“Itu tadi Alea?” Dinara mengulang pertanyaannya, namun Aris masih juga tak menjawab. Pria itu hanya berjalan dengan menatap lurus ke depan.“Om!” Dinara menyegerakan langkahnya ketika sedikit tertinggal di belakang Aris yang melangkah dengan langkah lebar. “Om!!!” panggilnya lagi ketika merasa Aris sama sekali tak memedulikan. Persetan jika nanti ada yang mendengarnya memanggil ‘Om” bukan panggilan sayang seperti yang diajarkan Aris tadi.Aris seketika menghentikan langkahnya lalu menoleh dan berbalik arah menuju Dinara.“Maaf, Nara. Om lagi nggak konsen.” Ia meraih tangan Dinara yang entah sejak kapan terlepas dari genggamannya tadi, namun Dinara menepis.“Om lagi banyak pikiran, Nara.” Aris menatap meminta pengertian Dinara.“Om Aris bukan lagi banyak masalah. Om hanya punya satu masalah, gara-gara ketemu Alea tadi Om jadi ngelupain Nara, kan?”Aris menghela napas kasar. “Jangan teriak-teriak di sini, Nara. Nanti ada yang dengar. Ayo ke ruangan Om.” Aris kembali meraih tangan Dinara
“Sejak kapan Nara punya Kenzo, hah? Selama pernikahan palsu ini masih berjalan, Nara milik Om Aris.” Aris menunjuk tepat di dada Dinara, bahkan tak segan menyentuhkan telunjuknya di sana.“Dan Om Aris seenaknya menghabiskan siang dan malam bersama pacar Om? Sementara Nara disuruh diam dan tak boleh memiliki hubungan lain?”“Menghabiskan siang dan malam?”“Ya. Menghabiskan siang di kantor dengan Alea yang memiliki akses ke ruang privacy Om Aris. Terus menghabiskan malam dengan saling menelpon atau ....”“Atau apa?”“Atau bayangin pacar Om di kamar mandi sampai nyebutin namanya berkali-kali.”Aris tertawa. “Kamu dengar itu, Nara?”Dinara menoleh, tak ingin bersitatap dengan Aris lagi.“Kalo Nara dengar, itu artinya Nara juga dengar nama siapa yang Om sebut terakhir kalinya. Nara tau itu artinya apa?” Aris meraih dagu Dinara, memposisikan wajah gadis itu tepat di hadapannya.“Itu artinya ada sisi hati Om yang menginginkan Nara,” katanya dengan penuh penekanan pada kata ‘menginginkan’.Di
“Nara tunggu di sini bentar, ya. Om mau dengarin apa hasil meeting tadi.” Tanpa menunggu persetujuan Dinara, Aris segera berjalan ke arah pintu dan menghilang di sana.Pertemuannya dengan Alea dan Sigit di depan lift tadi masih mengganggu pikiran Aris. Sigit adalah pria yang manipulatif, secerdas-cerdasnya Alea, beberapa kali gadis itu pernah terperangkap dalam jebakan Sigit yang sepertinya masih penasaran terhadap sikap cuek Alea. Bahasa matanya tadi saat menatap Alea sesungguhnya sudah berisi larangan agar gadis itu menjauh, tetapi Aris tetap khawatir Alea tak mengabaikannya.Di depan ruangan Sigit, ia tak menemukan pria itu. Seorang gadis dengan setelan blezer dan rok mini dan dandanan yang menor yang merupakan sekretaris pribadi Sigit mengatakan bahwa pria itu belum kembali dari meeting.“Meetingnya sudah selesai setengah jam yang lalu!” Aris menghardik gadis yang terlihat sengaja mempertontonkan sisi sensualnya itu saat menjawab pertanyaannya.Aris kembali mencari-cari ponselnya
“Oke kamu boleh cuti. Tapi soal gaji, sebaiknya jangan minta dibayarkan di awal, itu akan bikin beberapa orang curiga yang nggak-nggak. Nanti aku suruh Pras transfer ke rekeningmu. Pergilah, temani dan urus ayah dan ibumu sampai benar-benar bisa dilepas. Aku tau gimana baktimu ke mereka.”Ini yang disukai Alea dari seorang Aris. Tak pernah mengenal siapa kedua orang tuanya membuat Aris tumbuh menjadi pria yang sangat menghormati orang tua. Ia menyaksikan bagaimana sopan santun Aris saat berhadapan dengan ayah dan ibunya, bagaimana Aris menerima dengan lapang dada ketika ayahnya mempersoalkan asal usulnya yang tak jelas, dan bagaimana bakti Aris kepada ibu angkatnya yang akhirnya membuat pria itu kini lepas darinya dan menikahi keponakan angkatnya sendiri.Aris ... satu-satunya lelaki yang diinginkan Alea, tetapi kini menjadi lelaki yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus dijauhinya, meski ia benar-benar tak bisa menjauh karena tak mungkin meninggalkan pekerjaannya sementara ia send
