공유

JADILAH WANITAKU

Bab 5

Jadilah wanitaku.

Kabar dari Bibi Mary, sang pelayan bukan tipuan, setelah sampai di rumah Alice harus dihadapkan pada kenyataan jika ayahnya benar-benar meninggal. Kini Alice berada di samping makam ayahnya, Alice enggan untuk beranjak. Ia masih terus menangis di samping makam ayahnya.

Bahkan ia tak peduli dengan bajunya yang kotor karena lumpur, karena saat itu cuaca sedang hujan deras. Ia sendirian di makam sang ayah, semua orang yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir sudah pergi satu persatu. Suara tangisan Alice nyaris tak terdengar karena bersatu dengan suara hujan yang terjatuh di tanah.

“Ayah kenapa harus pergi meninggalkanku?! Kenapa Ayah? Aku tak bisa menjalani hidup ini sendiri tanpamu, Ayah,” isak Alice putus asa.

“Ayah sudah berjanji denganku untuk selalu bersamaku hingga aku menikah, tapi mana janji Ayah?! Kenapa Ayah justru pergi tanpa mengatakan apa pun padaku, hiks!”

Alice terus saja menangis dan meraung-raung di samping pusara ayahnya. Dunianya seketika seperti hancur, ia tidak memiliki penyemangat hidup lagi. Kenapa orang-orang yang menyayangi dirinya pergi meninggal dirinya. Bahkan ia pulang dalam keadaan ayahnya yang sudah tak bernyawa. Kenapa ayahnya tidak pamitan dengan dirinya?

Banyak sekali pertanyaan yang bersarang di kepalanya, bahkan ia yakin jika ayahnya sakit bukan karena penyakitnya. Tapi ada unsur kesengajaan, seharusnya ibu dan adik tirinya berada di sini. Tapi dengan teganya mereka pergi dan tidak menemani ayahnya hingga peristirahatannya yang terakhir. Apakah itu yang dinamakan sebuah keluarga?

Alice berharap ini semua mimpi, ia mau ayahnya tetap hidup dan bisa hidup bahagia dengan dirinya. Jika ayahnya sudah tidak ada, lantas dengan siapa dirinya mengadu nanti? Tiba-tiba saja seseorang datang dan berdiri di depannya, Alice cukup terkejut dengan kedatangan seseorang yang tiba-tiba. Sebuah kaki jenjang kini terlihat di mata Alice yang penuh air mata.

“Bangun, pulang ke rumah! Percuma saja kau tetap di sini, ayahmu tidak akan hidup lagi,” tegur suara yang sangat dikenal Alice.

Suara yang sangat tidak asing, perlahan-lahan tapi pasti Alice bangkit dari posisinya. Dapat dirinya lihat dengan jelas ibu tirinya yang berdiri di depannya dengan membawa payung. Tidak ada raut wajah berduka yang dia tampilkan.

“Ayah baru aja meninggal, dan tak ada duka di matamu, Ibu? Di mana hati nuranimu?” tanya Alice tak percaya.

“Pulang sekarang juga! Aku tidak mau dengar keluh kesah anak tak berguna sepertimu!”

“Pengawal, bawa dia pulang! Jika tidak mau seret saja dia!” Ibu tiri Alice berbalik badan dan langsung pergi dari hadapan Alice.

Sementara pengawal yang mendapatkan tugas langsung melaksanakannya. Mereka memegang kedua tangan Alice. Alice yang tak terima, meronta-ronta sebab mereka akan membawanya pergi dari makam sang ayah. Kekuatan dua orang laki-laki melawan satu orang wanita, tentu saja dirinya yang kalah.

Tiba-tiba Alice merasakan sakit di tengkuk belakang kepalanya, salah satu dari mereka memukul tengkuk kepalanya begitu keras hingga dirinya jatuh pingsan. Ia mengucap lirih memanggil ayahnya. Sampai akhirnya ia benar-benar pingsan dan semuanya menggelap dengan seketika.

***

Alice mengerjapkan matanya perlahan-lahan ketika merasa ada cipratan air membasahi wajahnya. Saat matanya terbuka ia melihat ibu tirinya dan juga saudara tirinya yang tak lain adalah Sera, yang kini berdiri tepat di depannya sekarang.

Mereka berdua langsung mendudukkan dirinya secara paksa, ia hanya bisa meringis menahan sakit di kepalanya. Alice merasa kedinginan, tapi mereka membiarkan dirinya tidur di atas dinginnya lantai tanpa menggunakan alas tidur atau sekadar selimut. Bahkan baru saja mereka membangunkan dirinya dengan menggunakan air.

“Bangun, enak sekali kau tidur-tiduran. Jadi pelayan tidak pantas untuk bermalas-malasan!” ucap Sera menohok.

