Farrel langsung mendelik tak suka. "Enak saja, memang aku Kakanganmu? Panggil aku, Mas. Mas Farrel Sayang!" ucapnya tegas tak ingin dibantah.Alifa bergumam lirih sambil menggaruk telinganya. "Mas Farrel, Sayang." Rasanya panggilan itu sangat lucu. "Iya, Sayang. Manggilnya yang ikhlas!" titahnya tegas.Alifa melengos dengan wajah memerah mendengar perintah dari laki-laki itu. Memanggil 'Mas' saja sangat aneh, apalagi ditambah kata 'Sayang'. Melihat wajah memerah Alifa, Farrel tersenyum.Farrel senyum-senyum melihat Alifa yang salah tingkah. Ini hanya soal panggilan, tetapi sudah membuat wajah istrinya itu memerah. Bagaimana jika menyangkut permintaan yang lain? Farrel menepuk dahinya sendiri, menyadarkan pikirannya yang melanglang buana.Farrel menjulurkan tangannya menyentuh bibir Alifa. Sesaat Alifa terkesiap. "Rambut, nanti ikut kemakan." Alifa melirik ke arah jemari tangan Farrel yang menunjukkan sehelai rambut."Kenapa bisa masakan ada rambutnya? Bukan aku, Rel, yang masak!" Far
Farrel berusaha mencerna ucapan istrinya. Belajar mencintai? Benarkah wanita dalam pelukannya ini benar-benar siap akan status dan kehidupan barunya?Akhirnya, Farrel memutuskan mengangguk. "Kita saling belajar mencintai karena pernikahan ini untuk selamanya, Fa. Aku berharap kamu nggak akan meninggalkan aku."Farrel mendongak dengan mata terpejam. Dia yakin cinta di antara mereka akan datang seiring berjalannya waktu. Farrel juga berharap, Alifa tidak akan pernah meninggalkan dirinya jika suatu saat nanti Alifa menyadari laki-laki seperti apa suaminya itu.Alifa membenamkan wajahnya di dada suaminya.Alifa masih sulit untuk percaya jika dirinya sekarang menjadi istrinya Farrel. Dia masih ingat betul beberapa bulan lalu memaki Farrel di halaman balai desa. "Bagaimana kalau nama kamu dan namaku yang tertulis di Lauhul Mahfudz, Lif?" tanya Farrel waktu itu. Alifa tahu, Farrel yang slengekan itu asal bicara. Ya, laki-laki di depannya itu mana pernah serius? Apalagi, di depan para sahab
Farrel mendekatkan wajahnya ke telinga Alifa, laki-laki berambut biru itu berbisik, "Belajar ngulek sama aku sajalah, Fa, yang cepat!" ucapnya kemudian mencuri ciuman di pipi Alifa.Alifa mendelik dan mendadak otaknya langsung mengerti maksud dari laki-laki itu. "Farrel!" Bersamaan dengan itu, cubitan kuat mendarat di perut laki-laki tersebut. Alifa langsung melengos dan meninggalkan suami jahilnya itu."Kita ke pasar saja, kamu di sini masih mau beli apa lagi?" tanya Farrel sambil mengembalikan beberapa bungkus bumbu instan yang sama. Alifa menatap ke arah tangan Farrel yang menata kembali bungkusan bumbu itu di rak, sesuai dengan jenis dan mereknya."Jangan dikembalikan semua, Rel. Aku butuh ini!" cegahnya."Iya, itu kan aku sisain yang beda-beda, kamu ngambilnya sama-sama semua. Memang setiap hari mau masak nasi goreng dan gulai ayam?" Alifa cengengesan sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "He he, ya nggak sih," jawabnya. "Eh, Rel sebentar, aku ke sana dulu!" Tanpa menung
Dengan antusias, Alifa memperhatikan Bu Halimah memasak. Dengan sabar, wanita paruh baya itu mengajari menantunya. Dia juga menunjukkan bumbu-bumbu untuk setiap masakan yang berbeda. Tak lupa, Alifa juga mencatatnya.Bu Halimah tersenyum, melihat keseriusan Alifa yang ingin belajar memasak. Berbeda dengan ibunya, Farrel lebih banyak memprotes daripada mengajari. Alifa berkali-kali mendapatkan teguran dari ibunya. Sedangkan Alifa, memilih bersikap tak peduli dengan cibiran sang suami yang berniat menggodanya."Lebih baik kamu, ke mana begitu kek, Mas!" usirnya gregetan.Farrel terkekeh kemudian meninggalkan kedua wanita beda usia itu. "Awas, kalau keasinan, Fa!" ucapnya lantang sembari berlalu."Jangan dengarkan, Fa. Farrel memang kalau ngomong seenaknya," ucap Bu Halimah."Saya sudah hafal, Buk." Alifa menjawab jujur. Kini, mereka sudah berada di meja makan. Alifa merasa canggung ketika harus duduk semeja dengan kedua mertuanya. "Kamu jangan sungkan, Fa. Di sini juga rumah kamu. Seb
