Share

Part 6 Mas Farrel, Sayang

Farrel langsung mendelik tak suka. "Enak saja, memang aku Kakanganmu? Panggil aku, Mas. Mas Farrel Sayang!" ucapnya tegas tak ingin dibantah.

Alifa bergumam lirih sambil menggaruk telinganya. "Mas Farrel, Sayang." Rasanya panggilan itu sangat lucu.

"Iya, Sayang. Manggilnya yang ikhlas!" titahnya tegas.

Alifa melengos dengan wajah memerah mendengar perintah dari laki-laki itu. Memanggil 'Mas' saja sangat aneh, apalagi ditambah kata 'Sayang'. Melihat wajah memerah Alifa, Farrel tersenyum.

Farrel senyum-senyum melihat Alifa yang salah tingkah. Ini hanya soal panggilan, tetapi sudah membuat wajah istrinya itu memerah. Bagaimana jika menyangkut permintaan yang lain? Farrel menepuk dahinya sendiri, menyadarkan pikirannya yang melanglang buana.

Farrel menjulurkan tangannya menyentuh bibir Alifa. Sesaat Alifa terkesiap. "Rambut, nanti ikut kemakan." Alifa melirik ke arah jemari tangan Farrel yang menunjukkan sehelai rambut.

"Kenapa bisa masakan ada rambutnya? Bukan aku, Rel, yang masak!" Farrel menatap Alifa tanpa ekspresi. Alifa yang langsung mengerti hanya nyengir kecil. "Em, maksudnya aku, bukan aku Mas, yang masak!" ralatnya cepat dan langsung membuang pandangan.

Farrel tersenyum dan menjentikkan jarinya. "Nah, begini kan enak didengar, daripada Ral, Rel! Nanti bagaimana kalau ditiruin anak kita?"

Uhuk!

Ganti Alifa yang tersedak. Anak kita? Itu artinya, Farrel berharap punya anak dengannya. Dan itu artinya, nanti...

Alifa sibuk dengan andaikan-andaikan yang lain. Anak? Alifa belum memikirkan soal itu. Kuliahnya belum selesai. Dia masih ingin bekerja, masih ingin memiliki banyak waktu dengan teman-temannya.

"Makanya makan itu hati-hati, Sayang." Farrel menyodorkan gelas ke arah Alifa. Laki-laki itu menatap Alifa dengan tatapan jahil. "Aku hanya manggil sayang saja kamu sudah mengkerut begitu. Bagaimana kalau aku minta yang lain, Fa?" tanyanya menggoda.

"Apaan, sih, Mas. Aku kan belum terbiasa. Sudah ah, aku sudah selesai!" Alifa bangkit dari tempat duduknya dan membereskan meja makan. Farrel ikut bangkit untuk membantu.

"Sini, aku bawain!"

Farrel hendak mengambil alih piring bekas makan mereka, tetapi langsung dicegah oleh Alifa. "Nggak usah, Mas. Sebaiknya kamu temuin Mas Dino dan lainnya. Aku bawa ke dapur, setelah itu aku siap-siap dulu."

Farrel menatap sebentar pada Alifa yang memberi isyarat dengan anggukan. "Beneran, aku bisa sendiri." Alifa menegaskan.

"Baiklah, terima kasih, Fa."

Laki-laki itu bergegas keluar menemui teman-temannya.

Begitu sampai di teras, ternyata Vio, Dino, dan Danang sudah menyelesaikan sarapan mereka. Bahkan, ketiga temannya itu sudah bersiap-siap untuk pulang.

"Aku nanti malam izin, ya. Kalian latih dulu anak-anak."

"Iyaa, faham lah kita, Ndul. Nanti kita bertiga bisa bagi tugas. Kamu nikmati dulu masa pengantin baru, Ndul."

"Iya, pergi-pergi bulan madu kek, biar Alifa cepat jinak!" sahut Vio jahil.

Farrel tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kalau soal itu tinggal tunggu waktu, Nyet. Ya, sudah hati-hati, salam buat anak-anak!" pesannya pada mereka. Ketiganya mengangguk kemudian bersiap di atas motor masing-masing.

Di kamar Farrel...

Alifa tengah fokus dengan tayangan vidio membuat kue tart. Pandangannya lurus ke layar handphone yang dia sandarkan ke kaca rias di depannya. Sedangkan tangannya sibuk mengoleskan makeup tipis ke wajahnya yang cantik.

Alifa tak menyadari, sepasang mata menatapnya dari ambang pintu. Karena terlalu fokus ingin cepat bisa membuat kue untuk ulang tahun Farrel beberapa hari lagi, dia sampai tidak mendengar pintu dibuka dari luar.

Sesekali Alifa bersenandung kecil. Farrel tersenyum dan kembali menutup pintu dengan gerakan sangat pelan.

Farrel berdiri tepat di belakang Alifa yang membuatnya mendongak. Alifa yang gugup, buru-buru menutup handphonenya dan kembali sibuk dengan make-up.

Farrel membungkukkan badan, merangkul Alifa dari belakang dan ikut menatap bayangan mereka di cermin. Keduanya hanya diam dalam posisi seperti itu untuk beberapa saat.

"Aku sudah siap. Mas Farrel nggak ganti baju?" tanyanya canggung. Farrel mengangguk pelan kemudian beranjak dari tempatnya.

Laki-laki itu menuju ke lemari pakaian. Mengambil pakaian ganti dan mengambil sesuatu dari laci lemari.

Dia membawa kotak berwarna biru itu mendekat ke arah Alifa. "Fa, sebentar!"

Alifa mengeryit dan mengarahkan pandangannya pada kotak di tangan suaminya. Farrel mengulurkan benda itu padanya. "Apa ini?" tanyanya ragu.

"Buka saja, itu buat kamu," jawabnya.

Alifa menatap sekali lagi pada Farrel kemudian membuka kotak berpita merah itu. "Satu set perhiasan, buat aku? Em ... tapi, kenapa ka-kamu kasih ini?" tanyanya masih bingung. Farrel berdecak lirih.

Laki-laki itu urung berganti pakaian. Dia meletakkan pakaian gantinya di kursi meja rias. Kemudian mengambil alih kotak perhiasan emas putih itu kembali.

"Kamu madep ke cermin!" titahnya yang langsung dituruti oleh Alifa. Dengan hati-hati Farrel memakaikan kalung putih itu di leher mulus Alifa.

Farrel melengos sekilas.

Dia laki-laki normal, walaupun berandalan. Farrel memang tidak pernah melakukan hubungan serius dengan perempuan, tetapi melihat kulit putih mulus yang sudah halal jelas membuatnya perang perasaan.

Menyadari sikap Farrel yang gugup, Alifa segera membalikkan badan. Dia menatap iris mata hitam milik suaminya.

"Terima kasih, Mas. Bagus sekali."

"Itu hadiah pernikahan dari aku. Maaf, cuma seperti itu."

Alifa tersenyum dan memeluk laki-laki di depannya. "Aku nggak minta dikasih hadiah apa-apa, aku cuma minta kamu juga belajar mencintai aku, Mas. Jangan cuma aku yang belajar mencintaimu!" Farrel terdiam mendengar permintaan istrinya.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status