Di pikiranku saat ini sedang berputar-putar. Siapa sebenarnya yang ingin bertemu denganku? Seingatku selama ini aku tidak melakukan kesalahan, baik di rumah maupun di tempat kerja.
"Siapa sih yang mau bertemu dengan saya? Jangan main rahasia-rahasiaan deh, Pak," ucapku pada pak Yogi, kesal juga karena dari tadi beliau hanya diam. "Nanti juga tau sendiri." Sudah, memang sudah itu saja jawaban pak Yogi. Sebab sangat kesal, aku akhirnya memalingkan wajah ke kiri untuk melihat suasana sore di sepanjang perjalanan. Dulu pernah setiap hari lewat sini waktu aku tinggal bersama bu Najwa selama beberapa bulan, mendampingi beliau yang susah tidur setiap malam. Perjuangan berat kami lalui berdua, hingga bu Najwa memberi hadiah dengan merenovasi rumah Mama di kampung. Sebaik itu memang bu Najwa padaku. "Turun! Jangan ngelamun terus," ucapan pak Yogi membawaku kembali ke alam sadar. Mengenang masa lalu membuatku tidak sadar kalau kami sudah sampai di pekarangan rumah pak Yogi. Aku segera turun untuk mengikuti langkah lebar beliau. Rumah ini masih sama, tidak banyak perubahan selain cat yang baru. Masuk ke ruang tamu, rumah tampak sepi, tidak ada tanda-tanda kalau ada orang lain selain kami. "Duduk dulu, saya mau mandi, atau kamu mau ikut?" Mulutnya, Pak, lemes banget. Jadi pengen nampol. "Enggak, Pak, saya tunggu di sini aja." Pak Yogi berlalu begitu saja, sedangkan aku duduk manis di sudut kursi. Terdiam sendiri tanpa tahu apa yang harus dikerjakan, celingak-celinguk ke sana ke mari tapi tetap saja tidak menemukan siapapun. Sekian lama menunggu tapi tetap saja tidak ada yang menemuiku, apa pak Yogi mengerjaiku? "Ini minumnya." Pak Yogi meletakkan segelas jus yang aku yakini sebagai jeruk karena warnanya oranye. "Makasih, Pak." Aku meneguk minuman dingin yang mampu meredam sedikit kejengkelan di hati. "Sebenarnya beneran ada atau nggak sih, orang yang mau ketemu saya?" "Ada. Kamu pikir ngapain saya bawa kamu ke sini kalau nggak ada yang mau ketemu? Meski saya duda, tapi saya nggak murahan. Kalau mau bawa kamu pulang, pasti saya halalin dulu," ujarnya ketus. Aku hanya bertanya sedikit, tapi jawabannya sepanjang itu. Semoga nanti istrinya betah punya suami yang cerewet model begini. "Kamu meledek saya?" tanyanya. "Hah, kapan, Pak?" "Itu, di dalam hati. Jangan terlalu sering jengkel sama saya, nanti kamu jatuh cinta." Ih,pede banget nih pak duda. Semoga saja aku kuat iman untuk tidak jatuh cinta sama orang ini. Jujur kalau naksir dulu pernah, tapi sekarang sepertinya sudah enggak karena takut kalau jatuh cinta beneran entar malah diomelin setiap hari. Lagian mana mau pak Yogi sama cewek kayak aku? "Jangan banyak bengong, kesambet baru tau rasa kamu." Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan pak Yogi. Bingung mau bicara apa, nanti malah ujung-ujungnya diomelin lagi. Beberapa saat pak Yogi sibuk dengan gawainya, sementara aku hanya diam karena gawaiku kehabisan baterai, jadi nggak bisa ikut sok sibuk. Mau ngitung cicak tapi nggak ada, bersihin debu di meja tapi sudah kinclong. Jadi aku cuma mandangin sepatu yang membalut kakiku, aneh, tapi memang sebingung itu mau ngapain. Terdengar suara mobil dari depan, sesaat ada yang membuka gerbang lalu mobil masuk ke pekarangan rumah. Aku tidak tahu itu siapa, karena jendela tertutupi oleh gorden. Suara