Farrel melengos. Dia melewati istrinya begitu saja. Laki-laki jangkung itu berjalan cepat meninggalkan wanita itu. Alifa yang didera perasaan bersalah segera mengejar dan menangkap tangan Farrel."Mas!" Farrel menghentikan langkah tanpa menoleh. Alifa memposisikan diri di depan laki-laki tersebut. Ditatapnya manik hitam Farrel. Melihat raut kecewa di wajah Farrel, Alifa hanya bisa berucap lirih, "Maaf, Mas. Maaf..." Hanya kata itu yang terucap dari bibirnya. Semua kalimat dan kecerewetannya hilang begitu saja.Farrel melirik malas pada Alifa lalu membuang pandangannya. "Aku ngerti," ucapnya acuh. "Aku ngerti, semua ini sulit kamu terima, Fa. Begitu juga dengan aku. Tapi, bukankah kamu memintaku belajar mencintaimu? Hh." Farrel kembali menjeda kalimatnya dan tersenyum satu sudut. "Beginikah belajar saling mencintai? Dengan cara pisah kamar?""Mas, ak-aku...""Ya sudahlah, terserah kamu, Fa!" sahut Farrel kemudian melepaskan tangan istrinya dari tangannya.Alifa termangu, dia menatap
Farrel menghentikan langkahnya di ambang pintu ketika mendengar Alifa memanggilnya. "Mas!" Dengan ragu, Farrel kembali mendekat.Alifa merubah posisinya setengah duduk dan mengamati Farrel yang kini berdiri di samping tempat tidur. Terlihat gurat kelelahan di wajah suaminya itu. Dia bergegas turun dari tempat tidur dan berdiri di depan Farrel."Sudah malam, kamu tidurlah. Aku juga mau tidur," ucapnya pelan."Mas Farrel sudah makan? Kok perginya lama banget?" tanyanya khawatir.Farrel menatap sekilas istrinya kemudian menunduk memperhatikan penampilannya sendiri. "Aku sudah makan, ya sudah kamu tidur!" ulangnya sambil mengusap kepala istrinya. Alifa mengangguk dan memegang tangan Farrel. "Maaf ya, Mas. A-aku..." Farrel memotong ucapan Alifa dengan anggukan. "Nggak perlu minta maaf. Ya, sudah kamu tidur. Kita bicarakan lagi besok," pungkasnya kemudian melangkah keluar kamar dengan menutup pintu pelan.Sepeninggal Farrel, Alifa bukannya tidur, dia justru mondar-mandir dengan gelisah. R
Tawa Bintang dan Alisha pecah mendengar ucapan Farrel. Berbeda dengan kedua orang tersebut, Alifa hanya mampu menatap geram pada Farrel yang cengengesan."Dasar, semprul!" makinya kesal. "Kalau ngomong itu yang benar, Mas. Nggak usah mengada-ada!" sahut Alifa ketus. "Sssttt, jangan berisik lah, Fa." Farrel menempelkan telunjuknya di depan bibir. "Ayo pulang, kita lanjutkan di rumah!" imbuhnya.Alifa mencibir kemudian meneliti penampilan Farrel. Pakaian laki-laki itu setengah basah oleh keringat, seperti Bintang. Alifa melongo. Jadi, suaminya itu tadi sengaja lari pagi bersama Bintang dan akhirnya bertemu di sini untuk membuatnya malu?"Farrel memang kurang ajar," bathinnya."Pulang, malah bengong. Nanti pingsan ogah gendong lagi!" "Ciee, sudah main gendong-gendongan!" seru Bintang spontan."Berisik, deh Mas Bin!" sentaknya kesal. "Mas Farrel pulang saja, aku mau belajar masak dulu!" imbuhnya sembari melirik Farrel."Kamu belajar masak di sini, sekarang? Terus aku nungguin kamu di ru
"Auuhss! Auuuh, Fa ... Fa! Jahat, ih!" Farrel memegang pergelangan tangan Alifa. Alifa mencibir dan melepaskan cubitannya.Wanita itu mengangkat dagunya, mendongak seolah menantang Farrel untuk berbicara mesum lagi. Kedua tangannya berkacak pinggang. Dengan alis naik turun dan tersenyum semanis mungkin, dia berkata lirih. "Makanya, Mas Baguuss, jangan mesum di sembarang tempat. Rasain!" sentaknya di ujung kalimat sembari menginjak kaki suaminya itu.Sekali lagi, Farrel mengaduh, "Ohh, sialan!" umpatnya. Alifa melengos kemudian meninggalkan Farrel yang menggerutu jengkel.Puas rasanya membalas perbuatan Farrel yang bermulut tukang jamu. Farrel menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mengikuti istri galaknya dari belakang."Astaghfirullah, apa ini yang dinamakan jodoh tak terduga? Mulutnya judes, bar-bar, kejam lagi," gumamnya tanpa sadar.Farrel menatap punggung Alifa yang berjalan di depannya. Entah dosa atau amalan apa yang dia lakukan di masa lalu sehingga Allah menghadirkan istri