Sambil mengenggam selembar foto di tangan kirinya, Aris menggenggam surat itu dengan tangan kanannya lalu mulai membaca.-Aris anakku, wanita cantik di foto ini adalah ibu kandungmu, Nak. Namanya Cecilia, jangan tanyakan mengapa Mama bisa menemukan identitasnya, Papamu melakukan semua itu ketika menyadari betapa Mama menyayangi Aris seperti Mama menyayangi Aldo. Sekarang Aris tahu kan dari mata bola mata cokelat Aris? Ya, itu dari garis keturunan ibumu, Nak.Jika Aris membaca surat ini, itu artinya Mama sudah tak ada lagi di dunia. Mama sengaja hanya memberikan selembar foto ini untuk Aris, tanpa menyertakan keterangan apa pun tentang Cecilia, karena Mama dan ibumu sudah saling berjanji saat kami bertemu.Cecilia meminta agar kamu tak mencarinya, Nak. Bukan karena dia tak menyayangi Aris, tetapi karena ia tahu bahwa Aris sudah menemukan keluarga yang jauh lebih berarti dari pada hanya sekadar ikatan darah. Ibumu sudah memiliki keluarga dan bahagia dengan keluarga barunya, sedan
“Mana ada dokter yang begitu, Om.”“Huhh! Tapi empat puluh hari itu lama, Naraaa! Gimana nasib Om coba?”Dinara mencibir. “Dih! Biasanya juga banyak ide banyak cara banyak ....” Kalimat Dinara tak selesai, karena pria yang sedang digodanya itu kini menarik tangannya dengan sedikit paksaan.“Ikut Om!”“Ke mana?”“Kamar mandi.”“Hah?!”“Tanggung jawab, Nara! Kamu bikin Om jadi kepikiran banyak ide banyak cara.”“Ck!”“Nara ....” Aris kembali memanggil.“Hmm.”“Kalo kata Mama mata cokelat ini dari ibu kandung Om, sekarang Nara tau kan dari mana nakal dan liarnya Om?”Dinara menautkan alis.“Kayaknya itu warisan dari laki-laki nakal dan liar yang sudah membuat Om terlahir ke dunia.”Ada nada getir dari suara Aris, dan Dinara yang memilih untuk segera menetralkan suasana.“Tapi ... kayaknya Nara harus berterima kasih ke orang itu, Om.” Dinara menghampiri lebih dekat. “Karena Nara suka Om Aris yang nakal dan liar seperti ini,” bisiknya lagi.Aris menggigit bibirnya, kegetiran itu sudah berl
“Om udah keterlaluan! Bisa-bisanya mempermalukan Nara di depan teman-teman Nara!” Gadis berambut kecoklatan dengan postur tubuh bak model itu menutup pintu mobil dengan kasar lalu melangkah dengan tergesa meninggalkan pria yang baru saja mengantarnya pulang.Aris Hermawan, pria yang masih berada di balik kemudi hanya menggeleng melihat perlakuan kasar Dinara. Ini sudah menjadi kebiasaan sehari-hari gadis itu. Pertengkaran keduanya sudah bukan lagi hal yang asing di rumah mewah ini. Seisi rumah sudah sangat terbiasa dengan pemandangan seperti ini.Aris melirik arloji di pergelangan tangan sebelum kemudian meraih ponsel di sakunya lalu melakukan panggilan. Sebelumnya, ia sudah meninggalkan rapat penting demi mendatangi Dinara yang kembali melanggar kesepakatan yang telah mereka setujui.“Gimana meetingnya tadi, Pras?” Aris segera bertanya begitu panggilang tersambung pada asisten kepercayaannya.“Sedikit alot, Pak. Tadi klien kita protes karena Pak Aris meninggalkan meeting begitu saja
Aris merenung sendirian di ruang kerjanya. Kehidupannya selama tiga bulan belakangan ini begitu berantakan, tepatnya setelah statusnya tiba-tiba saja berubah menjadi seorang suami. Mungkin jika saja wanita yang menjadi istrinya adalah kekasih yang telah dipacarinya setahun belakangan ini, hidupnya tentu saja tak seperti ini. Akan tetapi, wanita yang kini menyandang status istrinya adalah Dinara – gadis belia yang baru duduk di semester awal sebuah universitas swasta.Sudah berbatang-batang rokok yang menemaninya malam ini di ruang kerjanya. Setelah tadi kembali bersitegang dengan Dinara di kamarnya, Aris memilih masuk ke ruang kerjanya. Hal yang sering dilakukannya belakangan ini, menghabiskan malam di ruang kerjanya sambil menyesap rokok dan tentu saja menelepon kekasihnya.“Tidur di ruang kerja lagi?” begitu pertanyaan Alea, sekretaris sekaligus kekasihnya ketika Aris menelepon.“Hmm.”“Berantem lagi?” tanya Alea.“Selalu.”“Kenapa nggak tidur di kamar lain aja dari pada tidur di ku