riuh anak-anak mendominasi, seperti ada dua atau tiga anak. Langkah kaki berlari terdengar mendekat, hingga akhirnya wajah yang sudah lama aku rindukan mundul dari depan pintu yang terbuka. "Mbak Linda...." suara gadis cantik memenuhi telingaku. Ia berlari dan memelukku erat setelah aku merentangkan tangan. "Tasya apa kabar?" Aku membelai ramout panjang nan hitam milik gadis cantik ini. "Baik, baik banget. Aku kangen sama mbak Linda, kangen yang banyak-banyak," ujarnya. "Mbak Linda juga, kangen banget." Kucu bit pipi gembulnya dengan pelan. "Kamu kok tambah tembem?" "Sekarang aku udah nggak mau jadi model, mbak, jadi nggak perlu diet lagi," jelas anak berumur tujuh tahun itu. Tasya memang unik, sedari masih sekolah paud dia sudah bercita-cita menjadi model. Entah tahu dari mana, tapi sedari kecil dia memang pandai bergaya. "Emang sekarang mau jadi apa?" tanyaku. "Assalamualaikum," ucap seseorang dari luar yang menginterupsi obrolan kami. "Waalaikumsalam. Bu Najwa, pak Dafa. Ya Allah, mimpi apa aku semalam, sekarang bisa ketemu Bu Najwa sama Tasya." Aku senang, sangat senang karena bisa bertemu dengan bidadari ini lagi. Aku berdiri setelah melepas pelukan dari Tasya, menyalami bu Najwa lalu beliau membawaku dalam pelukan. "Jangan panggil bu, dong. Aku sekarang kan bukan bos kamu, panggil mbak aja, biar keliatan lebih muda," ucap beliau, meski begitu lidahku tetap kelu untuk memanggilnya mbak. "Bu Najwa, eh mbak Najwa apa kabar? Lama banget nggak ketemu," tanyaku. "Alhamdulillah baik semua, sekarang fokus jadi ibu rumah tangga. Nggak pernah ke mana-mana kalau nggak bawa pasukan lengkap," ucap beliau seraya tertawa, derai tawa yang menular padaku. "Mbak abis tambah anak, kok malah tambah cantik sih?" Mbak Najwa yang sekarang memang tubuhnya lebih berisi, tapi tidak gemuk. Tambah cantik dan semakin terpancar aura keibuannya. "Ngeledek ya kamu. Ini aja baju yang dulu udah nggak ada yang muat. Sekarang ngasih asi eksklusif, jadi ya makan juga harus banyak," jelasnya. "Itu Davin?" tunjukku pada bocah tampan yang baru mulai berjalan. Sangat tampan dan menggemaskan. "Iya. Baru belajar jalan, dia. Dikit-dikit jatuh, jadi harus di pantau terus." Memang kini anak itu tengah di jaga oleh pengasuhnya, sementara pak Yogi dan pak Dafa tidak nampak di sekitar kamu. Aku juga tidak tahu sejak kapan pak Yogi pergi dari sini. Aku mendekati Davin, berjongkok untuk menyeimbanginya. Davin berlari ke arahku lalu memelukku erat. Aku yang terkejut, hampir saja terjatuh, beruntung aku masih bisa menjaga keseimbangan. "Tumben banget loh dia, biasanya dideketin orang yang belum pernah ketemu dia nggak mau," jelas bu Najwa. "Masak sih, mbak? Ini kok dia yang deketin aku." "Mungkin aura ibu udah tercium, tanda-tanda udah waktunya nikah. Sama yang dulu itu nggak mau nikah?" "Enggak, mbak. Habis uangku diporotin sama dia," jelasku. Waktu aku putus sama pacarku yang kedua, bu Najwa sudah pindah ikut pak Dafa. Yang bu Najwa tahu waktu aku putus sama Lian dulu. "Masak sih? Kayaknya pendiem banget tuh anak, beda sama Lian. Kayak polos gitu mukanya." "Polos tapi mata duitan, bersyukur segera disadarin sama Tuhan. Kalau enggak, mungkin sampek sekarang udah jadi gelandangan aku." Mbak Najwa tertawa mendengar ucapanku. "Mau aku cariin? Banyak temennya mas Dafa yang masih single," tawar