“Kamu boleh terbang tinggi, tapi kembalilah padaku ketika sayapmu sudah lelah, Alea. Aku mencintaimu, tak rasanya terlalu sulit untuk menghilangkan rasa itu.”Tak tahan lagi, Alea tiba-tiba melingkarkan lengannya di leher Aris.“Aku juga mencintaimu, Mas.”Aris memeluk pinggangnya.“Kita putus?” tanya Alea dengan suara tercekat.“Hmm.” Aris mengangguk berat. “Sebelum semakin rumit, sebaiknya diakhiri.”Tak ada air mata, meski ada badai di hati masing-masing. Keduanya adalah gambaran kedewasaan dalam menjalani hubungan.“Aku bilang apa ya ke Ayah? Udah dapat restu, ehh malah diputusin.” Alea menggumam.“Aku yang akan jelasin ke ayah kamu.”“Mas Aris mau bilang apa?”“Bilang kalo aku udah nikah. Bilang kalo aku dijodohkan dan nggak bisa nolak. Bilang kalo aku berharap putrinya masih mau nunggui laki-laki yang nggak tau diri ini.”Alea melepaskan rangkulannya lalu memukul lengan Aris.“Mas Aris nggak perlu jelasin ke Ayah, biar aku yang jelasin.”“Kamu mau bilang apa?”“Mau bilang kalo a
Hanya memerintah melalui tatapan mata dan sedikit gerakan tangan, Alea sudah bisa tahu apa yang diinginkan Aris. Setelah pintu lift terbuka tadi, Alea memang kembali memberi hormat pada Dinara yang berdiri di sana lalu keluar dari lift. Berbeda dengan Aris yang tentu saja heran melihat kehadiran Dinara di sana. Ia tadi meninggalkan gadis itu di ruangannya dan meminta izin untuk memantau hasil meeting hari ini, maka keberadaan Dinara yang bersiap di depan lift tentu membuat kening Aris bertaut penuh tanya.“Om belum selesai, Nara? Tunggu bentar lagi. Kenapa terburu-buru?”Yang ada di pikiran Aris adalah Dinara sudah tak sabar menunggunya, karena hari ini ia memang sudah berjanji untuk menemani gadis itu ke mall. Sayangnya, Dinara sama sekali tak memedulikan Aris meski pria itu tetap berada di dalam lift bersamanya.Ingin menekan tombol lift, gerakan Dinara terhenti saat Aris menghalangi tangannya. Alarm di kepala Aris seketika mengirim kode saat melihat gelagat tak biasa Dinara, jauh b
“Ada yang ingin Nara tanyakan?”Dinara menautkan alisnya. Apa yang harus ditanyakannya? Menanyakan mengapa Aris tahu jika ia melihat semua kejadian tadi melalui layar di ruangan Aris? Rasanya itu pertanyaan yang sangat receh. Atau menanyakan mengapa Aris dengan sengaja meninggalkannya di ruangan lalu bertemu Alea di rooftop? Sepertinya ia tak memiliki hak karena Alea adalah kekasih dari pria ini.Atau ... sebaiknya menanyakan kenapa Aris memeluk Alea padahal sebelumnya Aris mengatakan akan menyisihkan urusan Alea sementara? Tapi itu akan terlihat seperti ia sedang cemburu, padahal Aris sudah menjawab dengan terang-terangan bahwa ia masih berharap Alea menunggunya setelah urusan perjodohan di antara mereka selesai.Dinara menghela napas kasar.“Om Aris sering ketemu Alea di rooftop?”Sungguh itu adalah pertanyaan yang terlihat bodoh, karena sejujurnya Dinara merasa tak suka dengan apa yang disaksikannya tadi. Apakah ini yang dinamakan cemburu? Tapi untuk apa ia mencemburui Aris yang ia
“Itulah Alea. Dia bisa saja ngerasa patah seperti yang tadi Nara bilang, tapi dia bisa menyembunyikan itu, dia bisa menata hati dan menyesuaikan keadaan.”Dinara membayangkan wajah cantik Alea yang memang tak menampakkan gelagat apa pun tadi, ia dan Aris bahkan dengan santai membahas pekerjaan padahal Dinara tahu bahwa keduanya baru saja saling memeluk sebelumnya.“Terus tadi kenapa Nara tiba-tiba keluar dari kamar Om dan mau pulang sendiri?” Aris bertanya.“Itu ... nggg ... itu karena ... Nara pikir Om Aris masih akan lama dan Nara mau segera ke mall.”Aris tertawa, tangannya kembali menyentuh pipi Dinara yang entah sudah kesekian kali diusapnya, jemarinya berhenti sejenak di lesung pipi Dinara. “Itu namanya cemburu, Nara,” gumamnya.Dinara menepis tangan Aris dari pipi. “Ih! Nggak! Ngapain juga Nara cemburu.”“Ya udah terserah Nara. Yang tadi itu cemburu atau bukan, nanti lambat laun Nara akan mengerti dengan sendirinya. Tapi ... Om senang Nara sudah mulai banyak bertanya, itu artin