Ultimatum dari Oma Lili makin mengekang ketika Dinara semakin terlihat menentang. Beberapa kali Aris dipusingkan ketika gadis itu tak pulang ke rumah dengan alasan menginap di rumah teman. Aris kewalahan, ia yang dulunya tak pernah terlibat dalam uruan perusahaan dan lebih memilih bekerja sebagai tim kreatif di salah satu stasiun TV swasta kini harus menggantikan posisi Aldo sebagai direktur di perusahaah keluarga.Kepergian Aldo membuat hari-hari Aris sangat sibuk, dan semakin sempurna kesibukan dan kerepotannya ketika Dinara juga semakin mencari masalah.“Mulai hari ini kamu nggak boleh keluar rumah, Nara!”Oma Lili akhirnya mengambil keputusan tegas setelah hari ini Aris menyeret gadis itu dari rombongan konvoi pelajar yang baru saja menjalani ujian sekolah.“Nggak bisa gitu, Oma! Nara mau urusin pendaftaran masuk kuliah. Ijazah Nara juga belum keluar.” Dinara tentu saja membantah.Aris menekan keningnya. Menghadapi dua wanita berbeda generasi yang sama-sama keras kepala ini benar-
“So, what can i do, Alea? Gimana kalo sampai aku cerai nanti, Papa kamu makin nggak setuju kamu nikahnya sama duda yang nggak jelas asal usulnya?” “Kita kawin lari aja, Mas.” “Lah, kalo akhirnya kawin lari juga, kenapa nggak dari kemarin-kemarin aja, Alea?” “Kemarin-kemarin aku masih ngarep Papa kasian liat aku terus ngasih restu.” “Terus sekarang?” “Sekarang aku takut kamu bener-bener ninggalin aku. Aku takut kamu bener-bener serius dengan pernikahanmu. Aku takut kamu nyentuh Dinara.” Aris tertawa nyaring. “Yang terakhir aku nggak janji, Al.” “Mas!!!” Tawa Aris semakin menjadi. “Alea ....” “Iya.” “Nanti kalo Papa kamu tetap nggak ngasih restu, gimana kalo aku hamilin kamu aja?” Tak ada jawaban dari sana, sebab cara Aris berbicara membuat seluruh tubuh Alea gemetar. Dia menginginkan pria di layar ponselnya ini. “Udah dulu, Mas. Aku mau tidur. Sampai ketemu besok.” “Hmm, besok pagi bangunin ya, Al. Aku pasti kesiangan lagi besok.” “Kenapa kesiangan.” “Karena malam ini pa
Rasanya ada kupu-kupu yang tengah beterbangan di perut Dinara, gadis itu masih berusaha bertahan meski seluruh tulangnya terasa lemah.“Your first kiss?”Lalu saat gadis itu mendengar pertanyaan Aris dengan gumaman, dia baru menyadari bahwa pria yang tengah menyanggah tubuhnya itu telah mencuri ciuman darinya, mencuri ciuman pertamanya. Sudut mata Dinara tiba-tiba saja basah oleh bening yang menetes.“Om jahat.” Ia ingin berteriak, tetapi yang keluar hanya serupa gumaman. Dalam benak gadis itu, pria di hadapannya kini seperti maling, maling yang mencuri ciuman darinya.Aris tertegun, bahasa tubuh Dinara, pipi gadis itu yang terlihat merah dan terasa panas, kaki Dinara yang tiba-tiba saja lemas sehingga harus dibantunya agar gadis itu tetap berdiri, lalu sekarang tangis tertahan Dinara saat mengatakan dirinya jahat, membuat Aris sedikit menyesali tindakannya pagi ini.“Ehm ... maaf, Nara. Om nggak tau kalo kamu ... ehm ... Om pikir Nara udah terbiasa dengan ....” Pria yang sudah rapi d
Sepeninggal Dinara, Aris masih memilih diam di dalam mobilnya. Pria itu memperhatikan langkah Dinara hingga punggung gadis itu menghilang di antara kerumunan mahasiswa lain. Pagi ini, setelah sekian lama pernikahan, Aris baru menyadari bahwa Dinara bukanlah gadis nakal seperti yang dipikirkannya selama ini. Hal itu terbukti dengan keluguan gadis itu saat menghadapi ciumannya tadi, juga terbukti dari pengakuan Dinara bahwa ia adalah pria yang pertama kali menciumnya.Ada senyum tipis yang tergambar di bibir Aris, setidaknya ia tak terlalu merasa bersalah pada kakak angkatnya mengenai Dinara yang selama ini dikiranya gadis liar. Selama ini, Aris hanya mengenal Dinara sebagai gadis yang nakal, keras kepala dan susah diatur. Beberapa kali ia bahkan harus menjemput Dinara bersama teman-temannya di area balap liar, lalu terakhir mendapatkan laporan bahwa Dinara menabrak pohon di daerah puncak. Maka yang ada di kepala Aris selama ini, Dinara adalah gadis yang pergaulannya sudah melampaui bat