Share

Part 7 Saling Belajar Mencintai

Farrel berusaha mencerna ucapan istrinya. Belajar mencintai? Benarkah wanita dalam pelukannya ini benar-benar siap akan status dan kehidupan barunya?

Akhirnya, Farrel memutuskan mengangguk. "Kita saling belajar mencintai karena pernikahan ini untuk selamanya, Fa. Aku berharap kamu nggak akan meninggalkan aku."

Farrel mendongak dengan mata terpejam. Dia yakin cinta di antara mereka akan datang seiring berjalannya waktu. Farrel juga berharap, Alifa tidak akan pernah meninggalkan dirinya jika suatu saat nanti Alifa menyadari laki-laki seperti apa suaminya itu.

Alifa membenamkan wajahnya di dada suaminya.

Alifa masih sulit untuk percaya jika dirinya sekarang menjadi istrinya Farrel. Dia masih ingat betul beberapa bulan lalu memaki Farrel di halaman balai desa.

"Bagaimana kalau nama kamu dan namaku yang tertulis di Lauhul Mahfudz, Lif?" tanya Farrel waktu itu.

Alifa tahu, Farrel yang slengekan itu asal bicara. Ya, laki-laki di depannya itu mana pernah serius? Apalagi, di depan para sahabatnya. Pasti niatnya hanya ingin mempermalukan dirinya. Begitu yang ada di pikiran Alifa saat itu.

''Nggak usah mimpi! Sampai ayam beranak kambing, nama kamu nggak bisa bersanding dengan nama aku, Rel! Nggak cocok!" sahutnya dengan ketus. Alifa langsung meringis ketika lengannya dicubit dengan keras oleh kakaknya.

Bukannya marah, Farrel justru tersenyum sekilas. Dia menatapnya penuh arti. Pemuda itu meloncat dari atas motornya dan mendekati Alifa.

Dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Alifa, tak peduli dengan tatapan heran dari Bintang, Alisha, dan ketiga temannya.

Farrel berkata lirih, tetapi masih bisa didengar oleh mereka. "Kalau misalnya benar, apa kamu akan menentang takdir, Lif?" tanyanya kemudian bergegas pergi.

"Dasar semprul!" makinya kesal.

Farrel menunduk ketika merasakan Alifa semakin mempererat pelukannya. Bahu istrinya itu berguncang karena tangis. Farrel yang kaget segera mendongakkan wajah istrinya itu.

"Kamu kenapa, Fa?" tanyanya heran.

Alifa hanya menggeleng kemudian melepaskan pelukannya. "Nggak apa-apa, Mas. Maaf, ya." Alifa terlihat salah tingkah setelah melepaskan pelukannya. Dia segera beranjak ke depan cermin, merapikan hijabnya.

Dari bayangan di cermin, Alifa sempat melihat Farrel yang mengganti pakaiannya. Alifa buru-buru memalingkan wajah karena malu.

"Sudah? Yuk!"

Farrel mengulurkan tangannya. Alifa menatap tangan sang suami kemudian membalas genggaman laki-laki itu. Sampai di depan pintu utama, Alifa melepaskan tangannya dari genggaman Farrel.

"Cie, pengantin baru, mau ke mana, nih?" tanya salah seorang tetangga menggoda.

Farrel tersenyum ramah dan menjawab sopan, "Mau nganterin Alifa, Mbak. Monggo, silakan masuk, Mbak." Farrel mempersilakan pada tetangganya itu.

Alifa mengangguk santun pada perempuan sebaya Alisha itu. Alifa dibuat terkejut dengan sikap Farrel yang ternyata begitu sopan jika bertemu orang yang lebih tua atau sebayanya. Dia tidak melihat sikap slengekan Farrel. Hal tersebut sangat berbeda ketika Farrel bertemu dengannya atau bersama teman-temannya.

Farrel menunggu Alifa yang masih mematung sibuk dengan lamunannya. Tanpa Alifa sadari, Farrel sudah membukakan pintu mobil untuknya.

Farrel berdehem.

"Ehem!" Dia menyipitkan mata menatap Alifa yang salah tingkah. "Nggak usah bengong!" ucapnya.

Alifa segera memasuki mobil disusul Farrel yang duduk di belakang kemudi.

Di supermarket, Alifa sibuk memilih-milih bumbu kemasan sachet. Dia tidak semahir Alisha untuk urusan memasak, apalagi dibandingkan dengan Bu Halimah, sang mertua. Alifa merasa minder. Farrel selalu makan makanan lezat buatan ibunya. Bahkan, Alifa merasa minder karena kemarin makan masakan buatan mamanya Sofi. Mengapa mereka bisa menghidangkan makanan yang enak walaupun dengan menu sederhana?

"Buat apa itu banyak banget, Fa?"

Suara Farrel yang berdiri di sampingnya mengagetkan Alifa dari lamunan. Farrel mengamati beberapa bungkus bumbu instan di keranjang belanjaan istrinya. Alifa hanya menggaruk keningnya, merasa malu.

"Ya, buat bumbu masak, lah!" jawabnya kembali fokus pada bumbu yang lainnya.

Farrel menggeleng pelan dan menahan tangan wanita itu."Nggak usah beli sebanyak itu, Fa," ucapnya lirih.

"Lha kenapa? Aku kan ingin belajar masak."

"Iya, aku tahu. Kamu ingin belajar masak sama Ibuk atau sama Mbak Alisha?" tanya Farrel lagi.

Alifa mengangkat bahunya. "Dua-duanya!" jawabnya, kemudian mendorong trolley belanjaan meninggalkan Farrel.

Farrel segera mensejajari langkah istrinya itu. "Ibuk nggak pernah pakai bumbu seperti itu. Ibuk selalu buat bumbu sendiri, diulek kadang diiris, dan diblender. Itu lebih enak, Fa, kata Ibuk."

Deg!

Alifa langsung menghentikan langkah. Dia mendongak menatap manik hitam suaminya. Diperhatikan sedemikian rupa, Farrel mengangkat kedua alisnya.

"Kamu kenapa pucat begitu?" ledeknya sambil menepuk pelan kepala istrinya.

Alifa kembali menunduk, menatap miris pada lusinan bumbu instan yang terlanjur berserak di dalam keranjang trolley.

Jari telunjuknya mengacung lemah ke arah bungkusan berbagai macam bumbu itu. "Terus, kalau pakai ini nggak bisa ya? Aku kan nggak biasa ngulek bumbu," lirihnya dengan wajah memelas.

Farrel semakin ingin menggoda Alifa. "Biasanya ngulek apa, Fa?" tanyanya sambil melirik kanan kiri, memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan absurdnya.

Alifa yang memang masih polos menjawab jujur. "Ya kalau di rumah tugas ngulek mengulek kan sudah ada Ibuk dan Mbak Alisha."

"Nah, kamu juga harus belajar ngulek dari mereka, Fa."

"Iya, iya. Nanti aku juga belajar. Ini juga lagi tahap belajar, Rel! Belajar mencintai saja belum bisa, sudah disuruh belajar mengulek." Alifa bersungut-sungut kemudian kembali melangkah meninggalkan Farrel.

Farrel tertawa lirih dan kembali mensejajari langkah istrinya. "Jadi, kalau kamu belum bisa mencintai aku, kamu nggak mau belajar ngulek mengulek duluan, Fa?" tanyanya jahil.

Alifa mengerutkan keningnya tidak mengerti, sedangkan Farrel kembali memperhatikan sekeliling dan menunduk, mendekatkan wajahnya ke telinga Alifa.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status