Share

5. KONEKSI

"Hara Kayyisa Malik?"

Aku lebih terkejut lagi ketika dia memanggil nama lengkapku, seiring dengan tubuh jangkungnya yang memangkas jarak antara kami.

"Kak ... Sananta?" ulangku ragu. Kemudian menyadari sesuatu. Kami tidak pernah berkenalan secara langsung, kenapa saling sapa satu sama lain seperti teman yang lama tak bertemu?

Uluran tangan kokoh di depanku membuatku salah tingkah. Pertemuan telapak tangan kami mengirimkan sensasi panas ke wajahku. Tanpa bisa dicegah, pipiku merona merah jambu.

***

Aku ingat sekali, bagaimana sosok itu hadir pertama kali dan kesan yang ditinggalkannya.

Saat menjadi mahasiswa baru, Kak Sananta telah berada di tingkat akhir. Dia mengambil jurusan teknik sipil dan selalu mendapat IPK tertinggi di tiap semester.

Satu malam di tengah meriahnya pentas seni, resleting gaunku melorot di belakang punggung. Aku yang sedang bersama beberapa pemuda pengisi acara lainnya, malu setengah mati dan panik mau minta tolong pada siapa. Sementara hanya ada aku yang perempuan di ruang tunggu ini. Persis pula ketika itu MC memanggil namaku untuk membacakan puisi.

Kegelisahanku ketika sudah dua kali MC memanggil namaku, berganti terkejut saat menyadari seseorang sudah membenarkan resleting gaunku setelah membisikkan kata maaf. Kemudian mendorongku pelan menuju pentas.

Aku ingat betul wajah dan ekspresi itu. Wajahnya tidak mencolok, tidak bisa juga dibilang jelek, menurutku dia menarik. Wajahnya datar cenderung membuang muka. Tak ada senyum ataupun godaan di matanya. Kaku. Dan entah kenapa ketika itu dadaku justru berdebar kencang.

Debar yang kemudian selalu hadir saat sesekali aku melihatnya dari kejauhan. Bahkan hanya dengan mengingatnya, pipiku memanas dan aku tahu virus cinta tengah melanda.

Cinta yang hanya bisa kupendam dalam hati karena sulitnya interaksi antara kami.

Aku tak punya keberanian lebih untuk mencari informasi tentangnya. Akhirnya perasaan itu tersimpan begitu saja tanpa ada muaranya.

"Apa kabar?" Pertanyaan yang membuyarkan lamunanku tentangnya. Baru aku sadari kami sama-sama terdiam canggung beberapa saat lamanya.

"Sehat, Kak," jawabku senatural mungkin. Jika dijawab baik, jelas aku tidak dalam keadaan baik-baik saja. 

"Selamat untuk wisudanya," ujar Kak Sananta lugas, membuat ketenangan yang susah payah kubangun porak-poranda. 

Pria ini tahu wisudaku?

"Terima kasih, Kak."

"Bunganya diterima dengan baik, bukan?" 

Pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak. Ingatanku kembali pada momen wisuda. Banyak bunga yang kuterima, dan ada satu yang tak bernama. Kukira hadiah tambahan dari Ari setelah sebelumnya sebuket besar cokelat bertuliskan namanya kuterima. 

Apa itu dari Kak Sananta?

Jika benar ....

"Terima kasih banyak, Kak." Pipiku kembali merona dengan tak tahu diri. Tiga tahun tanpa kabar, lalu sebuket bunga datang di hari penting untukku. Bolehkah aku merasa tersanjung?

Obrolan kami terputus ketika satu orang berseragam yang sama dengan orang yang menyambutku di depan pintu mendekat.

"Maaf, Nona. Tuan mungkin akan pulang malam. Beliau minta Nona pulang saja dan kembali besok pagi sebelum Tuan berangkat kerja."

Aku mengangkat wajah seraya menahan kecewa yang menyeruak. Apa gunanya aku disuruh masuk jika orang yang hendak kutemui tidak ada di rumah? 

Sepertinya birokrasi berbelit-belit tentang orang penting dan yang punya kepentingan kini sedang menjeratku.

Tuan Saddil Ramdan. Pemilik perusahaan tambang SS Group. Aku terlalu bersemangat untuk bertemu langsung secepat mungkin dengannya.

"Sayang sekali," desahku tanpa sadar. Ingin sedikit bernegosiasi tapi aku sadar asisten rumah tangga di depanku ini tak punya kuasa apapun. 