bu Najwa. "Kalau aku sih mau aja, tapi kalau nanti ada nggak cocoknya malah nggak enak sama pak Dafa," ucapku. Kalau aku sudah pasti cocok, jelas teman pak Dafa itu pasti baik. Tapi kalau mereka yang nggak cocok sama aku? "Coba aja dulu, kalau emang nggak cocok ya berarti nggak jodoh. Nanti aku ngomong sama mas Dafa," ujar bu Najwa dan aku hanya mengangguk. "Nggak usah sok jodoh-jodohin anak orang. Dia udah gede, biar cari sendiri." Itu suara pak Yogi. Hanya lewat dan mengatakan hal itu tanpa menoleh. "Sensi banget bos kamu itu," ucap bu Najwa dan aku mengangguk setuju. "Katanya dia lagi jatuh cinta, kamu tau siapa perempuan yang lagi dia sukai?""Mas, aku ngompol."Aku berdiri dan air itu mengalir di sela kakiku tanpa bisa dicegah.Mas Yogi segera berdiri dan mendekat padaku."Ngompol? Kenapa nggak ke kamar mandi?" tanya mas Yogi."Nggak tahan, keluar gitu aja. Aku nggak ngerasa pengen buang air kecil, tapi tiba-tiba keluar aja," ucapku."Sakit nggak?" tanya mas Yogi."Enggak, cuma langsung keluar aja.""Nadia dulu waktu mau lahirin Arya, dia kesakitan di pinggang sama perut mules. Aku bawa ke rumah sakit terus Arya lahir. Ini tanggal berapa?""Masih kurang satu minggu dari perkiraan," jawabku."Ma, Mama, sini Ma!" teriak mas Yogi memanggil mama Sandra."Kenapa teriak-teriak? Mama lagi bikin wedang jahe," ujar mama lalu mendekat pada kami."Linda buang air kecil nggak kerasa, apa mau lahiran ya, Ma?""Mama nggak tau soal itu, Mama kan nggak pernah melahirkan," ujar mama."Kalau menurut tanggal, masih satu Minggu lagi," ucap mas Yogi."Coba telepon Najwa deh," saran mama.Mas Yogi mencari ponselnya dan menelepon mbak Najwa.Pa
"Makasih lo, atas bantuannya kemarin. Bude merasa sangat terbantu dan terharu dengan kebaikan kalian. Makasih banyak ya.""Maaf ya Bude, kemarin Linda sama mas Yogi nggak bisa dateng. Baru bisa pulang hari ini. Selain banyak kerjaan, Linda juga baru dibolehin perjalanan jauh sama Dokter," ujarku.Wajah bude Rahmi tetap ramah dengan senyum menghiasinya, tidak ada amarah seperti sebelum-sebelumnya."Nggak apa-apa. Yang penting kandungan kamu sehat. Mama kamu juga sudah bantu-bantu, saudara lain juga banyak yang hadir.""Bude bijak sekali. Terimakasih, Bude."Bude Rahmi mengusap perutku. "Kamu itu anak baik, pasti dikelilingi orang baik juga. Kamu lahiran di sini?""Enggak, Bude. Di sini cuma liburan satu minggu. Lahirannya tetap di sana, mungkin nanti Mama di bawa," jelasku."Semoga saja Bude bisa ikut ke sana, pengen juga dampingin kamu pas lahiran nanti. Kalau di sini kan Bude bisa bantu jagain, bantu urus juga. Kalau di sana nggak bisa lama, kan di sini juga ada cucu Bude yang masih
"Cilok? Jam segini?"Mas Yogi yang masih linglung karena baru bangun tidur, cukup terkejut dengan ucapanku."Mana ada yang jual cilok jam dua belas malam? Kamu mau ngerjain aku?""Bukan aku, Mas. Ini maunya dedek," ucapku seraya mengusap perutku yang mulai membesar."Aku tau, tapi ini tengah malam, Sayang. Aku harus nyari ke mana?""Terserah, yang jelas sekarang aku mau cilok!" tegasku.Aku juga tidak mau merepotkan mas Yogi, tapi ini terjadi secara tiba-tiba dan tidak bisa di tahan. Mana ada orang ngidam bisa dicegah?"Oke, aku berangkat sekarang. Kamu tidur aja kalau masih ngantuk," putusnya.Mas Yogi mengambil jaket dan dompet lalu keluar dari kamar.Sebenarnya kasihan melihat mas Yogi pasrah begini, tapi ini kan demi anaknya juga.Aku menunggu mulai dari sepuluh menit, setengah jam, hingga satu jam mas Yogi tidak datang juga. Awalnya aku masih bertahan, lama-lama aku tidak kuat menahan kantuk. Aku mulai merebahkan diri dan perlahan menutup mata dan terlelap.Aku terbangun dari tid
