"Berikut dokumen yang Anda minta, Ketua Divisi Brilley," Alice menyerahkan beberapa dokumen yang sudah dicarinya bersama Ethan tadi. "Terima kasih," balas Brilley sambil matanya menatap curiga pada Alice. Alisnya bertaut tajam, bibirnya memanyun. Alice merasa gerah ditatapi seperti itu. "Kenapa Ketua Divisi melihat saya begitu?" Brilley menopang dagunya dengan menggunakan tangan kanannya. "Kau baik-baik saja setelah keluar dari ruang arsip? Apa kau tadi tidak membaca grup?" Alice terkekeh. "Saya membacanya. Tapi saya baik-baik saja. Tidak melihat ataupun mendengar sesuatu seperti yang dibicarakan di grup itu," Brilley masih tidak puas dengan jawaban Alice."Kau tidak merasa takut?" Alice menggeleng, "Tidak. Untuk apa merasa takut?" Bohong. Padahal Alice pun menciut nyalinya saat masuk ke ruang arsip tadi, sebelum akhirnya dia tau bahwa ada Ethan di dalam sana. "Baiklah. Terserah kau saja. Sudah, kembalilah ke mejamu," Alice mengangguk dan berbalik badan, namun bibirnya tak
Brilley menarik napas, dan mengatur nada bicaranya yang berapi-api. Sabar, Alice harus sabar. Dengarkan saja dulu ocehan Brilley ini. Memang Alice yang lalai. Memberi alasan pun akan terdengar seperti tong kosong nyaring bunyinya. "Saya sudah cukup bersabar ya Alice. Kalau kau tidak mampu menyelesaikan desainmu, lebih baik kau katakan saja. Apa iya saya perlu untuk selalu mengingatkanmu?" Alice membuka mulutnya hendak berbicara, namun menutup kembali setelah satu ucapan dari Brilley "Saya belum selesai," Alice menghela napas. Walaupun ini bukan pertama kalinya dia dimarahi oleh Brilley, tapi tetap saja rasanya menyebalkan. "Saya minta maaf karena sudah memarahimu. Tapi apa kau tau bahwa saya juga dimarahi oleh atasan," Ya, seperti inilah rantai pekerjaan. "Kau masih ingin melanjutkan lagi desainmu apa bagaimana?" tanya Brilley masih dengan matanya yang memancarkan emosi, namun bicaranya sudah tidak berapi-api seperti tadi. Alice mengangguk, "Saya sudah mengerjakan s
"Tidak apa. Saya hanya ingin menemanimu," Itulah balasan terakhir dari Ethan, dan Alice pun tidak lagi menanggapinya. Sebenarnya Alice bukan tak ingin diganggu, hanya saja Alice ingin langsung istirahat setelah menyelesaikan desain itu dan mengirimkannya pada Brilley. Dan dengan datangnya Ethan tentu Alice tetap harus menyambutnya, ya walaupun katanya dia hanya ingin menemani saja. Sudahlah, Alice tak mengerti apa yang ada dalam pikiran Ethan. Terserah dia saja, asal dia tidak merepotkan Alice nanti. Tapi ya sejauh ini, Ethan tidak pernah merepotkannya. Justru Alice yang banyak merepotkan pria itu. "Ayo cepat kita pulang. Kau ingin mampir dulu beli makanan atau tidak?" Alice menggeleng, eh tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Ya. Aku mau membelikan Bryana kue kesukaannya. Katakan padanya nanti kalau aku belum sempat mengunjunginya," Ashley mengangguk, lalu mereka segera keluar dari ruang divisi yang di ketuai oleh Brilley ini. Berjalan santai ke elevator yang ternyata sudah
Ha jadi dia serius untuk datang. Alice yang penasaran pun, segera memeriksanya. Pertama-tama dia mengintip dari jendela, untuk melihat siapa yang datang. 'Ya Tuhan. Itu sungguh Ethan' Menyadari bahwa itu memang Ethan, Alice pun sontak membuka pintu. Terlihatlah Ethan yang tersenyum sembari menenteng bungkusan plastik. "Saya bawakan makanan," ucapnya sembari menunjukkan bungkusan itu di depan wajah Alice. Alice melongo. Heran, karena dia kan tidak minta, untuk apa Ethan bersusah payah membawakannya makanan. Alice yang masih terbengong-bengong pun, memberikan jalan pada Ethan agar pria itu bisa masuk. 'Benar-benar tidak bisa ditebak,' pikir Alice, lalu menggaruk belakang telinga kirinya padahal tak gatal. "Kau sebaiknya makan dulu. Setelah itu baru melanjutkan lagi desainmu," Ethan meminta Alice untuk mendekat padanya, memberikan arahan dengan tangannya yang memanggil-manggil Alice. Ahh, kenapa Ethan harus perhatian seperti ini. "Pak Direktur tidak jadi pergi menca