Perempuan itu berlalu dan aku mengembuskan napas panjang. Tak ada gunanya aku di sini. Aku harus segera mencari penginapan untuk beristirahat.

Saat menoleh hendak pamit, kutemukan mata tajam Kak Sananta tengah menatapku intens. 

"Jika boleh tahu, kamu ada perlu apa dengan Ayah?" 

Fakta yang baru saja terungkap dari bibir Kak Sananta itu membuatku tertegun sejenak. Sungguh tak kusangka dia putra Tuan Saddil. Kupikir dia seseorang yang sama denganku--memiliki urusan dengan bos tambang itu--.

"Itu ...." Aku kebingungan memilih kata. 

"Siapa tahu aku bisa membantumu bertemu Ayah lebih cepat."

Kak Sananta menawarkan koneksi?

***

Aku memperbaiki posisi duduk untuk ke sekian kali. Jemariku bertaut di atas lutut, berusaha mengusir ketegangan karena udara yang kembali penuh tekanan.

Kak Sananta tetap menelepon ayahnya meski aku menolak menceritakan. Pria itu menyuruhku menunggu beberapa waktu lagi.

Berdua di ruangan elegan dengan Kak Sananta, sungguh aku tak pernah memimpikan itu. Fakta jika dia mengirim bunga di hari wisudaku, serta bantuan untuk bertemu dengan ayahnya. Sebuah kejutan besar ketika Kak Sananta ternyata mencari tahu tentang aku.

Dadaku kembali berdebar oleh prasangka. Sesuatu yang menurutku datang di waktu yang kurang tepat. Kecemasan yang membawaku ke sini, begitu bertolak belakang dengan percikan-percikan kecil yang terus saja berpijar di hatiku sejak melihat Kak Sananta.

Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Aku permisi sebentar untuk menjawab panggilan.

"Kamu baik-baik saja, Ra? Kenapa lama sekali?" Pertanyaan bertubi dari Ari begitu aku terhubung dengannya.

"Aku baik, Ri. Saat ini sedang menunggu Tuan Saddil. Beliau tidak ada di rumah."

"Menunggu? Bukankah tadi disuruh masuk, itu artinya tuan rumah ada di dalam, bukan?"

Aku tersenyum tipis mendengar perkataan Ari. Pikiran kami ternyata sama.

"Sabar, ya, Ri. Nanti aku telepon kamu lagi."

Saat menurunkan telepon genggam dari telinga, kembali kutangkap tatapan Kak Sananta ke arahku. Aku mendekat lagi dan kembali duduk di sofa tamu.

"Maaf, Kak. Ini saudaraku." Setelah kalimat itu terucap, aku sedikit menyesal. Tidak ada pertanyaan, semoga aku tidak terkesan menggebu menjelaskan.

"Tak apa." Kak Sananta tersenyum sekilas, lalu terang-terangan menatapku.

"Hara, apakah saat ini kamu sedang menjalin hubungan spesial dengan seseorang? Pacaran atau bisa saja, bertunangan?"

"Tidak. Tapi jika boleh tahu, kenapa Kakak bertanya seperti itu?" Kak Sananta tak terduga. Dia tidak berbasa-basi. Membuatku cukup yakin pertanyaanku tidak akan ditanggapi dengan reaksi berlebihan.

"Hanya sedang memastikan, aku sedang tidak duduk berdua dengan milik orang."

Aku tertawa pelan. Jawaban yang melesat cepat dan tepat menembus jantungku. Jawaban yang sebenarnya biasa saja tapi jatuhnya menerbangkanku ke awan. 

"Banyak orang di luar sana yang bahkan dengan sengaja melakukan itu, Kak." Kucoba mengeluarkan candaan, agar tawa gugupku tak begitu kentara. "Respect dengan prinsip Kak Sananta."

Dia mengulum senyuman, membuat kesan dingin yang kutangkap tiga tahun lalu lenyap tak bersisa. Sesaat kemudian Kak Sananta berdiri dan aku cepat-cepat mengikuti. Orang yang kami tunggu telah datang.

Aku memperkenalkan diri pada pria tinggi besar dengan kepala plontos itu. Wajahnya cukup bersih dengan jambang yang terawat. Dari tatapan sekilas, aku tak bisa menilai karakter Tuan Saddil kecuali dia seorang yang terlihat penuh perhitungan.

"Jadi, kau serius dengannya, Sananta?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status