri. Saat ini sedang menunggu Tuan Saddil. Beliau tidak ada di rumah."

"Menunggu? Bukankah tadi disuruh masuk, itu artinya tuan rumah ada di dalam, bukan?"

Aku tersenyum tipis mendengar perkataan Ari. Pikiran kami ternyata sama.

"Sabar, ya, Ri. Nanti aku telepon kamu lagi."

Saat menurunkan telepon genggam dari telinga, kembali kutangkap tatapan Kak Sananta ke arahku. Aku mendekat lagi dan kembali duduk di sofa tamu.

"Maaf, Kak. Ini saudaraku." Setelah kalimat itu terucap, aku sedikit menyesal. Tidak ada pertanyaan, semoga aku tidak terkesan menggebu menjelaskan.

"Tak apa." Kak Sananta tersenyum sekilas, lalu terang-terangan menatapku.

"Hara, apakah saat ini kamu sedang menjalin hubungan spesial dengan seseorang? Pacaran atau bisa saja, bertunangan?"

"Tidak. Tapi jika boleh tahu, kenapa Kakak bertanya seperti itu?" Kak Sananta tak terduga. Dia tidak berbasa-basi. Membuatku cukup yakin pertanyaanku tidak akan ditanggapi dengan reaksi berlebihan.

"Hanya sedang memastikan, aku sedang tidak duduk berdua dengan milik orang."

Aku tertawa pelan. Jawaban yang melesat cepat dan tepat menembus jantungku. Jawaban yang sebenarnya biasa saja tapi jatuhnya menerbangkanku ke awan. 

"Banyak orang di luar sana yang bahkan dengan sengaja melakukan itu, Kak." Kucoba mengeluarkan candaan, agar tawa gugupku tak begitu kentara. "Respect dengan prinsip Kak Sananta."

Dia mengulum senyuman, membuat kesan dingin yang kutangkap tiga tahun lalu lenyap tak bersisa. Sesaat kemudian Kak Sananta berdiri dan aku cepat-cepat mengikuti. Orang yang kami tunggu telah datang.

Aku memperkenalkan diri pada pria tinggi besar dengan kepala plontos itu. Wajahnya cukup bersih dengan jambang yang terawat. Dari tatapan sekilas, aku tak bisa menilai karakter Tuan Saddil kecuali dia seorang yang terlihat penuh perhitungan.

"Jadi, kau serius dengannya, Sananta?" 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   89. Hai, Ini Paman.

    "Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   88. BERTAHANLAH

    TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   87. AMBRUK

    TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   86. IDE

    "Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   85. FERDINAND

    Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind

  • TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN   84. RAHASIA

    "Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status