Share

Bab 6 - Tamu Mesum

Clara melempar ponselnya ke samping bantal. Ia sangat menyayangkan cuti tahunan yang sudah berusaha ia hemat demi seminggu bersama Benny mubazir sudah. Padahal awalnya ia membayangkan setiap malam akan memasakkan makanan spesial untuk Benny tak peduli kalau pria itu pulang tengah malam sekalipun. Terlebih besok hari ulang tahun Benny. Ah sial, semuanya hancur.

Clara juga sudah me-list alternatif lain, tapi sama sekali tidak menemukan orang yang pas untuk menghabiskan waktu bersamanya. Semua teman-temannya sibuk bekerja dan memiliki jadwal sendiri. Sepertinya ia hanya akan di rumah saja, makan dan tidur seperti zombi.

Clara menarik selimutnya, bersiap untuk tidur. Namun, suara bel bergantian dengan suara ketukan pintu pagar membuatnya terduduk. Diliriknya jam dinding di kamar yang kini menunjukkan pukul sebelas malam. Orang gila mana yang bertamu jam segini? Pikirnya.

Ah, tiba-tiba terbesit dalam benak Clara, mungkinkah itu Benny? Setelah kejadian tadi siang, pria itu memang sama sekali belum mendatanginya. Clara hanya tahu kalau pria itu terintimidasi oleh ancamannya, tapi Benny sama sekali belum menemuinya langsung setidaknya untuk meminta maaf.

Sungguh, Clara tidak berharap Benny meminta maaf. Toh, ia juga tidak akan memaafkannya. Namun, Clara hanya ingin memberikan pelajaran berharga pada pria itu agar sadar kalau sudah menyakiti orang yang salah.

Clara lalu tersadar saat ketukannya terdengar semakin berisik. Bel juga terus terdengar seolah sang tamu sangat tidak sabaran. Untungnya Clara tinggal sendiri. Selain itu, kanan dan kiri rumahnya masih beum berpenghuni sehingga tidak ada yang terganggu.

Tak lama kemudian, Clara langsung bergegas untuk membuka pintu pagar. Ia masih mengenakan setelan tidurnya, piama dengan lengan pendek sedangkan celananya panjang.

Saat pagar terbuka lebar, ia terkejut dan bingung dalam waktu bersamaan. Seorang sopir taksi sedang merangkul pria yang mabuk berat. Anehnya Clara merasa familier pada pria mabuk itu, meskipun ia sendiri lupa pernah bertemu di mana.

"Apa benar yang tertulis di kertas adalah alamat rumah ini?" tanya sopir taksi seraya menyerahkan alamat yang sedari tadi dipegangnya.

Sejenak, Clara menerima secarik kertas itu dan membacanya. "Be-benar, tapi kenapa dia dibawa ke sini, Pak?" tanya Clara. "Dan sebenarnya dia siapa?"

"Sebelumnya izinkan saya bawa dia masuk dulu, Non. Berat."

Antara linglung dan tidak tahu harus bagaimana, Clara kemudian menyingkir sehingga sopir itu bisa membawa Revan masuk.

"Sebelumnya maaf atas ketidaknyamanan ini, tapi saya hanya menuruti perintah untuk menuju ke alamat ini. Sekarang, karena sudah sampai ... saya permisi, ya," pamit sopir taksi itu setelah merebahkan tubuh Revan di sofa.

"Eh, Pak ... tunggu! Aku nggak kenal dia, Pak."

"Tapi alamatnya betul, kan?"

"Iya, tapi—"

"Duh, maaf ... ini sudah malam. Saya pamit dan saya nggak mau ikut campur. Dia sudah bayar, kok. Jadi saya hanya menjalankan tugas sebagai sopir, yaitu mengantarnya ke alamat yang diinginkan."

Belum sempat Clara menjawab, sopir itu sudah meninggalkan mereka berdua. Apa-apaan ini?!

Clara memperhatikan wajah pria yang kini terbaring di sofa, aroma alkohol sangat menyengat membuatnya refleks menutup hidung. "Halo?" ucapnya seraya menggoyang-goyangkan lengan Revan, berharap agar pria itu sadar dan segera pergi dari sini.

Tidak mendapat respons, Clara kemudian menyentuh pipi Revan. Ah, lebih tepatnya menampar karena sampai terdengar bunyi pukulan. Namun, Revan masih tetap memejamkan matanya.

"Hei, bangun!" Clara terus beteriak untuk membangunkan Revan sampai ia frustrasi sendiri.

Beberapa saat kemudian, Clara terkejut bukan main saat tubuhnya ditarik paksa. Dalam keadaan masih memejamkan mata, Revan menariknya sehingga tubuh Clara berada tepat di atas tubuh pria itu.

Tentu saja Clara secepatnya berusaha bangun dan melepaskan diri, tapi sialnya tenaga Revan begitu kuat untuk ukuran orang yang mabuk. Revan terus menahan Clara hingga wanita itu tidak bisa bergerak. Bahkan, tangan Clara sudah dikuncinya.