“Dingin, aku sakit. Biarkan aku pergi ke kamarku,” pinta Alice dengan suara pelan. Sebab ia merasa tak memiliki tenaga lagi.

“Kau pikir kami peduli?! Sekarang ayahmu sudah mati! Dia sudah ada di dalam tanah dan dia tidak akan kembali! Tak ada yang membelamu kini, sekarang kau harus membersihkan rumah ini karena tadi banyak yang datang. Sudah cukup kau tidur-tidurannya!” Drew Holmes yang merupakan sang ibu tiri Alice berseru tajam.

“Aku sakit, aku tidak bisa melaksanakannya saat ini. Tolong paham bagaimana keadaanku sekarang,” Alice menyahut lirih, merasakan tubuhnya benar-benar lemah.

Sera mendorong tubuh Alice hingga dia membentur tembok. “Jangan alasan! Cepat kerjakan apa yang kami perintahkan! Awas jika sampai kau tiduran lagi!” ancam Sera.

“Ayo, Mom, kita pergi. Aku tidak betah jika terus ada di gudang ini.” Sera mengipas-ngipas satu tangannya dengan angkuh.

Nyonya Drew berjongkok dan mencengkram kuat dagu Alice. “Jangan macam-macam, rumah ayahmu bukan atas namamu lagi. Menurut denganku, jika kau masih mau tinggal. Jangan sekali-kali membantah apa yang aku ucapkan! Paham?!” ancamnya.

“Sakit,” balas Alice dengan suaranya yang tak jelas. Sebab dagunya ditekan kuat oleh ibu tirinya.

Brugh!

Alice dihempaskan untuk yang kesekian kalinya, Alice hanya bisa menangis dengan semua ini. Ia melihat ibu dan saudara tirinya sudah keluar dari ruangan gelap yang mengurungnya. Ia tak tahan dengan kemalangan yang beruntun dialaminya, mereka selalu menyiksa dirinya seolah-olah ia tidak diperbolehkan untuk menginjakkan kakinya di rumahnya sendiri. Padahal rumah itu adalah rumah ayahnya.

“Ayah, kenapa kau begitu cepat meninggalkanku bersama mereka yang tak memiliki hati? Mereka menyiksaku di rumah Ayah sendiri. Bukankah Ayah mengatakan akan selalu melindungi anak perempuan Ayah?” batin Alice dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

“Ayah, aku rindu denganmu. Aku sakit ayah, semua orang tidak ada yang berpihak padaku.” Alice bergumam lirih dengan putus asa. Wajahnya kini terlihar pucat karena kedinginan dan penuh dengan air mata.

Alice bangkit dari posisinya, ia melihat ada kawat besi di sana. Ia pun tersenyum dan berjalan ke arah kawat itu dengan pikiran kosong, ia mengambil kawat itu dan mengarahkan ke pergelangan tangannya. Ia tersenyum, ini saatnya ia mati menyusul ayahnya. Ia tak tahan dengan semua perlakuan yang mereka berikan. Alice memejamkan matanya, perlahan-lahan tapi pasti ia menggores pergelangan tangannya.

Tetes demi tetes darah mengalir, tapi belum sempat sampai di nadi. Suara tendangan pintu membuat perhatiannya teralih. Ia melihat seseorang datang dan langsung meraih kawat yang ada di pergelangan tangannya. Dia langsung memeluk tubuh lemah Alice dengan sangat erat.

“Kenapa kau ada di sini? Lepaskan, jangan halangi aku untuk mengakhiri hidupku sendiri,” ucap Alice dengan tatapan kosongnya. Walaupun dalam keadaan setengah sadar Alice tahu siapa yang kini datang menghampirinya, pria yang pernah menghabiskan malam bersama dengannya, Adam Anderson.

“Jangan melakukan hal bodoh!” ucap Adam tanpa ada niatan untuk melepaskan pelukan itu.

“Kau tak tahu apa-apa, mereka semua sangat jahat. Aku mau menyusul Ayahku agar semuanya bisa tenang," Alice berucap lemah.

“Bukan dengan cara itu kau bisa tenang. Jadilah wanitaku, maka akan kubantu kau membalaskan semua yang pernah mereka lakukan kepada dirimu.”

Alice menatap pria yang telah mengambil kegadisannya dengan tatapan kosong dan senyum putus asanya. Tak ada kata yang bisa diucapkan karena kini ia benar-benar merasa lemah dan tak sanggup lagi untuk berpikir.

“Aku tidak akan meninggalkanmu, Alice Laurine Holmes. Aku akan membantumu membalas semuanya yang telah terjadi padamu! Semua orang yang telah memperlakukanmu dengan sewena-wena akan mendapatkan balasan yang setimpal! Bahkan lebih dari apa yang pernah kau rasakan!”

댓글 (1)
goodnovel comment avatar
Nanda Widiyanti
serius sekali
댓글 모두 보기

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status