Aku benar-benar seperti burung dalam sangkar emas. Sekarang apa pun kebutuhanku sudah ada yang mengambilkan.Silvi, asisten rumah tangga yang biasanya bekerja mengurus cucian baju dan kebersihan rumah, sekarang bertugas menemaniku. Apa pun yang aku perlukan akan dibantu oleh Silvi.Aku memang memilih ditemani oleh Silvi yang notabene sudah bekerja di sini cukup lama dan aku sudah mengenalnya, daripada harus beradaptasi dengan orang baru.Silvi ini usianya lebih tua dariku, tapi dia tidak kamu dipanggil mbak olehku, kurang sopan katanya. Padahal menurutku justru tidak sopan saat memanggil yang lebih tua dengan sebutan nama saja.Mama dan mas Yogi menjagaku seperti layaknya kaca yang mudah retak, aku tidak diizinkan melakukan apapun selain kegiatan yang ringan saja."Sayang, dua minggu lagi acara empat bulanan. Nanti Anin ke sini untuk ukur kamu, kita bikin baju seragam buat acara pengajian," ujar mama saat kami menikmati sarapan bersama."Arya nggak mau pakek baju merah muda atau ungu
"Harusnya kamu lebih bisa mengontrol emosi, ini kehamilan pertama Linda. Bagaimana kalau Linda menjadi stres karena kamu marah-marah."Sayup-sayup aku mendengar suara mama mertua. Meski lirih, aku masih bisa mendengar suara mama.Aku membuka mata dengan perlahan, ternyata aku sudah terbaring di ranjang rumah sakit."Sayang, kamu sudah sadar?" Mama menghampiriku lalu mengusap tanganku yang tidak dipasangi selang infus."Memangnya Linda kenapa, Ma?""Kamu tadi hampir jatuh di kamar tamu," jelas mama."Anakku gimana, Ma?" Aku baru teringat kalau tadi aku sempat mengeluarkan darah.Raut mama berubah, aku takut terjadi apa-apa pada bayiku. Kalau sampai itu terjadi, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri."Ma, bayiku nggak apa-apa kan, Ma?""Alhamdulillah, bayinya nggak apa-apa. Cuma, sekarang kamu harus dirawat dulu beberapa hari. Kandungan kamu lemah, kamu nggak boleh banyak beraktifitas," ujar mama.Aku menoleh ke sofa yang ada di ruanganku, di sana mas Yogi terlihat menundukkan wajahny
"Kamu mau apa? Nanti aku bawain pas pulang kerja," tanya mas Yogi saat akan berangkat kerja."Aku pengen sambal kentang yang ada petenya, tapi yang dimasak sama mbak Rania. Mas mau ambilin ke kateringnya?" "Nanti aku telepon mas Damar dulu, takutnya istrinya lagi sibuk," ujar mas Yogi.Aku mengangguk."Aku berangkat dulu, nanti kabarin kalau ada apa-apa," pamit mas Yogi."Iya, hati-hati. Nggak usah ngebut," ucapku.Sekarang mas Yogi lebih sering berangkat agak siang, sementara Arya berangkat bersama sopir.Aku sendirian lagi di rumah, hanya ditemani dengan ART yang sibuk dengan pekerjaan rumah.Saat tengah asik menyaksikan acara gosip, ponsel di sampingku berbunyi. Nama mama terpampang di layar, aku segera menerima panggilan video itu. Sudah lumayan lama tidak bertemu dengan mama, hanya bisa berbagi kabar melalui ponsel saja."Assalamualaikum, Ma," ucapku."Waalaikumsalam calon Ibu, lagi apa ini?"Selalu begitu salam mama setelah tahu aku mengandung cucunya."Lagi nonton tivi, calon