"Sialan! Lepasin!" umpat Clara. "Tolooong!" teriaknya lagi, berharap ada orang yang mendengar lalu menolongnya.

"Aku menginginkanmu, Baby," balas Revan parau. "Mari bercinta sampai pagi."

Apa? Bercinta? Jelas hal itu membuat Clara makin emosi. Kenal saja tidak, tiba-tiba datang ke sini dan mengajaknya bercinta. Benar-benar sinting!

"To—"

Ucapan Clara terpotong saat tangan Revan menarik kepalanya agar mendekat, membuat wajah mereka berjarak sangat dekat. Bukan ... ini bukan dekat lagi, melainkan nempel. Secepatnya Revan melumat bibir Clara dengan penuh gairah. Sepertinya hasrat bercinta pria itu sudah berada di tingkatan paling tinggi. Tanpa ampun, Revan terus melumat bibir Clara sangat cepat seolah menuntut balasan. Tangannya bahkan terus menahan kepala Clara agar tetap berada di posisi terbaik untuk berciuman.

Tangan Clara yang masih terkunci, terus meronta meminta dilepaskan. Sekuat tenaga ia melepaskan diri dan beberapa saat kemudian Clara berhasil, otomatis ciuman paksa yang Revan lakukan bisa dihentikan.

"Berengsek!" bentak Clara seraya menampar pipi Revan. Namun, tanpa diduga tubuh rampingnya kembali dilempar ke sofa oleh pria itu. Clara sedikit menjerit dengan perlakuan Revan yang sangat tiba-tiba itu.

Jika tadi Clara yang berada di atas, kini posisinya berbalik. Ya, kali ini Clara berada di bawah dan Revan menindihnya. Kedua tangan Clara pun sudah kembali terkunci di kanan dan kiri kepalanya. Hal itu memudahkan Revan untuk kembali melumat bibirnya. Lidah Revan bahkan sudah berani menelusuri leher jenjang Clara. Clara memang hampir kalah, tapi ia tidak menyerah. Ia terus berusaha untuk melepaskan diri.

Revan yang bersiap membuka kancing teratas piama Clara, otomatis melepaskan kuncian pada tangan wanita itu. Dengan gerakan cepat, Clara meraih rambut Revan dan menjambaknya dengan membabi buta.

"Aww, sakit!" teriak Revan.

Tak sampai di situ, Revan yang mulai lengah membuat Clara dengan mudah menendang organ vital pria itu. Revan kini tersungkur ke lantai sembari menjerit kesakitan sambil memegangi bagian bawahnya.

Sedangkan Clara secepatnya ke kamar untuk mengambil ponselnya. Ia akan menelepon Benny agar datang ke sini untuk mendamprat pria itu. Namun, detik berikutnya ia tersadar perbuatan Benny tadi siang. Sial, nyaris saja ia menelepon pria berengsek itu. Beruntung ia langsung ingat.

Dengan tangan gemetar, Clara berusaha menghubungi polisi melalui nomor darurat. Di saat panik dan ketakutan seperti ini, semua seakan terasa sulit. Sekadar membuka kode keamanan ponsel pun sulit. Sialnya lagi, menggunakan fingerprint pun seakan tak mau berfungsi pada jari gemetarnya.

"Sayang...." Suara berat membuat Clara melebarkan matanya. Ia berbalik, rupanya Revan sudah berada di ambang pintu dengan masih memegangi bagian bawahnya. Pria itu berjalan tertatih mendekati Clara dengan setengah memejamkan matanya.

"Jangan mendekat!" teriak Clara. "Aku lapor polisi, nih." Ia kemudian mengambil bantal lalu melemparkannya hingga tepat mengenai kepala Revan. Revan yang memang sudah oleng kembali tersungkur. Kali ini kepalanya terbentur kosen pintu.

"Dibilangin jangan mendekat, rasakan akibatnya kalau nggak nurut," sambung Clara.

"Kenapa kamu ngelakuin ini, Ariana?" Itu adalah kalimat terakhir Revan yang Clara dengar sebelum pria itu benar-benar memejamkan mata.

Mendengar itu, tentu saja Clara makin terkejut. Tunggu ... Ariana?! Apa maksudnya Ariana Fransisca?

Selama beberapa saat, Clara berusaha mencerna semua ini. Sampai kemudian, ia membuka ponselnya. Bukan untuk menelepon polisi, pikirannya bahkan tidak ke sana lagi. Sekarang, yang Clara lakukan adalah ... membuka situs pencarian lalu mengetikkan sesuatu di sana. Dalam hitungan detik, keluarlah banyak artikel.

Clara tidak meng-klik satu pun artikel yang ditampilkan. Ia malah beralih ke image dan saking terkejut melihat hasil pencariannya, Clara sampai menutup mulutnya. Perlahan, ia berjalan mendekati Revan untuk memastikan sekali lagi dengan harapan apa yang dilihatnya salah besar.

Namun, saat membandingkan image di ponselnya dengan pria yang sudah tergeletak di lantai itu ... Clara makin tercengang. "Sial, dia CEO WE!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status