Share

7. BEST FRIEND

TPD 7

Setengah terhuyung aku keluar dari rumah besar itu. Kakiku terasa begitu ringan sementara otakku dipenuhi pikiran-pikiran yang tumpang tindih.

"Ingat saja, Bi. Jika ada gangguan pada perjalanan kami lagi atau sesuatu terjadi pada Hara, Bibi akan jadi orang pertama yang dicari polisi."

Langkahku melambat mendengar Ari yang sedang memunggungiku. Dia sedang menelepon dan mendengar kata bibi, aku rasa dia sedang bicara dengan Bibi Sartika.

"Kenapa tidak? Aku sudah melaporkan dua plat motor yang mengikuti kami tadi ke polisi dan meminta perlindungan perjalanan. Bibi diam, atau bibi terancam." Ari terlihat kesal ketika mematikan ponselnya, lalu terkejut ketika aku sudah berada di belakangnya.

"Bagaimana? Berhasil, tidak?"

Aku mengembangkan senyum lebar seraya mengangguk. Ari mengepalkan tangan senang. Dia segera membuka pintu mobil dan memintaku masuk.

"Syukurlah, kukira kita akan kesulitan menyelesaikan apa yang dimulai bibimu."

"Aku pikir juga begitu. Oh ya, apa yang dikatakan Bibi Sartika?"

"Kamu mendengarnya, ya? Dia marah-marah mendengar kamu ke sini. Sekalian aja kuancam biar dia diam." Ari terlihat masih kesal.

Dalam perjalanan Subuh tadi, dua kali kami dikuntit orang saat menuju kota. Untunglah kemampuan Ari sebagai pembalap jalanan cukup membantu. Namun, karena perjalanan jauh dan motor dirasa tak lagi aman, kami akhirnya memutuskan menyewa mobil.

"Kita cari makan dulu," kata Ari saat mobil sudah berbaur dengan pengguna jalan yang lain. Begitu Ari menyebut makan, serta merta rasa lapar ikut menyerangku.

Kami berhenti di sebuah resto yang tidak terlalu ramai karena jam makan siang sudah lama lewat. Jam besar berukir di belakang kasir yang berhadapan langsung dengan ruang pelanggan itu menunjukkan pukul 15. 05. Pantas saja aku mulai gemetar.

"Ra, apa sebaiknya kita menginap saja malam ini? Kulihat kamu sedikit pucat dan kurang fokus," ujar Ari saat kami sudah berada dalam mobil kembali.

"Oh ... ya." Aku memang merasa kelelahan. Perjalanan dan ketegangan yang bertubi-tubi, serta kejutan-kejutan hari ini berhasil menggerus energiku. Saat masalah tanah itu mulai terasa dingin di kepalaku, ucapan Kak Sananta terus saja berdengung.

Aku butuh tidur agar bisa berpikir dengan jernih. Tentang Kak Sananta dan Bibi Sartika.

Tak perlu repot atau mengusulkan ini itu. Bersama Ari semuanya beres. Dia selalu tahu apa yang kuinginkan meski kadang tanpa bertanya. Seolah-olah, isi kepalaku bisa diteropong lewat kedua mata sipitnya itu.

***

"Heh, kenapa kamu ke sini? Seharusnya telepon saja. Ini sudah malam." Ari terkejut ketika aku muncul di kamarnya. Sebuah penginapan kecil, tapi cukup nyaman dan punya view indah menghadap gemerlap kota di malam hari. Harganya juga cukup bersahabat.

"Ada yang mau aku ceritakan." Tak tahan dengan semua gundah meski sudah tidur selama tiga jam lebih, aku nekad mendatangi kamarnya yang persis berada di sebelah kamarku.

Ari segera menutup pintu. Kemudian menuju lounge penginapan. Ruangan yang tidak terlalu besar, tapi ditata sedemikian rupa hingga menjanjikan kenyamanan.

Tidak banyak orang di jam sepuluh ini. Dua cappucino mocca dan latte segera tiba di meja kami.

"Sepertinya ini bukan sesuatu yang menegangkan," tebak Ari, setelah beberapa kali sedotan aku masih juga belum bercerita.

"Tentu saja. Karena jika tegang, aku pasti sudah bercerita begitu pintu kamarmu terbuka," balasku. Aku belum menemukan kalimat pembuka yang tepat untuk mengatakannya pada Ari.

"Heem. Semoga saja kita tidak hanya untuk memutar-mutar sedotan ke sini, sampai kamu mengantuk lagi."

Aku menyikut lengan Ari. Kami tidak berhadapan, karena aku sengaja memilih duduk bersisian. Selain karena lebih leluasa memandang lampu-lampu kota di kejauhan sana, aku juga ingin menyembunyikan kecanggungan.

Jika dulu aku begitu blak-blakan bicara apa saja pada Ari, entah kenapa malam ini semua terasa berat. Entah karena topiknya, atau karena sudah lama kami tak lagi berbagi soal perasaan. Tepatnya, empat tahun saat aku memutuskan kuliah di kota yang berbeda dengan Ari.

Ari dua tahun lebih tua dariku. Saat ini dia sudah bekerja di perusahaan konstruksi peninggalan ayah kami. Ayahku dan ayahnya dulunya juga dua sahabat yang merintis bersama. Om Gumintang dan istrinya pun sudah meninggal. Setiap bulan, aku menerima sejumlah dana sebagai bentuk dari penghargaan atas jasa Ayah selama masih hidup.

Sama-sama anak tunggal, tumbuh bersama, serta kehilangan orang tua di saat masih muda, membuat aku dan Ari layaknya kakak dan adik saja.

"Ri. Bagaimana jika seseorang yang sudah lama kamu sukai tiba-tiba mengajakmu menikah?"

Pertanyaan itu akhirnya terlompat juga. Sialnya Ari langsung terbatuk-batuk. Dia menggapai-gapai dan aku segera menyodorkan tisu.

"Kamu ... kenapa tiba-tiba membahas ini?" tanya Ari dengan suara parau. Matanya memerah. Kurasa tersedak minuman barusan cukup menyiksanya.

"Apa itu terlalu aneh?" Aku setengah bergumam.

"Apa kamu baru saja dilamar seseorang?"

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
KarlTzy
Lanjutkan trus ceritanya, dan tetap semangat trus ya. ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status