Setelah menghabiskan berbagai makanan yang dibawa oleh Ethan. Alice merasakan bahwa perutnya begitu penuh. Apalagi karena rasanya yang enak, membuat Alice tidak bisa berhenti makan. Ethan membuka lagi bungkusan yang dia bawa, lalu mengeluarkan isinya yang ternyata kopi instan. "Bapak sudah membelinya?" Ethan mengangguk. Bangkit berdiri dan berjalan lagi ke dapur. CTAKK!!!!!Terdengar suara kompos gas dinyalakan. Alice mengerjap. Ini sungguh Ethan sedang memainkan peran bahwa dia seperti berada di rumahnya sendiri? Astaga, bisa gawat kalau lama-lama begini. "Kau ingin minum apa?" tanya Ethan balik ke ruang tamu. "Teh hijau," "Baiklah" Setelah itu Ethan kembali sibuk dengan kegiatannya di dapur. Alice menggeleng-gelenggkan kepalanya, sudah tak bisa berpikir lagi akan tingkah Ethan. Tapi tak apa, sembari menunggu Ethan selesai, Alice lebih baik menyelesaikan desainnya. Alice pun berkutat lagi di depan laptopnya, matanya sangat fokus melihat detail desain kemasan baru ini aga
Mata Ethan dan juga Alice saling menatap. Saling berpandangan untuk beberapa detik. Sampai akhirnya Ethan lebih dulu sadar dan mengalihkan tatapan matanya. "Ya. Ini sudah pas," "Benarkah?" tanya Alice ikut melihat layar laptopnya "Ya," Alice berteriak senang, juga bertepuk tangan untuk meluapkan rasa senangnya. "Terima kasih sudah membantu saya," "Tidak apa. Santai saja" "Kalau begitu saya mau langsung mengirimkannya pada Ketua Divisi Brilley," "Silahkan," Dengan cepat Alice menyimpan desainnya, lalu membuka surel. Mengetikkan sesuatu, dan menambahkan hasil desainnya tadi lalu mengirimkannya. "Ahhhh. Akhirnya selesai juga," keluhnya senang. Punggungnya dia sandarkan pada sofa, untuk melemaskan otot-otot pundaknya yang mungkin tegang karena berada di depan laptop. "Sekali lagi terima kasih kepada Pak Direktur, hari ini sudah banyak sekali membantu saya," ucapnya terdengar tulus. "Saya hanya ingin membantumu," Alice tertawa kecil. "Bapak baik sekali. Saya sang
Alice mengerjapkan matanya beberapa kali, untuk membuatnya tersadar dari tidur yang rasanya panjang sekali. Karena masih begitu berat, Alice hanya bisa samar-samar melihat kamarnya. Alice berusaha untuk duduk, walaupun kepalanya masih terasa sakit. Tapi dia memaksakan tubuhnya untuk bangun. Hari ini adalah hari Sabtu. Menyebalkan. Kenapa hari Sabtu tetap harus masuk kerja walaupun hanya setengah hari saja. Alice meraba-raba sekitar ranjangnya, mencari di mana letak ponselnya. Setelah puas meraba-meraba ranjang, menyibak selimut dan bantal tak juga menemukan ponselnya. Sepertinya ponselnya tertinggal di ruang tamu. Alice pun berdiri dengan tubuh yang masih sempoyongan. Berdirinya saja tidak beraturan. Alice terlalu lemah ketika minum alkohol. Tak tahu bagaimana kabar Ethan sekarang. Alice belum bisa mengingat apa saja yang sudah dia lakukan setelah dia mabuk walaupun baru minum berapa gelas. CEKLEK!!!!Pintu kamar terbuka dan Alice tutup kembali. Alice dengan langkahnya yang
Sungguh benar-benar Alice penasaran. Apa saja kelakuannya malam tadi. Eh tapi dia tidak mengganti baju di depan Ethan kan. Tidak tidak tidak. Alice tidak mungkin melakukan itu, ya, pasti Alice menggantinya ketika sudah di kamar. Tapi Alice bahkan tak ingat bagaimana dia bisa sampai di kamar karena Alice sudah mabuk berat. Semoga saja, Alice pergi mengganti baju setelah dia berjalan sendiri masuk ke kamarnya. Ya ya begitulah. Pasti seperti itu kan. Astaga Alice. Kau sungguh membuat malu dirimu sendiri. Alice mengguyur tubuhnya di bawah dinginnya air pancuran shower. Bagus juga dingin seperti ini, supaya lebih efektif untuk menyadarkan dirinya dari segala tindakan bodoh yang dia lakukan. Bagaimana dia masih punya muka untuk bertemu Ethan. Alice menggosok tubuhnya, juga memakai sabun untuk rambutnya. Kamar mandinya terasa begitu harum, setelah Ethan yang pakai. Ini kedua kalinya Ethan mandi di sini. Sebenarnya apa ya alasan Ethan memilih untuk tidak pulang. Karena ya kan